Monday, February 27, 2006

 

Ulurkan Tanganmu

Aku akan jatuh. Lagi.
Ulurkan tangan setiamu
sebelum semuanya terlambat
sebelum hujan berubah pikiran.

Aku terbenam. Dalam.
Ulurkan tangan setiamu
kalau angin tetap bertiup
kalau senja masih saja berharap.

Lalu aku terbang. Tinggi.
Ulurkan tangan setiamu
sebelum bintang ramai di langit
sebelum sayap-sayap malam jatuh kelelahan.

Dan aku terus bermimpi. Tentangmu.
Ulurkan tangan setiamu
sebelum embun pagi menguap
dan keindahanmu tercampak sia-sia.

Friday, February 24, 2006

 

Seni Mencari

Menjelang akhir minggu lalu, mendadak saya disibukkan dengan penugasan sebuah pekerjaan yang harus selesai di akhir minggu itu juga. Saya cuma punya waktu kurang dari 4 hari saja untuk mencari materi dan menyusunnya menjadi sebuah tulisan. Entah karena desakan waktu atau hal lain, saya tidak bisa berkonsentrasi pada penugasan tersebut. Dinamika sepanjang akhir minggu itulah yang memperkenalkan saya pada sebuah seni lain yang terlupakan, yaitu mencari.

Mencari. Paling tidak, mencari itu dilakukan untuk dua alasan. Pertama, mencari sesuatu yang belum pernah ada, dan yang kedua mencari pengganti dari yang sudah ada. Mencari, tentu saja baru akan ada oleh sebab dorongan kebutuhan. Jadi, kalau begitu, orang mencari karena memang butuh. Mungkinkah orang mencari sesuatu yang tidak ia butuhkan?

Dari pengalaman saya mencari materi demi penugasan tersebut, ternyata sesuatu yang dicari itu sesungguhnya bisa saja benda yang ada di depan hidung kita. Kalau menggunakan ilmu pencarian canggihnya Google, pencarian dilakukan dan diklasifikasi dari panduan kata kunci. Dari kata kunci sendiri, kemudian dipilih lagi, bisa satu kalimat saja, satu penggalan kata saja, atau keseluruhan rangkaian kalimat. Dipersempit lagi, dipilih dalam bahasa apa, bentuk atau format apa, dan lain-lain. Ternyata, teknik mencari sesungguhnya menyederhanakan pencarian itu sendiri, alih-alih menambah-nambah hal yang kompleks.

Saya teringat dan berhasrat menambahkan konsepnya Malcolm Gidwell dalam bahasan ini. Dalam bukunya, Blink, Gidwell berhipotesa bahwa keputusan manusia didasarkan pada kompilasi pengetahuan dan pengalamannya bertahun-tahun secara tanpa sadar. Jika seorang Andrea Pirlo sangat ahli dalam mengeksekusi tendangan bebas, mungkin saja itu tidak lahir dari teori fisika yang rumit. Pirlo membutuhkan latihan rutin bertahun-tahun untuk mengetahui beberapa alternatif pilihan estimasi dari presisi sebuah bola dengan rumus volume jari-jari pangkat 3 diperhitungkan dengan kecepatan angin, sudut tendangan, dan energi yang dibutuhkan, untuk menghasilkan tendangan dengan lintasan parabolik dan kecepatan tertentu. Pusing bukan? Dalam kata yang sangat sederhana, sebut saja begini, latihan membuat segala hal sempurna.

Nah, maksud saya menyinggung hipotesa Gidwell soal "pilihan tipis" ini adalah pada saat memulai mencari, sebenarnya kita sudah menyimpan konsep dalam benak sendiri tentang apa yang akan ditemukan. Lebih tepatnya tentang apa yang ingin ditemukan. Apakah pilihan tersebut dapat dipertanggung jawabkan atau tidak kembali kepada seberapa sering kita berlatih. Sebelum menemukan sesuatu, kalau meminjam ucapan seorang teman, "jujurlah kepada diri sendiri".

Hasilnya, kembali soal penugasan tadi, saya menemukan sesuatu. Lalu, dari apa yang ditemukan, saya olah hasilnya meski secara jujur saya akui saya kurang puas. Mestinya saya dapat menemukan yang lebih baik, namun saya harus berkompromi dengan tenggat waktu. Itu pilihan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Saat ini, sudah datang penugasan berikutnya. Saya harus kembali mencari. Kali ini berbekal pengalaman sebelumnya, mudah-mudahan saya mendapatkan apa yang saya mau.

Saturday, February 18, 2006

 

Pada Sebuah Kutipan (4)

"... perasaan itu valid, terlepas dari benar tidaknya,"

*seorang kolega, pada suatu perbincangan kopi sore yang menggelora.

Wednesday, February 15, 2006

 

In Memoriam

Katanya hari ini hari kasih sayang buat umat manusia sedunia. Ah, kumatikan radio. Kumatikan televisi. Kuistirahatkan tugas dari kantor. Kusunyikan malam. Kunyalakan komputer. Kuputar lagu-lagu Dewa. Aku ingin pulang dulu.

Liriknya masih sama seperti dulu. Namun sensasinya mengembalikan awang pikiran sekian tahun silam. Saat hidup masih jauh lebih sederhana. Saat arti kehidupan masih dapat kutemukan berwujud di diri seorang penghuni kampus. Saat kehangatan pertemanan membakar malam-malam Jatinangor yang dingin.

Malam ini, semuanya cuma segelas ampas teh manis tidak habis diminum. Untuk teguk terakhir, ayo bersulang!

Demi masa lalu!

Demi kenangan!

Demi teman-teman!

Thursday, February 09, 2006

 

Insomnia

Kopi Aceh dan kerupuk Palembang. Sungguh pasangan aneh untuk menemani malam dengan hujan yang mendesah-desah ini. Belum lagi dapat tidur. Tersesat oleh rimba pekerjaan. Tersesat oleh rimba pemikiran. Mana petunjuknya? Adakah dalam bulir-bulir kafein kopi itu? Apakah ada pada perisa ikan belida dalam resep kerupuk ini?

Malam masih dini. Hujan tidak mau berhenti. Belum lagi dapat tidur. Memikirkan kepala. Memikirkan hati. Esok hari, kusia-siakan lagi panggilan azan subuh. Hidup pun mulai mengeluh kepadaku. Katanya, kapan kau beri aku arti? Tak mengerti, aku angkat bahu saja.

Tuesday, February 07, 2006

 

Irresistible

Within an inevitably journey, I suddenly stop and asking myself, what’s in it? Definitely nothing. Nothingness fills me with anger and frustration. Of not knowing with what has-to-do things. In the end, I’m only walking on myself. No directions. No beginning. No meaning at all.

There she was, caught me with a little smile. Ease up gloomy face of mine. After giving her warm hands, my life was back. She gave the simplest meaning to my journey. Dream had its own reason to be come true.

But now, she’s back gone. Vanish by the dawns gone. I still miss her breath but I have to walk again, through the same door. Through the same way. Into nothingness. And meaningless. Yes, my friend, I’m irresistible.

Wednesday, February 01, 2006

 

Tersendat-sendat

Oleh karena keinginan dan harapan pula, saya sampai di titik ini. Ibaratnya adalah sebuah mobil di dalam garasi. Saya rasa untuk sampai di tujuan saya berikutnya saya perlu menggunakan mobil ini. Saya buka pintu garasinya, saya sapu debu-debunya, saya bersihkan seadanya, dan saya panaskan mesinnya. Perjalanan segera dimulai. Saya jalankan mobil ke luar garasi, sudah mulai meninggalkan rumah. Tapi, apa daya karena sudah terlalu lama tidak digunakan, atau bahkan baru sekali ini saya pakai, mobilnya ngadat. Terbatuk-batuk, tapi tidak mati juga. Apalagi saya bukanlah pengemudi yang mahir lagi serbatahu jalan, maka jalannya mobil ini hanya pantas diadu dengan laju kuda tunggang wisata di sekitaran jalan Ganesa, di Bandung sana.

Perjalanan ini adalah buah dari kemauan saya sendiri. Konsekuensinya pasti ada dan harus ditanggung sendiri. Saya sekarang sudah ada di jalan raya dan terlalu terlambat untuk memutar arah kembali ke rumah. Saking konsentrasinya mengemudi dan saking berhati-hatinya di jalan, sudah tidak sempat lagi saya luangkan waktu sekadar mengisi lembaran blog ini dengan tulisan-tulisan. Pun tulisan resensi film atau buku yang biasanya saya buat sehabis menonton atau membaca, padahal ada beberapa film dan buku yang saya temukan menarik sebulan terakhir. Bahkan untuk menulis apapun, sepertinya pikiran ini sudah tercurah di jalan yang saya pilih.

Jalan apa yang saya maksud? Kalau boleh saya bagi, bukan sesuatu yang sangat dahsyat. Bukan masalah hati, melainkan masalah kepala. Sedang ada perubahan di sini. Orang-orang berubah. Tuntutan berubah. Ekspektasi berubah. Semuanya berubah. Maka, saya pun harus berubah.

Dan sekarang sudah bulan Februari. Oalah... Cepat nian...... Jalan masih panjang dan jauh. Bekal saya seadanya. Mudah-mudahan semuanya menjadi mudah kemudian.

This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Subscribe to Posts [Atom]