Tuesday, March 21, 2006

 

[tanpa judul]

Dalam
jalan yang teramat
sunyi
aku menyayangimu

Sunday, March 12, 2006

 

Dalam Doaku

Dalam doaku subuh ini kau menjelma langit yang semalaman tak memejamkan mata, yang meluas bening siap menerima cahaya pertama, yang melengkung hening karena akan menerima suara-suara

Ketika matahari mengambang tenang di atas kepala, dalam doaku kau menjelma pucuk-pucuk cemara yang hijau senantiasa, yang tak henti-hentinya mengajukan pertanyaan muskil kepada angin yang mendesau entah dari mana

Dalam doaku sore ini kau menjelma seekor burung gereja yang mengibas-ibaskan bulunya dalam gerimis, yang hinggap di ranting dan menggugurkan bulu-bulu bunga jambu, yang tiba-tiba gelisah dan terbang lalu hinggap di dahan mangga itu

Magrib ini dalam doaku kau menjelma angin yang turun sangat perlahan dari nun di sana, bersijingkat di jalan kecil itu, menyusup di celah-celah jendela dan pintu, dan menyentuh-nyentuhkan pipi dan bibirnya di rambut, dahi, dan bulu-bulu mataku

Dalam doa malamku kau menjelma denyut jantungku, yang dengan sabar bersitahan terhadap rasa sakit yang entah batasnya, yang setia mengusut rahasia demi rahasia, yang tak putus-putusnya bernyanyi bagi kehidupanku

Aku mencintaimu, itu sebabnya aku takkan pernah selesai mendoakan keselamatanmu


*Sapardi Djoko Damono, 1989

Thursday, March 02, 2006

 

Lalalalala… Kami Membenci “Goodbye”

Persis di akhir Februari lalu, seorang teman di kantor resmi mengundurkan diri dan memilih menjalani pilihan hidupnya yang lain. Ada sesuatu yang aneh saat seseorang yang biasanya selalu ada, namun mulai esok dan seterusnya di tempatnya biasa berada hanya akan ada kosong melompong. Walaupun toh pada akhirnya akan ada orang lain yang mengganti posisinya, tetap saja seperti ada sesuatu yang hilang. Perpisahan adalah mengenai kehilangan.

Pengalaman saya sendiri tentang perpisahan, saya tidak pernah mengabaikannya. Saya tidak pernah yakin sebuah perpisahan akan memisahkan dua belah pihak selama-lamanya. Entah bagaimana aturannya, seperti sungai yang bermuara di laut, kita pasti akan bertemu lagi. Suatu saat. Suatu kali. Suatu waktu. Tapi urusan kapan, itu di luar kuasa kita. Maka, saya selalu berupaya optimistik mengucapkan “see you later” daripada “goodbye.” Tidak lucu kan kalau sudah bilang “goodbye” mendadak kita bertemu lagi suatu saat entah di mana. Lho, dulu katanya “goodbye” toh?!

Maka, perpisahan kemarin berjalan seperti basa-basi. Meski saya akui, bagi saya tidak mudah menghadapi sebuah perpisahan. Ada semacam perisa sentimentil di udara sehingga membuat pelupuk mata terasa lebih berat oleh mendung air mata. Orang-orang di kantor menghambur menghindari pamit. Semuanya berat mengatakan, “goodbye.” Seperti yang saya bilang tadi, semua orang tidak mudah menghadapi perasaan kehilangan dan masing-masing menghadapi dengan cara yang berbeda-beda pula. Perpisahan adalah soal kehilangan. Kalaulah ini benar-benar momennya sebuah perpisahan, tidak bisa tidak, bagaimana caranya menghalau galau kehilangan itu?

Goodbye is goodbye. Perpisahan adalah perpisahan. Pasti terjadi. Tidak mungkin sebuah perjalanan mesti dijalani bersama-sama dari awal sampai akhir. Kata orang, beda kepala beda isi. Orang-orang punya kemauan dan pilihan masing-masing yang tidak dapat dipaksakan satu sama lain. Ketika sekali waktu kita berada di persimpangan bernama perbedaan, tentu saja sepasang kaki kita tidak dapat berjalan ke dua arah sekaligus, bukan?

Saat ini saya memilih berjalan sambil bersenandung tanpa irama. Lalalalala… Saya benci perpisahan… Sampai nanti.

This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Subscribe to Posts [Atom]