Thursday, November 23, 2006

 

Sebuah Rasionalisasi

Hari ini saya akhiri dengan obrolan panjang bersama seorang teman lama di kedai kopi sebuah hotel di bilangan Sudirman. Kami bertemu dalam rangka peluncuran buku yang menjadi sebuah proyek di tempat kerja saya yang lama. Saya datang sejak siang. Didahului seminar, acara usai sebelum pukul lima. Dia bertanya apakah saya punya waktu untuk mengobrol sebentar. Saya mengiyakan. Padahal saya ingin pulang lebih awal. Jarang-jarang pulang ke rumah sebelum matahari terbenam. Tapi, saya pikir obrolan ini takkan membuat saya rugi. Rasanya saya benar...

"How're you doing?"
Dia memulai obrolan, persis sebelum memesan sepiring nasi goreng ke pelayan. Saya memesan burger dan kami sama-sama meminta segelas orange juice. Kemudian saya menjawab. Bercerita panjang lebar. Semuanya keluar. Hampir semuanya, setidaknya saya harus menyimpan sedikit untuk garis pertahanan saya sendiri. Sedikit saja [tampaknya sih tidak berhasil...he-he..]. Saya bercerita saya khawatir dengan manajemen tempat saya bekerja.

Dia mendebat dengan gaya khasnya, "What's the matter? Your job is nothing to do with the management!"
Baiklah, saya mengeluarkan segenap argumen yang saya bisa untuk menangkis pertanyaannya. Tapi, seperti biasa, teman saya ini selalu memiliki alasan logis untuk semua pertanyaannya. Semua!

Dia bilang semestinya saya sudah tahu konsekuensi sebelum memilih tempat kerja baru ini. Itu tak jadi soal. Saya sudah tak perlu diberi tahu lagi. "They're just establish. Beda dengan tempat kerja lamamu, mereka sudah establish. Kalau hal semacam itu terjadi, pantas kau pertanyakan." Lantas dia bilang pekerjaan saya adalah menulis dan menepati deadline. Hanya itu. Tak ada urusan langsung dengan kebijakan manajemen. Dia memahami beberapa aspek kekhawatiran saya, tapi dia menggaris bawahi bahwa fungsi kerja saya adalah "Menulis dan menepati deadline." Titik.

Saya paham soal ini. Tapi, saya mencoba bantah lagi, orang butuh kepastian. Certainty. Dia cuma tersenyum simpul dan menghentikan sesuap nasi ke dalam mulutnya. Lalu selama beberapa menit lamanya dia bicara panjang. Intinya, "Who would know? Media yang sudah lama terbit bisa saja mendadak collapse dan berhenti. Mereka yang baru bisa saja bertahan setelah melewati tahun-tahun pertama yang sulit."

Saya tegaskan lagi, orang bekerja butuh kepastian. Dia menjawab lebih tegas, "Nothing is certain!"

Kami jeda sejenak, menghabiskan makanan masing-masing. Setelah habis, ngalor-ngidul ke hal lain, kami kembali ke topik semula. Dia menasihati kalau saya sudah tahu arah dan kemampuan dalam pekerjaan saya saat ini, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Masih banyak jalan lain yang bisa dilakukan. "Kalau kamu bagus, kamu takkan berhenti di satu titik. Kamu akan terus berkembang di manapun kamu berada. Kalau kamu sudah merasa tak berkembang lebih jauh lagi, kamu harus mencari jalan lain. Selalu cari kesempatan itu," nasihatnya.

Saya terdiam, mengecap kalimat itu. Masuk akal. Saya ingat renungan lama, tidak boleh tergantung pada pihak lain, kecuali diri sendiri. Obrolan kami lalu berlanjut kepada banyak rasionalisasi lain yang layak didengar pemula seperti saya. Lantas kami mengobrol banyak tentang manajemen media, gaya bahasa, orang-orang [padahal dia ingin menghindari bergosip ria], dan kabar-kabar seputar tempat kerja lama saya.

Mendekati ujung obrolan, sudah tiga jam lebih kami duduk di sini, dia meluncurkan pertanyaan pamungkas. "Jadi, bagaimana?" pancingnya.

Berpikir sejenak dan menyimpulkan semua rasionalisasi malam ini, saya menjawab mantap.
"I'll stay!"

Dia mengangguk. Kopi yang kami pesan belakangan sudah habis diminum. Kami kemudian berpisah dan sepakat bertemu lagi bila ada kesempatan lain.

Ah, satu lagi obrolan panjang yang penuh inspirasi. Saya pun pulang malam lagi. Tapi, saya tidak pulang hanya membawa buku, juga rasionaliasi. Dan janji...

Monday, November 20, 2006

 

Pertanyaan untuk Sebuah Pencarian

Pernahkah kamu berhenti mencari?

Mereka bilang hidup ini pencarian. Sebagian dari mereka bilang sudah menemukan apa yang mereka cari, tapi belum puas dengan keadaan. Sebagian lagi lebih fatalis; tidak tahu apa yang mereka cari. Salah satu petunjuk paling mudah: apa yang kita cari adalah yang kita inginkan. Apa keinginanmu?

Pencarian itu absurd, kata Albert Camus. Tidak akan ada lagi hal baru di muka bumi ini karena segala sesuatunya sudah berjalan sebagaimana mestinya. Jadi, monsieur Camus, apakah keinginan manusia sama absurdnya dengan mitos seorang Sisifus?

Aku bertemu denganmu. Dan aku ingin berhenti mencari saat ini juga… Apakah ini sebuah kenyataan, Adinda?

Wednesday, November 08, 2006

 

Kamu Mau Ke Mana?

Stuck!

Pernah merasa seperti ini? Terjebak dalam sebuah situasi di mana kamu tidak tahu mau ke mana, tidak ada petunjuk sama sekali, dan – parahnya – kamu tidak tahu keinginan kamu sendiri!

Insting saya bilang, saya harus menunggu impuls untuk membuat momentum. Artinya, dari luar. Tindakan yang saya buat tergantung bagaimana lingkungan eksternal.

Perasaan saya bilang, saya harus masih tinggal. Tetap ada. Kalau ini sudah bicara, seperti biasa, jadi sulit.

Saya rasa saya sudah punya jawabannya… Orang sebenarnya sudah punya jawaban masing-masing. Mereka cuma butuh di-encourage; reinforcement.*

Jawaban untuk kamu juga. Mudah-mudahan semuanya jadi lebih baik…

*dalam sebuah percakapan maya dengan seorang teman

This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Subscribe to Posts [Atom]