Tuesday, February 05, 2008

 

Fact stranger than fiction

Tidak seperti dalam film - ketika kamu tahu ending-nya seperti apa sehingga kamu tidak khawatir ketika keadaan berjalan tidak sesuai kehendak karakter utama di tengah cerita - hidup selalu menjebakmu dalam banyak pilihan.

*untuk semua cerita dan kehidupan yang selalu bertolak keinginan.

Monday, February 04, 2008

 

Rindu

Dilihatnya sekali lagi bagasi di atas kursi. Lengkap. Tas ranselnya sudah rapi nangkring di atas sana. Tas jinjingnya ditaruh di dekat kaki. Isinya laptop, tapi isi di dalam laptop itu lebih berharga dari laptop itu sendiri. Dia menyimpan banyak kenangan di dalamnya. Dia menyimpan banyak tuangan keluh kesah dan suka gembiranya di dalamnya. Dan, tentu saja, pekerjaannya. Begitu berharganya dia menyimpan tas itu di dekat kakinya. Aman.

Kereta akan berangkat lima menit lagi. Pukul 21.40, terlambat lima menit dari jadwal keberangkatan semula. Kota Solo sudah tertidur pulas. Di stasiun Balapan sudah tidak ada orang kecuali beberapa gelintir penumpang yang sengaja memilih kereta malam untuk tiba pagi di Jakarta. Sebelum berangkat, dikecupnya dulu Lintang, istri tercintanya, untuk berpamitan. Ini ritual bulanan, setiap sebulan sekali dia pulang ke rumahnya di Solo untuk melepas rindu dengan istrinya. Kenapa tidak mencari pekerjaan di Solo, pernah mertuanya bertanya. Dia ingin menjawab, kenapa tidak Lintang kuboyong saja ke Jakarta. Tapi dia tahu dia tak mungkin menjawab itu, sama tidak mungkinnya dia memboyong Lintang ke Jakarta. Dia cuma tersenyum dan menjawab gaji di Jakarta lebih bisa menghidupi dirinya dan Lintang. Diplomatis.

Istrinya pernah bertanya, seperti apa rupa Jakarta. Seumur-umur dia belum pernah ke ibukota, hanya melihat dari televisi. Dia bilang, Jakarta menawarkan banyak kesempatan. Istrinya malah menjawab, Jakarta menyeramkan, ada saja berita orang mati terbunuh setiap hari di televisi. Dia diam saja. Tersenyum simpul. Rupanya istrinya terlalu banyak menonton tayangan kriminal di televisi.

"Hati-hati," bisik istrinya setiap kali dia berpamitan ke Jakarta.
Suara yang selalu membuatnya merasa tidak ingin ke mana-mana. Dia mengangguk.
Istrinya mengerling manja. Sebulan lagi dia harus menahan rindu kepada suaminya itu.
Dia tahu dan berupaya menenangkan diri. "Aku berangkat ya," ucapnya dengan suara yang ditabah-tabahkan.
Rutinitas bulanan yang terus saja membuatnya kangen.
Kereta masih mengistirahatkan kaki-kaki bundarnya di atas rel stasiun Balapan kota Solo. Dia merogoh sakunya, mengambil ponsel, dan mengirimkan pesan pendek. "Kangen Lintang," tulisnya.
Tak sampai semenit, pesannya berbalas. "Hati-hati di jalan, mas."

Sungguh istrinya tidak punya kosa kata lain selain mengkhawatirkan keadaannya. Tapi, bukankah cinta itu sungguh ada manakala kamu mengkhawatirkan orang yang kamu cintai?
Dia membalas. "Aku sudah di kereta, sebentar lagi berangkat. Tiba di Gambir jam 7.20."
Dia tahu istrinya sudah tahu itu. Jadwal kereta, kalau tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, selalu tetap. Kalaupun terlambat, biasanya hanya meleset beberapa menit. Inilah rutinitas bulanannya. Setiap bulan polanya akan selalu sama, dia akan berpamitan, dan istrinya akan bilang hati-hati. Tiba di atas kereta, kerinduan langsung menyeruak sanubarinya. Dan, lagi-lagi, istrinya akan bilang hati-hati. Lagi-lagi pula, dia akan memberitahu jam berapa dia akan tiba di Jakarta. Rupanya rutinitas ini tidak pernah membosankan.

Peluit kereta meraung-raung. Kereta akan angkat kaki dari Solo. Kursi di sebelahnya kosong, memang ini bukan musim liburan. Dia duduk di pinggir jendela dan dari balik buramnya jendela kereta, malam sepi di Solo makin temaram. Lima menit kemudian, dia jatuh tertidur sambil memendam rindu di dalam hati. Dia tahu masih ada delapan jam lagi untuk menikmati kerinduan itu.

This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Subscribe to Posts [Atom]