Friday, February 24, 2006

 

Seni Mencari

Menjelang akhir minggu lalu, mendadak saya disibukkan dengan penugasan sebuah pekerjaan yang harus selesai di akhir minggu itu juga. Saya cuma punya waktu kurang dari 4 hari saja untuk mencari materi dan menyusunnya menjadi sebuah tulisan. Entah karena desakan waktu atau hal lain, saya tidak bisa berkonsentrasi pada penugasan tersebut. Dinamika sepanjang akhir minggu itulah yang memperkenalkan saya pada sebuah seni lain yang terlupakan, yaitu mencari.

Mencari. Paling tidak, mencari itu dilakukan untuk dua alasan. Pertama, mencari sesuatu yang belum pernah ada, dan yang kedua mencari pengganti dari yang sudah ada. Mencari, tentu saja baru akan ada oleh sebab dorongan kebutuhan. Jadi, kalau begitu, orang mencari karena memang butuh. Mungkinkah orang mencari sesuatu yang tidak ia butuhkan?

Dari pengalaman saya mencari materi demi penugasan tersebut, ternyata sesuatu yang dicari itu sesungguhnya bisa saja benda yang ada di depan hidung kita. Kalau menggunakan ilmu pencarian canggihnya Google, pencarian dilakukan dan diklasifikasi dari panduan kata kunci. Dari kata kunci sendiri, kemudian dipilih lagi, bisa satu kalimat saja, satu penggalan kata saja, atau keseluruhan rangkaian kalimat. Dipersempit lagi, dipilih dalam bahasa apa, bentuk atau format apa, dan lain-lain. Ternyata, teknik mencari sesungguhnya menyederhanakan pencarian itu sendiri, alih-alih menambah-nambah hal yang kompleks.

Saya teringat dan berhasrat menambahkan konsepnya Malcolm Gidwell dalam bahasan ini. Dalam bukunya, Blink, Gidwell berhipotesa bahwa keputusan manusia didasarkan pada kompilasi pengetahuan dan pengalamannya bertahun-tahun secara tanpa sadar. Jika seorang Andrea Pirlo sangat ahli dalam mengeksekusi tendangan bebas, mungkin saja itu tidak lahir dari teori fisika yang rumit. Pirlo membutuhkan latihan rutin bertahun-tahun untuk mengetahui beberapa alternatif pilihan estimasi dari presisi sebuah bola dengan rumus volume jari-jari pangkat 3 diperhitungkan dengan kecepatan angin, sudut tendangan, dan energi yang dibutuhkan, untuk menghasilkan tendangan dengan lintasan parabolik dan kecepatan tertentu. Pusing bukan? Dalam kata yang sangat sederhana, sebut saja begini, latihan membuat segala hal sempurna.

Nah, maksud saya menyinggung hipotesa Gidwell soal "pilihan tipis" ini adalah pada saat memulai mencari, sebenarnya kita sudah menyimpan konsep dalam benak sendiri tentang apa yang akan ditemukan. Lebih tepatnya tentang apa yang ingin ditemukan. Apakah pilihan tersebut dapat dipertanggung jawabkan atau tidak kembali kepada seberapa sering kita berlatih. Sebelum menemukan sesuatu, kalau meminjam ucapan seorang teman, "jujurlah kepada diri sendiri".

Hasilnya, kembali soal penugasan tadi, saya menemukan sesuatu. Lalu, dari apa yang ditemukan, saya olah hasilnya meski secara jujur saya akui saya kurang puas. Mestinya saya dapat menemukan yang lebih baik, namun saya harus berkompromi dengan tenggat waktu. Itu pilihan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Saat ini, sudah datang penugasan berikutnya. Saya harus kembali mencari. Kali ini berbekal pengalaman sebelumnya, mudah-mudahan saya mendapatkan apa yang saya mau.

Comments: Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]





<< Home

This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Subscribe to Posts [Atom]