Monday, December 25, 2006

 

Hidup Terus Berlanjut

Sengaja saya menggali agak ke belakang, setelah tergopoh-gopoh menjelajahi toko langganan di Ratu Plaza, saya memboyong 21 Grams untuk dinikimati di rumah demi memahami pesan di balik publikasi dan popularitas luar biasa dari Babel belakangan ini.

Kedua film di atas, serta Amores Perros, disutradarai oleh Alejandro Gonzalez Inarritu beserta kolaborator setianya, penulis Guillermo Arriaga. Babel adalah film terakhir yang saya tonton ketika Jiffest minggu lalu. Gawatnya, saya gagal menangkap pesan yang ingin disampaikan Inarritu. Gawatnya lagi, film ini disebut-sebut melengkapi trilogi karya sutradara asal Meksiko ini sekaligus ditahbiskan sebagai karya terbaiknya.

Lupakan dulu chemistry antara Brad Pitt dan Cate Blanchett, atau aksi gemilang Reiko Akuki sebagai gadis Jepang yang bisu-tuli di Babel. Menurut saya, justru melalui 21 Grams Inarritu mampu menyampaikan pesannya dengan sangat jelas. Film 21 Grams menggunakan teknik editing yang tidak menghiraukan ikatan ruang dan waktu. Hebatnya, dengan teknik ini penonton dibuat penasaran dan tetap setia duduk menonton mencari jawaban atas petunjuk yang diberikan Inarritu. Ibaratnya, 21 Grams adalah labirin raksasa. Satu potongan scene di dalamnya serupa sebuah kunci untuk membuka pintu yang menuntun penonton memasuki ruangan yang terhubung dengan ruangan lainnya. Masing-masing ruangan ini menghubungkan jalur antara pintu masuk dan keluar labirin. Wow!

Sulit memilih mana yang berperan lebih baik: Sean Penn, Naomi Watts, ataukah Benicio del Toro. Nama terakhirlah yang berhasil meraih Oscar, Penn dan Watts masuk nominasi Aktor dan Aktris Pendukung Terbaik. 21 Grams menceritakan tentang betapa berharganya hidup. Seperti yang diceritakan di akhir film, judul tersebut menunjukkan fenomena berkurangnya berat manusia sebesar bobot serupa ketika dijemput sang maut.

21 Grams bercerita tentang tiga karakter yang terhubung berkat jantung yang didonorkan mendiang suami Cristina [Watts] kepada Paul [Penn]. Paul, penderita gagal jantung akut, bertekad mencari tahu siapa sang donor yang menyelamatkan nyawanya. Pelan-pelan dia mendekati Cristina yang depresi dan mereka berdua pun saling jatuh hati. Cristina bertekad membalas dendam kepada John [del Toro] yang menabrak hingga tewas suami dan kedua anaknya.

Dengan komprehensif, Inarritu melengkapi cerita dengan latar belakang ketiga karakter tersebut. Tidak ada yang benar dan tidak ada yang salah. Seperti yang digambarkan dalam satu scene yang sulit dilupakan, John yang religius berbalik "menyalahkan" Tuhan atas kecelakaan tersebut. Memang yang ada hanya hidup. Di balik semua kejadian yang menimpa, manusia harus terus bertahan hidup. Film ditutup dengan narasi yang memukau, "Berapa bandingannya berat 21 gram itu? Seberat koin. Seberat seekor burung. Seberat sebatang cokelat". Betapa berharganya sebuah kehidupan itu. Dan, kematian adalah bagian dari kehidupan. Bagi mereka yang hidup, hidup harus terus berlanjut.

Solid! Meski sungguh demikian terlambat, 21 Grams berhasil menjadi salah satu film terfavorit saya pribadi. Untuk dibandingkan dengan Babel, penyampaian pesan dalam 21 Grams lebih berhasil. Setelah ini, saya memang harus menemukan kembali makna dan pesan Babel. Sebagian sudah ada dalam kepala saya, tapi maaf buat semua popularitas tadi, 21 Grams masih lebih baik. Brilian!

* Review film 21 Grams (Alejandro Inarritu, 2003)

Sunday, December 24, 2006

 

Mimpi

Saya ingin berbagi sebuah lagu yang selalu ingin saya dengar tiap kali bangun tidur. Terutama kalau didengar pagi-pagi [kapan ya saya bisa bangun pagi lagi?]. Intro lagu ini langsung menghentak; memancing detak adrenalin di dalam pembuluh darah yang sedang beku. Ditambah vokal Dolores O'Riordan yang melengking lagi menyayat, lengkap sudah sarapan motivasi yang selalu saya butuhkan untuk memulai hari.

Lagu ini bercerita tentang mimpi. Saya menemukannya sangat tak terlupakan dalam adegan pembuka film romantis You've Got Mail karya Nora Ephron. Lagu diperdengarkan ketika dua karakter utama yang dimainkan Tom Hanks dan Meg Ryan memulai hari mereka; bangun tidur, berbenah, dan keluar tempat tinggal masing-masing untuk berangkat kerja. Kedua karakter sempat berpapasan tapi mereka saat itu belum saling mengenal. Ketika bisnis toko buku raksasa milik Hanks makin menggurita, mereka tidak hanya saling kenal tapi juga terlibat konflik, dan ujungnya terlibat hubungan asmara.

Lagu dan film itu bercerita tentang mimpi. Hanks dan Ryan dipersatukan oleh mimpi mereka: meneruskan dan menyelamatkan hidup dengan melakukan pekerjaan yang mereka sukai, yaitu menjadi pemilik toko buku. Lebih dari itu, mereka saling jatuh cinta karena berangkat dari sebuah mimpi. Sebuah kemustahilan, bagi kaum pragmatis. Namun, kejujuranlah yang membuka semua kemungkinan. Dan, perubahan hidup tak terelakkan.

Ehm, baiklah. Kembali ke tujuan semula, saya ingin berbagi lirik lagu tersebut. Sayang situasi tidak memungkinkan saya memasukkan lengkap dengan versi audionya. Mungkin saya bisa menggunakan situs "M" [beberapa teman sudah memprovokasi saya], tapi saya masih terlalu malas dan sayang meninggalkan halaman situs ini...

===

"Dreams" - The Cranberries

Oh, my life is changing everyday,

In every possible way.
And oh, my dreams, it's never quite as it seems,
Never quite as it seems.

I know I've felt like this before, but now I'm feeling it even more,
Because it came from you.
And then I open up and see the person falling here is me,
A different way to be.

I want more impossible to ignore,
Impossible to ignore.
And they'll come true, impossible not to do,
Impossible not to do.

And now I tell you openly, you have my heart so don't hurt me.
You're what I couldn't find.
A totally amazing mind, so understanding and so kind;
You're everything to me.

Oh, my life,
Is changing every day,
In every possible way.

And oh, my dreams,
It's never quite as it seems,
'Cause you're a dream to me,
Dream to me.

Tuesday, December 19, 2006

 

Jiffest 2006, Jiffest Pertama Saya

Berapa film yang kamu tonton Jiffest tahun ini? Delapan, sepuluh, tiga belas, atau tujuh belas? Saya cuma lima dan saya senang bisa menyerap banyak cerita baru untuk menambah wawasan perfilman dan menyajikan film-film "bagus" bagi saya.

Jujur, saya mengawali pengalaman pertama menonton Jiffest dengan pesimisme. Saya tidak yakin sempat menonton semua film yang tiketnya sudah saya pesan sejak dua minggu sebelum hari pembukaan. Nyatanya, saya berhasil. Kendala pekerjaan yang saya takutkan sebelumnya ternyata tidak terjadi.

Boleh jadi saya termasuk generasi Jiffest-ers yang beruntung karena tahun ini festival difokuskan ke dua tempat bergaya: Djakarta Theatre dan eX. Terima kasih untuk kelompok 21 Cineplex. Selain tempat pemutaran di pusat kebudayaan yang terpaksa tidak saya pilih karena semata-mata faktor lokasi.

Lima film yang saya tonton bervariasi. Breaking and Entering dan Russian Dolls yang beraroma Eropa; meski berbeda gaya penuturan, Breaking and Entering karya Anthony Minghella sederhana nan khidmat, sementara Russian Dolls karya Cedric Klapisch sangat kental rasa Perancis-nya. Dua film Asia Timur: A Stranger of Mine dan 3-Iron; membuktikan karya putra Asia tak kalah dari belahan dunia lain. Salut buat Kenji Uchida dan Kim Ki-duk. Satu lagi, sekaligus film penutup Jiffest bagi saya, Babel karya Alejandro Inarritu. Meski sang sutradara berkelas festival, tapi buat saya, ini representasi karya Hollywood. Sedikit jengah dengan besarnya perhatian untuk Babel, padahal – lagi-lagi menurut saya – ceritanya tak setangguh empat film lain yang saya tonton. Sampai hari ini, terus terang saja, saya masih mencari-cari letak kekuatan Babel. Formula yang dipakai Inarritu sayangnya sudah sering dipakai dan jamak buat sebuah film “bagus” untuk ukuran saat ini.

Lima film yang saya tonton memiliki jadwal tayang prime-time. Saya sebut begitu karena saya memang sengaja memilihnya pada hari libur: Sabtu-Minggu, kecuali 3-Iron yang tayang tengah minggu, hari Rabu. Studio selalu penuh sesak dengan banyak orang yang mengantri. Persis dan sebelum jadwal tayang film pilihan saya, ada jam tayang khusus film tanpa harga tiket masuk alias gratis. Mereka yang berminat harus mengantri sejam sebelum waktu pemutaran demi mendapat tiket. Tak beda, antrian untuk film dengan harga tiket masuk pun lumayan panjang. Apalagi karena penonton tak diberikan kesempatan memilih tempat duduk pada saat membeli tiket. Saya tidak tahu kesulitan atau masalah teknis yang dialami panitia sehingga tidak mampu memberlakukan sistem pemberian tempat duduk ketika penonton membeli tiket. Agaknya ini bisa menjadi perhatian panitia untuk perbaikan tahun depan.

Demi menyaksikan antusiasme pengunjung Jiffest 2006, saya membagi mereka ke dalam lima klasifikasi penonton:
Pertama; Mereka yang menonton Jiffest karena benar-benar cinta film, suka film, maniak film… Mereka bersyukur festival film yang menjadi barang langka di negeri ini paling tidak masih bisa berlangsung setahun sekali. Mereka berharap, Indonesia memiliki lebih banyak festival film dan bermimpi memiliki sebuah yang bisa menandingi Festival Film Seoul. Tidak usah jauh-jauh ke Cannes atau Sundance dulu…
Kedua; Mereka yang rela datang karena Jiffest adalah sebuah tren, sebuah gaya hidup yang patut diikuti. “Secara lagi ngetren gitu lho…,” tukas mereka. Ditambah dengan tulisan Kompas edisi Minggu, 17 Desember lalu, yang menyatakan penyelenggaraan Jiffest memang sengaja dibikin akrab dengan pasar. Pemilihan beberapa film di antaranya adalah sebagai bentuk kompromi terhadap pasar. Pemilihan Babel sebagai film pembuka barangkali tak lepas dari faktor ini. Tak terelakkan.
Ketiga; Mereka yang datang karena ikut-ikutan teman. Ketimbang tidak punya acara dan duduk manyun di rumah, mereka mengiyakan ajakan teman-temannya untuk memenuhi ruang tunggu studio. Masalah tidak dapat tiket urusan nanti, yang penting ramai.
Keempat; Mereka yang nonton karena gratis. Ini Indonesia, bung! Tidak ada yang tidak menyukai barang gratisan. Kapan lagi bisa mencicipi masuk ruangan bioskop senyaman Djakarta Theatre [HTM normal Rp 35 ribu] dan eX [Rp 60 ribu] tanpa harus mengeluarkan kocek dari dalam dompet. Modalnya hanya mengantri dan, voila, masuklah ke dalam bioskop. Jangan heran tidak berapa lama sebagian dari mereka sibuk mengobrol sendirian, cekikan tidak karuan, atau bahkan meninggalkan film di tengah cerita dengan mumet di kepala dan menganggap jalan-jalan di mal lebih bermakna ketimbang menyaksikan film entah-apa-maksudnya itu.
Kelima; Mereka yang datang dan menonton karena menggantikan janji [atau, ehm, kencan] yang batal. Mereka biasanya mendapat panggilan atau pesan pendek mendadak pada hari pemutaran yang kurang lebih berbunyi “Gw kelebihan tiket Jiffest, elo mau ntn brg gw gak?”. Beda tipis dengan kelompok keempat, kalau tidak punya acara lain, mereka dengan senang hati menjadi pahlawan penyelamat si empunya “tiket lebih”. Saya berpesan, perlu diwaspadai motivasi ajakan sang pahlawan di kemudian hari. Apakah mereka betul-betul tanpa pamrih?

Ini pengalaman Jiffest kali pertama buat saya. Sebagian mungkin menganggapnya cuma pamer keberhasilan dan kebanggaan mengikuti arus gaya hidup urban di ibukota. Sebagian lagi memandang saya benar-benar menyukai film lebih dari sekadar tontonan untuk menghibur – kalau ada yang beranggapan demikian saya berterima kasih banyak. Sebagian boleh menganggap saya tidak punya urusan lain sehingga melebih-lebihkan perihal Jiffest ini dan memakan banyak ruang dalam blog ini.

Dari kesemuanya, saya banyak berterima kasih pada seorang teman yang bersedia menemani saya untuk semua film yang saya tonton. Tak enak menjadikan dirinya pengganti janji yang batal terlaksana, tapi toh dia menanggapinya dengan senang hati. Phew, lega rasanya… Bagi saya, dialah pahlawan sebenarnya untuk Jiffest tahun ini.

Tahun depan, Jiffest [mungkin] datang lagi. Sepanjang masa penantian, saya hanya bisa menghibur diri dengan wacana-wacana film “bagus” melalui fasilitas keping DVD seharga tujuh ribuan yang biasanya saya dapatkan di Ratu Plaza atau di dekat rumah. Meski begitu, tak pelak, Hollywood lagi-lagi akan banyak memberikan warna untuk film yang akan saya tonton. Terima kasih untuk panitia Jiffest; sampai tahun depan!

Tuesday, December 12, 2006

 

Lingkaran yang Sempurna

Bagi mereka yang sependapat, film tidak hanya untuk sekadar dilihat dan didengar. Film adalah karya utuh pembauran dari banyak elemen: skenario, sinematografi, editing, dan pemasaran. Dari sudut pandang ini kilm karya Kenji Uchida, A Stranger of Mine, adalah sebuah karya yang mendekati kesempurnaan.

A Stranger of Mine bercerita tentang kisah sederhana perjuangan seorang laki-laki yang kesulitan mendapat cinta sejatinya. Itu hanya benang merahnya [maaf, spoiler ini tak terelakkan untuk ditulis]. Uchida menggunakan tiga sudut pandang utama: sang lelaki pecundang bernama Miyata, detektif teman Miyata bernama Kanda, dan bos yakuza Asai. Untuk menyambung tiga sudut pandang ini, Uchida menggunakan dua karakter perempuan: Maki dan Ayumi. Film dibuka dengan prolog ketika Maki dengan tegar membuat keputusan sulit, yaitu meninggalkan tunangannya dan pergi tanpa tujuan. Dia mencoba meyakinkan diri dapat hidup sendirian sampai akhirnya bertemu dengan Miyata dan Kanda di sebuah restoran. Dari sini kisah mengalir, sambung menyambung untuk menjadi cerita yang lengkap.

A Stranger of Mine sesungguhnya memang genre film yang menyambung potongan demi potongan kisah menjadi sebuah keutuhan. Penggila film tak lagi asing dengan gaya penceritaan ini sejak Quentin Tarantino sukses mengacak stereotipe ala Hollywood lewat Pulp Fiction satu dasawarsa silam. Uchida bukan Tarantino. Tapi hebatnya, Uchida paham memanfaatkan setiap aspek film untuk menanamkan gambar yang utuh di dalam kepala penonton. Cara bercerita Uchida menunjukkan kepiawaiannya menggunakan pelbagai elemen seperti sudut pandang cerita, mata kamera, mimik muka, dialog, musik, bahkan gerakan kaki!

Menonton A Stranger of Mine seperti menggambar sebuah kurva bulat yang tertutup rapat. Dalam bahasa sederhana, film ini sebuah lingkaran yang sempurna manakala Uchida berhasil membuat titik penutup bertemu dengan titik pembuka filmnya. Sulit mencari celahnya hanya dengan sekali menonton. Luar biasa!

* Review film "A Stranger of Mine" (Kenji Uchida, 2005)

Sunday, December 10, 2006

 

Akhir Sebuah Sabtu

Sejak dua minggu lalu, saya memulai sebuah janji dengan akhir yang sudah saya duga. Meski begitu, saya butuh satu setengah jam - untunglah - untuk mengisi kembali kekosongan yang muncul dalam rongga dada begitu janji itu berbalas dengan kekecewaan.

Langit berpihak kepada saya sepanjang Sabtu ini - setidaknya di ibukota. Tak turun pula hujan yang saya khawatirkan ketika memulai janji itu. Namun nasib baik memang tak dapat berjalan baik pula tanpa kesungguhan dan keberuntungan. Dengan pagi yang agak gopoh, saya melewati pengalaman udara pertama saya di sebuah radio ibukota dengan relatif lancar. Saya akui saya gugup. Apalagi, saya membenci figur seorang komentator sepakbola yang seperti-tahu-segalanya-tapi-dengan- komentar-yang-membabi-buta-dan-berbusa-busa. Setelah mencicipi posisi sebagai komentator, saya akui saya sudah menanda tangani kontrak untuk bergabung dalam kelompok komentator sepakbola yang seperti-tahu-segalanya-tapi-dengan-komentar-yang-membabi-buta- dan-berbusa-busa. Sejam pun terasa lebih cepat dari biasanya. Benar kata teman saya, cuap-cuap itu zat adiktif nan berbahaya - mestinya BPPOM mulai mengawasi hal ini.

Setelahnya, saya hinggap di pameran buku nasional di bilangan Senayan hanya demi melewati satu persatu stand dengan melengos kiri ke kanan. Memang saya salah memilih hari, Sabtu siang untuk sebuah pameran buku niscaya diisi dengan pengunjung berlalu-lalang yang padat. Belum lagi mereka yang rela membawa serta anak-anaknya demi mencurahkan kasih sayang pada sang buah hati yang ingin membeli buku cerita sesuai keinginannya. Saya berkata kepada diri sendiri, "Saya ke sini untuk melihat buku atau melihat orang-orang sih?!" Tidak betah, saya beranjak ke agenda utama hari ini. Yap, sebuah festival film tahunan ibukota yang diselenggarakan di sebuah bioskop di bilangan Sarinah.

Dengan menumpang busway, tak butuh lama mencapai tempat itu. Istirahat sebentar dan menikmati ketoprak jalanan dengan sebotol teh [kaget juga dengan harga pengganjal perut ini Rp 5.500 saja], saya menanti kedatangan teman-teman di dalam bioskop. Paling tidak, saya takkan menjalani Sabtu ini sendirian saja. Plan B yang berjalan persis di ujung Plan A saya. Posisi kursi sebelah yang sedianya diperuntukkan baginya direposisi oleh seorang teman lama - sekaligus juru selamat saya. Usai film, saya bergabung dengan rombongan teman-teman menghabiskan petang. Kesana-kemari-tak-tentu-arah tak masalah, karena memang tujuan saya untuk selekasnya membunuh waktu.

Menjelang pukul 11 malam, saya tiba di rumah demi menghadapi tumpukan pekerjaan yang sengaja saya tunda kerjakan hari ini. Belum lagi saya sentuh mereka sampai detik ini. Besok dan seminggu ke depan, saya akan mulai berdarah-darah lagi; pekan ini juga tugas seorang pewarta harus paripurna. Saya menghidupkan komputer, meregangkan badan, menulis basa-basi tak perlu ini ke dalam blog, dan mungkin setelahnya akan berpikir menyelesaikan sebagian pekerjaan. Dan, dua menit lagi, Sabtu ini segera berakhir.

Tak usah sedih, sidang pembaca. Saya memang kecewa, tapi cukup sampai Sabtu ini saja.

 

Hukuman Seorang Pencuri

Dalam hidup, Anda boleh sekali-kali berlagak menjadi pencuri; menyelinap diam-diam, mengambil barang yang Anda mau, dan pergi tanpa jejak. Anthony Minghella bercerita tentang pencuri dalam film terbarunya.

Breaking and Entering adalah film yang disutradarai dan sekaligus ditulis oleh Anthony Minghella [The English Patient, The Talented Mr. Ripley] dengan sederhana namun berisi. Film dibuka dengan scene pencurian yang dilakukan oleh seorang bocah imigran Bosnia bernama Miro [Rafi Gavron] di kantor milik arsitek Will Francis [Jude Law, Closer] di kawasan rural London, King's Cross. Dengan kelincahannya, Miro menjadi kaki tangan seorang tukang tadah peralatan komputer. Dua kali kantor Will dikerjai, sehingga dia memutuskan untuk mengintai sang pencuri. Pengintaian tersebut ternyata membawanya kepada sebuah dunia baru. Dia berkenalan dengan Amira [Juliette Binoche, Chocolate], ibu Miro, seorang penjahit yang berjuang sebagai orang tua tunggal bagi anak semata wayangnya itu. Awalnya Will ingin menangkap basah Miro, namun dia hanyut ke dalam dunia barunya dan membuatnya terlibat hubungan asmara dengan Amira.

Sebenarnya di saat yang sama, Will hidup bersama tanpa ikatan nikah dengan Liv [Robin Wright Penn, Forrest Gump] dan anak perempuannya yang autis, Beatrice "Bea" [Poppy Rogers]. Hubungan mereka selama bertahun-tahun berjalan datar dan nyaris tanpa gairah. Dalam sebuah scene, Minghella menggambarkan hubungan "keluarga" kecil ini di ambang keretakan. Ketika makan malam bersama, Will dan Liv saling berdebat sementara Bea mengeluh soal makanannya. Suasana memanas dan puncaknya, Bea membanting piring makanannya sampai pecah di lantai. Keinginan Minghella menyelesaikan konflik dalam filmnya ini terlihat ketika Liv mengambil kembali piring yang sudah pecah itu dan berupaya menyatukannya kembali kepingannya satu persatu.

Seperti judulnya, Breaking and Entering bercerita tentang seseorang yang tiba-tiba masuk dalam kehidupan dan membuat semuanya berubah. Minghella menjadikan karakter Will seolah-olah seorang pencuri yang mencampuri peliknya kehidupan Amira. Ketika Will dan Amira berbaring dalam bath tub, janda yang terusir dari tanah kelahirannya itu protes, "Kamu mencuri hati seseorang. Dan apa yang kamu lakukan? Lapor ke polisi?". Ini kutipan terbaik dalam film. Apalagi setelah itu hubungan asmara mereka dipertaruhkan ketika Miro diciduk polisi dan menghadapi sidang persidangan atas tuduhan pencurian. Satu-satunya harapan adalah Will mencabut tuduhan itu. Will harus memilih: mengabulkan permohonan Amira dan membuka semua affair-nya kepada Liv atau diam saja dan membiarkan Amira kehilangan Miro.

Binoche lagi-lagi bermain baik - lengkap dengan aksen Bosnia yang lancar - sebagai janda yang mampu memikat perhatian pria seperti perannya dalam Chocolate. Wright Penn terlihat jauh lebih dewasa [untuk tidak mengatakan tua] sebagai seorang ibu beranak satu. Law juga tampil sesuai performa sebagai seorang "ayah tiri" yang mencintai anaknya, walaupun chemistry Law dengan Binoche lebih terasa kental. Minghella menggunakan banyak sudut pandang medium close-up dan tidak banyak menginterevensi cerita dengan sub plot macam-macam - kekurangan film meski tak terlalu mengganggu. Hasilnya, sebuah film yang sederhana dengan kisah yang tidak terlalu rumit. Pertanyaannya mungkin hanya satu, setelah membuka pintu [breaking] dan masuk [entering], bagaimana caranya keluar? Dengan cerdas, karena ini sebuah kisah "kejahatan", Minghella mengakhiri filmnya dengan scene persidangan. Ada dua keputusan dalam sebuah persidangan: mengampuni atau menghukum. Dan, itu pun dapat terjadi dalam hubungan manusia. Anda boleh berlagak menjadi "pencuri", tapi suatu saat Anda harus menghadapi persidangan untuk kejahatan itu. Satu-satunya kebenaran adalah Anda memang tak bisa melaporkan kepada polisi seseorang yang telah "mencuri" hati Anda.

* Review film "Breaking and Entering" (Anthony Minghella, 2006)

Monday, December 04, 2006

 

Kalau Amerika Serikat Ingin Mengerti

"Dunia lebih baik tanpa Amerika Serikat". Kalimat tersebut sudah sangat sering terdengar di negara kita. Seperti ingin menambah protes anti-kedatangan Tuan Bush ke negeri tenteram nan permai ini, Albert Brooks [Finding Nemo, The In-Laws] mencoba meniru metode Michael Moore [tentu Brooks tak suka dibandingkan seperti ini]: protes melalui film. Berbeda dengan jalan Oliver Stone yang berubah sedikit patriotis dalam World Trade Centre, Brooks menulis dan menyutradarai Looking for Comedy in Muslim World dengan pisau sarkasme.

Alkisah, suatu hari Brooks menerima surat dari Pemerintah AS untuk sebuah proyek demi kepentingan negara. Dalam rangka memahami seisi dunia, khususnya populasi Muslim, Pemerintah meminta Brooks mencari tahu apa yang bisa membuat mereka tertawa. Karena dikenal sebagai seorang komedian, Brooks dipilih berangkat selama sebulan ke India dan Pakistan untuk mendapat jawaban atas pertanyaan tersebut. Ditemani dua orang staf pemerintahan, berangkatlah Brooks ke New Delhi. Di ibukota India itu, dia tak menemukan satupun klub komedi - begitu juga di Pakistan. Muncul gagasan untuk menyelenggarakan pertunjukan stand-up comedian. Brooks merasa dia paham betul apa yang bisa membuat orang tertawa. Sekali lagi karena dia seorang komedian, apa susahnya membuat orang tertawa? Dia memperoleh kejutan: ternyata sulit membuat orang India tertawa.

Film ini ditulis sekaligus disutradarai oleh Brooks. Brooks memang piawai dalam menulis. Seperti yang dia lakukan dalam filmnya yang lain, misalnya The Muse, kekuatan film terletak pada dialog. Renyah dan menggelitik. Sayangnya akting Brooks terkesan datar dan terkesan dia tak mampu berperan sebagai dirinya sendiri. Namun, Brooks tak dapat menyembunyikan kegemasannya melihat meluasnya konflik dunia yang terjadi belakangan ini. Dalam film dia menggunakan plot suasana kedutaan India dan Pakistan - dua negara tetangga yang saling bermusuhan - yang sama-sama resah menangkap aktivitas misterius seorang Amerika di teritori kedaulatan mereka. Akhir cerita, setelah dua minggu berselang kedatangannya, Brooks terpaksa angkat kaki karena kedutaan AS menangkap sinyal konflik yang terjadi di India. Maksudnya, Brooks ingin menggambarkan sebesar apa akibat dari intervensi AS terhadap negara lain. Misi film ini sendiri terjawab lewat analisis staf pemerintah yang menemani Brooks; dia berpendapat kegagalan Brooks memancing tawa penonton India saat pertunjukan stand-up comedian adalah karena Brooks tidak memahami penontonnya. Dalam film, analisis ini disangkal Brooks.

Saran untuk mereka yang tertarik menonton film ini: jangan bersikeras memahami apa yang ingin disampaikan Brooks. Seperti orang India yang bergeming menonton pertunjukan stand-up comedian Brooks, kita seperti tidak dituntut memahami pesan film karena Brooks memang tidak bermaksud mengalamatkannya pada kita - lebih kepada warga AS.

Selain dialog, kekuatan film ini juga terletak pada pesan sarkasmenya. Menurut Brooks, seperti yang dituturkannya pada Maya si sekretaris lokal, sarkasme adalah "berbicara tentang sesuatu tapi sebenarnya tentang hal lain". Sekadar petunjuk [bagi yang tidak senang dirundung penasaran], letak sarkasme itu pada kalimat pertama resensi ini.

* Resensi film "Looking for Comedy in Muslim World" (Albert Brooks, 2006)

Friday, December 01, 2006

 

Fragmen Jumat

Hari pertama di bulan Desember. Awan mendung menutup langit Jumat ini. Sebuah hadiah kecil dari Tuhan untuk umat-Nya. Seperti biasa mesjid dipenuhi umat yang ingin beribadah. Mendekati waktu azan, ruangan dalam sudah penuh namun masih menyisakan beberapa tempat lowong di pelataran dan halaman mesjid. Biasanya tempat favorit jemaah adalah di bawah dua pohon kamboja rindang yang tumbuh berdekatan. Tapi dengan matahari yang malu-malu bersembunyi di balik awan, tempat bukan lagi masalah. Ah, kalau saja matahari berani unjuk diri pun semua tempat sama saja. Bulan Desember, posisi matahari [atau bumi?] sudah berubah. Bayangan mulai jatuh condong ke sebelah utara, sudah di luar halaman mesjid. Bayangan? Tidak tampak pula ada bayangan, sinar matahari sejenak jadi barang langka di sini. Perubahan membuat manusia merasa canggung, seperti seorang kakek yang dengan kikuk membalas jabatan tangan seorang anak muda di sebelahnya. Agaknya sudah dimaklumi, masa kini rasa hormat kepada orang yang berusia lebih tua sudah jauh berkurang. Herannya, mereka justru heran ketika masih ada yang menganut tradisi lama itu.

Di mimbar, Khatib berceramah singkat. Intinya masalah waktu. Dia mengutip salah satu surat dalam kitab suci: “Demi waktu. Sesungguhnya manusia itu benar-benar ada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh. Dan saling menasehati supaya menaati kebenaran. Dan saling menasehati supaya menetapi kesabaran.”

Satu jam saja berjalan. Begitu Imam mengucap salam, hubungan transedental sontak terhenti. Jemaah berangsur pulang. Larut dalam aktivitas semula. Sedikit yang beriktikaf. Awan pun berubah; menepi memberi jalan pada matahari memberikan sinarnya ke muka bumi. Bayang manusia, bayang benda-benda, mulai nyata dan jelas lagi.

This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Subscribe to Posts [Atom]