Monday, April 25, 2005

 

Pergi dari Bandung

Senja yang sejuk mengantarku pergi dari Bandung
Segumpal penasaran masih tersisa
Tiga hari ini tidak memuaskan rindu
Kelak aku akan kembali datang
Sampai jumpa

Saturday, April 09, 2005

 

Jam Karet si Wartawan

Kebiasaan a la Indonesia yang lahir batin jadi kebiasaan sejati individunya adalah kebiasaan jam karetnya itu. Bahkan semua orang di tanah air ini sudah maklum akan kebiasaan ngaret ini.

Nah, sehubungan juga dengan kerjaan sebagai jurnalis yang ke sana ke mari meliput acara, kalau dipikir-pikir siapa yang salah sih? Pada dasarnya sama saja dengan pertanyaan 'mana yang duluan, ayam atau telur?'. Dalam kasus ini, sering kali acara yang diliput tidak dimulai tepat pada waktu seperti yang tertera di undangannya.

Misalnya ada undangan A jam 10. Ketika kita datang jam 9.40, ternyata acara dimulai baru jam 11. Wah! Kalau begini biasanya wartawan harian sudah blingsatan, karena jam 12 ada janji wawancara dengan narasumber atau liputan lain. Siapa yang pantas diomeli?

Panitia? Panitia berkilah, "Belum semua wartawan datang, jadi sebaiknya kita tunggu paling tidak beberapa saat lagi. Kan kasihan mereka kalau acaranya dimulai sekarang". Wartawan yang tadi mengomel maklum, walau masih mengganjal di hati. Wartawan tambah maklum karena key speaker atau undangan kuncinya kan juga belum datang karena kesibukan yang menggunung.

Toh panitia juga berhak mengomel. Saat si wartawan diundang jam 10 tersebut, tidak sedikit juga yang berpikir, "Ah, paling juga mulainya ngaret. Saya datang jam 10.30 saja". Panitia maklum, mereka butuh si wartawan dan lebih dari itu panitia maklum wartawan punya hobi berat jam karet. Toh wartawan kan juga terbang dari satu ke tempat yang lain. Pasti butuh waktu untuk perjalanan.

Kalau dua alasan ini dipertemukan, jelas nggak pernah ketemu. Solusinya, sampai saat ini jam karet masih jadi yang terbaik. Pleonasenya: dispensasi waktu. Apalah itu!

Sunday, April 03, 2005

 

Cukup

Cukup. Harfiahnya, kata 'cukup' artinya sesuatu yang mencukupi, yang tidak berlebih juga tidak kurang. Jadi 'cukup' adalah satu dengan porsi yang pas. Sudah tepat.

Tapi ada makna konotatif lain. Dulu ketika kuliah kita tahu nilai A artinya 'sangat baik', B itu 'baik', C itu 'cukup', D untuk 'jelek', dan E untuk 'sangat jelek'. Nilai C buat seorang mahasiswa memang tidak harus mengulang mata kuliahnya tapi mempengaruhi perhitungan IPK. Nilai C setara dengan nilai 2. Bayangkan kalau seorang mahasiswa dengan IPK 3 koma
sekian mendapat 2 nilai C saja. Wah, cita-cita lulus dengan IPK di atas 3 lumayan terancam deh.

Begitupun yang terjadi. Banyak siaran langsung sepakbola di tv nasional yang sering saya dengar komentarnya, 'cukup baik', 'cukup indah', 'cukup keras', atau 'cukup terarah'. Sehubungan dengan pertandingan yang ditayangkan berkualitas liga Eropa atau bahkan Piala Dunia sekalipun, kata-kata 'cukup' ini lumayan mengganggu.

Coba baca contoh komentar ini: 'Ya saya lihat Ronaldinho cukup berhasil memimpin lini tengah Brazil. Umpan-umpannya cukup akurat kepada duet penyerang. Tapi kiper lawan pun cukup sigap menghadang semua tendangan yang cukup sering mengancam gawangnya. Wasit juga saya lihat sudah memimpin dengan cukup adil'.

Bagaimana? Kalau Ronaldinho yang sekualitas pemain terbaik dunia ini masih dinilai 'cukup' jadi bagaimana sih standar baik yang diinginkan sang komentator? Saya pribadi setuju kalau kata ini sering dipakai mengomentari sepakbola tarkam. Tapi ini kan bukan, bung!

Saya rasa maunya komentator sih untuk menghilangkan kesan sangat subyektif dalam komentarnya. Dengan kata 'cukup' ini komentator menawarkan obyektivitas, dan hasilnya komentarnya menjadi relatif. Atau baca saja: tanggung. Menurut saya, seharusnya kata 'cukup' ini tidak perlu digunakan. Toh arti kalimatnya akan sama saja. Coba contoh komentar di atas dibaca tanpa kata-kata 'cukup'. Lebih efisien, enak didengar, dan tidak mengganggu bukan?

Cukup sekian.

This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Subscribe to Posts [Atom]