Friday, November 23, 2007

 

Menjadi Laki-Laki Dewasa

Apa yang menjadikan seorang laki-laki dewasa? Seks, alkohol, dan narkoba. Itu yang ada dalam pikiran tiga orang anak, Seth (Jonah Hill), Evan (Michael Cera), dan Fogell (Christopher Mintz Plasse), pada tahun terakhir mereka di SMU. Mereka bukan anak gaul di sekolah dan ketika sekolah akan usai dalam hitungan minggu, sepertinya tidak ada tempat yang bisa menerima mereka. Padahal, dalam bayangan mereka, hari-hari terakhir itu harus diisi dengan bersenang-senang dengan gadis incaran masing-masing, Jules (Emma Stone), Becca (Martha MacIsaac), dan Nicola (Aviva).

Titik terang mulai muncul ketika Jules meminta Seth membelikan minuman beralkohol untuk pesta di rumahnya malam itu dengan memanfaatkan Fogell yang baru saja berhasil mendapatkan KTP palsu. Seth tentu tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk tidur bersama Jules. Dia pun membujuk Evan untuk melakukan hal yang sama kepada Becca. Cerita pun mengalir. Tiga sahabat itu memulai perjalanan yang menjelaskan bagaimana rasanya menjadi laki-laki dewasa, seperti misalnya pertemuan dengan dua opsir polisi yang kekanak-kanakan (Bill Hader dan Seth Rogan); terjebak di sebuah pesta dewasa; serta redefinisi tentang hubungan seks, cinta, dan, lebih penting lagi, persahabatan.

Tahta genre komedi Hollywood mulai digenggam Judd Apatow erat-erat. Tahun ini, produser yang pernah sukses dengan 40 Years Old Virgin itu dua kali memuncaki box office dengan Knocked Up dan Superbad - meski tak dibintangi bintang-bintang terkenal. Resep keberhasilan film-filmnya adalah skrip yang matang, diimbuhi dialog-dialog lincah dan hidup, serta kekompakan tim. Ini buah kreativitas tim kerja khusus Apatow yang banyak mendiskusikan dan menelurkan skrip komedi, baik untuk materi stand-up commedian maupun film [salah satunya Seth Rogen, bintang utama Knocked Up yang menyusun skenario Superbad]. Kekuatan naskah kedua film itu pun mampu menyejukkan kekeringan skenario orisinal film-film Hollywood. Keberhasilan tersebut membuat tahun 2007 dan genre komedi harus bertekuk lutut di hadapan Apatow!

*Review Superbad (Greg Mottola, 2007)
**Image courtesy of www.michaelcera.com

Thursday, November 22, 2007

 

Retro Tanpa Konsistensi

Jujur, saya tidak akan menulis review film berikut kalau tidak melihat kegusaran di wajah teman menonton saya sepanjang durasi film. Kami memilih menonton Quickie Express, film terbaru produksi Kalyana Shira dan karya sutradara Dimas Djayadiningrat; saya karena penasaran dan tak ingin menyia-nyiakan hari perdana rilisinya film pada Kamis ini, sedangkan teman saya mengaku terpancing gaya retro di poster film. Nyatanya, harapan mendapat kepuasan tak kunjung didapat hingga akhir film.

Kepuasan hanya bisa didapat [dan barangkali memang hanya bisa dimengerti] oleh pembuat filmnya sendiri. Tapi, dibanding teman saya yang langsung memasang muka masam pada lima menit pertama film, saya masih terus mencoba berpikir positif. Jojo (Tora Sudiro) adalah seorang pemuda yang terjebak menjadi gigolo berkedok jasa layanan antar pizza. Seluruh film berkisar pada karakter Jojo yang mengalami dinamika kehidupan sebagai pemuas seks tante-tante kesepian dengan gaya penceritaan ala genre komedi. Skenario film ditulis Joko Anwar dan karakter pengembangan skrip Joko seperti dalam Janji Joni masih sangat berbekas di sini. Berani jamin, penonton akan langsung nyambung dengan film debut Joko itu sejak detik pertama. Persis, itu tampak dari penggunaan narasi sudut pandang tokoh utama dan pilihan gaya bahasanya. Pada satu sisi, warna khas Joko ini melemahkan gaya penyutradaraan Dimas. Satu scene di diskotek, lengkap dengan musik dan lampu diskonya, seharusnya bisa dioptimalkan Dimas [mengingat dirinya adalah sutradara yang kenyang membesut berbagai klip video musik] untuk memancing atensi dan mengikat emosi penonton ke dalam cerita film. Seandainya saja demikian, paling tidak saya bisa punya bekal menangkis serangan kekecewaan teman saya itu.

Pada sisi lain adalah protes teman saya yang mempersoalkan konsistensi setting dengan gaya sinematografi film. Kalau kamu melihat posternya atau trailernya, Quickie Express menuangkan semangat generasi 1980-an - terlihat dari warna film yang cenderung kekuning-kuningan, fashion karakter-karakter, dan rancangan produksinya. Kali ini, saya terpaksa sepakat dengan si teman. Semangat retro itu tidak konsisten. Dalam banyak scene jelas terlihat Jojo memiliki handphone Samsung, teh celup Sariwangi, taksi berwarna biru sliweran di jalanan, mobil-mobil mewah keluaran terbaru, atau kaleng minuman isotonik Powerade di supermarket. Atas nama konsistensi, fakta tersebut hanya dapat dijelaskan jika mesin waktu memang sudah ditemukan, sehingga barang-barang tersebut sudah muncul pada 1980-an. Untuk menghibur si teman, saya bilang, orang Indonesia memang lebih mengutamakan bungkus ketimbang isi, ya toh?

Ah, kami mungkin berpikir terlalu jauh. Buktinya, nyaris seluruh bioskop tertawa senang dalam banyak adegan konyol, seperti serangan ikan Piranha pada kemaluan Marley, karakter yang dimainkan Amink [tapi, bukankah Piranha hanya menyerang secara berkelompok? hmmm..., saya harus cek buku biologi saya dulu]. Dalam taraf seperti ini, Quickie Express hanya bisa diterima sebagai film yang menghibur, tanpa terlalu berharap banyak ada kualitas lebih yang muncul dalam film. Dan, lagi-lagi, penonton menjadi obyek penderita karena belum mendapat karya sinema yang mencerahkan nalar [seperti harapan teman saya]. Atau memang karena kita, penonton Indonesia, tidak butuh film macam itu?

* Review film Quickie Express (2007)
**Image courtesy of www.kalyanashira.com

Friday, November 16, 2007

 

Pamer Kecanggihan, Miskin Emosi

Sutradara Robert Zemeckis sangat dikenal melalui trilogi Back to the Future dan Forrest Gump. Dua film itu adalah salah satu yang terbaik di dasawarsa 80 dan 90-an. Memasuki milenium baru, Zemeckis mencoba peruntungannya dengan kembali bermain-main dengan animasi - seperti awal-awal karirnya dahulu lewat Who Framed Roger Rabbit?. Sempat muncul dengan Polar Express beberapa tahun silam, pada pengujung 2007 ini Zemeckis hadir mengusung kisah epik Beowulf dengan teknik animasi.

Sebetulnya apa yang ada dalam pikiran Zemeckis membesut kisah bersegmen dewasa melalui pendekatan animasi? Homo ludens. Manusia, terutama kaum pria, senang bermain. Hingga kini banyak gim video yang diproduksi dengan target konsumsi pria dewasa. Analogi serupa dipakai Zemeckis - penonton pria masih senang menikmati film yang dibumbui dengan kecanggihan teknologi di sana-sini . Sayangnya, pendekatan itu tak sepenuhnya menghasilkan karya yang baik.

Lihat kecanggihan animasi batu kerikil dalam Beowulf. Lihat pula teknik animasi tiga unsur alam utama dalam film ini: air, api, dan angin (dalam bentuk kabut). Semuanya wah dan mengundang decak kagum! (Ditambah lagi penampilan Angelina Jolie yang "super-berani"). Dalam beberapa adegan, tampilan visualnya sungguh realistis - seperti kemunculan Jolie dari dalam air. Empat jempol untuk Beowulf! Sayangnya, pada tahap yang sama, teknologi tersebut terlihat belum mampu mengeksplorasi emosi yang dicurahkan mimik wajah manusia. Lihat mimik wajah para karakter utama film ini dalam berbagai adegan - nyaris sama saja! Karakter yang tampil paling manusiawi justru sang monster, Grendel. Itupun sangat terbantu eksplorasi vokal pemerannya, Crispin Glover. Adegan dialog Grendel dengan ibunya dengan sedikit timpaan aksen Skandinavia tak boleh diabaikan begitu saja dan boleh dibilang menyumpal kekurangan emosi film.

Sayangnya, secara keseluruhan hampir tidak ada adegan lain dalam cerita film yang mampu menggugah emosi penonton. Beowulf (Ray Winstone) datang untuk menyelematkan kerajaan Hrothgar (Anthony Hopkins) dari ancaman monster jahat Grendel (Crispin Glover). Berkat keberaniannya, Beowulf mampu menumpas Grendel, tapi tindakannya itu harus dituntaskan pula dengan membunuh ibu Grendel (Angelina Jolie). Singkat cerita, tanpa terlalu menguras spoiler film, Beowulf menjadi raja menggantikan Hrothgar. Kejayaan Beowulf di benua Eropa berlangsung hingga berpuluh tahun berselang seekor naga membabi-buta di kerajaannya. Sekali lagi, Beowulf harus turun tangan dan angkat pedang membuktikan nama besar dan kepahlawanannya.

Sepintas, menonton Beowulf rasanya seperti menyaksikan Ugly Betty dalam versi animasi 3D a la Barbie. Ugh! Sudahlah! Animasi dan teknik CGI semata-mata diciptakan sebagai efek spesial untuk membantu film-film "nyata" macam trilogi The Lord of the Rings agar penonton mampu merasakan kedekatan emosi dengan film. Tapi, yang terjadi dalam Beowulf, hanya semacam pamer kehebohan teknologi belaka. Beowulf menjelma film miskin emosi yang sebaiknya dihindari penonton penggemar aksi "konvensional" (plus sedikit polesan efek di sana-sini). Sayang sekali...

* Review film Beowulf (2007)

** Image courtesy of www.impawards.com

Friday, November 09, 2007

 

Perjalanan yang Mendewasakan

Agak mengherankan keputusan distributor lokal memutar Stardust pada awal November ini. Padahal di AS, film ini menjadi penutup musim panas dan mengumpulkan US$ 9,1 juta pada minggu peluncurannya. Sampai akhir Oktober, Stardust baru mengumpulkan US$ 38,3 juta di AS saja, masih jauh dari perkiraan bujetnya US$ 65 juta. Tapi kenapa butuh rentang waktu lama untuk memasukkan Stardust ke Indonesia? Salah satu prediksi yang mencuat yaitu film yang diadaptasi dari novel Neil Gaiman ini "hanya" menjadi karnaval film-film fantasi lain seperti Beowulf dan logi awal dari His Dark Materials, The Magic Compass. Bila demikian, Stardust bisa menjadi pemanasan yang baik. Bagi penonton sendiri, kisah Stardust sanggup menyegarkan dan memudakan.

Pada awalnya adalah sebuah bintang jatuh, berwujud gadis bernama Yvaine (Claire Danes), yang menjadi rebutan tiga pihak berbeda. Raja Stormhold yang sedang sekarat melempar batu rubi pusaka kerajaan ke langit hingga menjatuhkan Yvaine dan berwasiat kepada anak-anaknya bahwa yang mampu menguasai batu tersebut, dengan menyingkirkan yang lain, akan menjadi pewaris kerajaan. Seorang nenek sihir, Lamia (Michelle Pfeiffer), menjadi perwakilan saudari-saudarinya untuk mengejar Yvaine, membelah dadanya, dan memakan jantungnya sebagai obat awet muda. Terakhir, seorang pemuda dari desa kecil The Wall, dinamakan karena memang dikelilingi tembok, bernama Tristan (Charlie Cox) yang sedang mabuk kepayang kepada Victoria (Sienna Miller), gadis paling rupawan di desa, dan berjanji membawakan Yvaine untuk membuktikan cintanya. Demi Victoria, Tristan bersedia menempuh perjalanan jauh untuk membawa hadiah istimewa itu seminggu kemudian, tepat pada hari ulang tahun Victoria. Perjalanan panjang itu ternyata mengubah hidup Tristan untuk selamanya.

Stardust memenuhi semua syarat film fantasi: kerajaan, pangeran, kisah cinta, petualangan, nenek sihir, dan sebagai bonusnya, "bajak udara" - Captain Shakespeare (Robert de Niro). Penampilan kembali Pfeiffer dalam Stardust setelah sekian tahun puasa bermain film bisa menghapus dahaga penonton karena perannya mendapat porsi sebagai antagonis utama. De Niro, tidak terlalu menjulang, tapi tampil mengejutkan di luar stereotipe peran-perannya selama ini. Untuk tokoh utama, banyak kritikus luar menyebutkan performa Cox dalam debut filmnya patut mendapat acungan jempol. Dalam film, tokoh Tristan mengalami perubahan besar di akhir film dan Cox mampu menjiwai perannya dengan baik.

Tidak banyak kisah adaptasi yang juga berhasil diangkat ke layar lebar. Namun, sutradara tidak terkenal Matthew Vaughn mampu menjalankan tugasnya mengarahkan dua aktor-aktris senior serta seorang pendatang baru dan membuat penonton terhibur. Tidak seperti trilogi The Lord of The Rings yang cenderung gelap, kisah cerita Stardust ringan, tapi tidak kacangan. Stardust sangat cocok dijadikan tontonan untuk remaja, apalagi pasangan yang sedang kasmaran, dan tentu saja kaum dewasa tidak dilarang untuk menontonnya barangkali bisa menyegarkan kembali gairah romantisme mereka.

Bagaimana tidak menyegarkan dan memudakan? Simak baik-baik sebuah adegan ketika Yvaine menyatakan isi hatinya kepada Tristan. Dialognya menyentuh dan memberikan definisi indah tentang cinta. Dalam adegan pengujung film yang lain, Tristan berada di luar rumah Victoria. Sesuai janjinya, bukti bintang jatuh sudah ada dalam sakunya. Tanda pembuktian diri. Seorang pemuda sudah kembali dari perjalana jauh demi cinta kepada gadis pujaannya. Tapi, hatinya sudah mantap. Bukan cinta yang ditemukannya dalam pencarian, melainkan kedewasaan diri. Kedewasaan seorang laki-laki yang dibutuhkannya untuk menyelamatkan Yvaine, cinta sejatinya, dari cengkeraman si jahat Lamia.

*Review film Stardust (2007)
**image courtesy of http://www.impawards.com/

Wednesday, November 07, 2007

 

Representasi Kebijakan Negara Adidaya

Dilepas setahun menjelang Pemilu AS, Robert Redford mempresentasikan Lions for Lambs sebagai cermin kebijakan politik negeri adidaya itu hampir satu dekade terakhir.

Film diramaikan tiga nama besar Hollywood: Tom Cruise, Meryl Streep, dan Redford sendiri. Peran Cruise tidak seperti dalam beberapa film "komersil"-nya belakangan. Sebagai senator Partai Republik, dia mengundang seorang jurnalis televisi - tetap diperankan penuh kelas seorang Streep - untuk sebuah wawancara eksklusif tentang strategi militer terbaru AS di Afganistan yang dirintisnya. Di tengah wawancara, operasi militer tersebut dijalankan di negara konflik itu. Pada saat yang sama pula, seorang profesor politik - Redford - memanggil mahasiswanya yang sering bolos kuliah. Melalui setting tiga tempat ini, penonton digiring menuju pokok pikiran film. Dan, persis seperti perannya dalam film, Redford mampu mementor penonton silent majority untuk menggunakan hak suaranya dalam Pemilu demi menentukan arah pemerintahan negara. Ungkapan "lions for lambs" sendiri muncul dari Perang Dunia I ketika Jerman mengagumi keberanian tentara Inggris sekaligus menertawakan para perwira dan pemimpin mereka yang mengakibatkan kematian ratusan ribu tentaranya sendiri.

Disebabkan temanya inilah, film akan mengikat emosi segmen pemirsa AS, tapi tersekat di tenggorokan penonton Indonesia. Beberapa penonton mungkin akan merasa tertipu dengan hadirnya nama-nama besar dalam film, sebagian lagi merasa menyesal tidak pernah langganan surat kabar, tapi film masih tetap enak dinikmati, meski secuil saja. Apabila terlalu jengah dengan isu politik yang ditawarkan Lions, mungkin ada baiknya kembali ke tema-tema lebih ringan, seperti film-film horor nasional yang terus memenuhi layar bioskop kita.

*Review film Lions for Lambs (2007)
**Image courtesy of www.ioncinema.com

Friday, November 02, 2007

 

Forrest dan Jenny

Kutipan paling diingat dalam Forrest Gump (1995) adalah nasihat ibu Forrest, "Hidup itu seperti sekotak cokelat...," kepada anak tunggalnya itu.

Tapi, ada pertanyaan mengusik dalam film, "Kenapa setiap kali bertemu, Forrest selalu berpisah dengan Jenny?"

Beberapa versi jawaban akan muncul. Saya akan bilang, "Supaya Forrest terus mencari..." Dan, toh, yang ditemukan Forrest selalu Jenny.

Pencarian dan pertemuan - sepasang keindahan dalam hidup yang sangat absurd ini.

This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Subscribe to Posts [Atom]