Friday, February 23, 2007

 

Starlight

Bukan bermaksud mempromosikan grup penyanyinya yang kebetulan manggung di Jakarta malam ini. Tapi, dia persis terbit ketika sebuah perjalanan, pada sebuah malam, ada keinginan untuk pergi yang meledak dan perjuangan melawan lupa yang berhenti. Lagu ini memicunya.

Far away
This ship is taking me far away
Far away from the memories
Of the people who care if I live or die

Starlight
I will be chasing the starlight
Until the end of my life
I don't know if it's worth it anymore

Hold you in my arms
I just wanted to hold
You in my arms

My life
You electrify my life
Let's conspire to re-ignite
All the souls that would die just to feel alive

But I'll never let you go
If you promised not to fade away
Never fade away

Our hopes and expectations
Black holes and revelations
Our hopes and expectations
Black holes and revelations

Hold you in my arms
I just wanted to hold
You in my arms

Far away
This ship is taking me far away
Far away from the memories
Of the people who care if I live or die

And I'll never let you go
If you promise not to fade away
Never fade away

Our hopes and expectations
Black holes and revelations
Our hopes and expectations
Black holes and revelations

Hold you in my arms
I just wanted to hold
You in my arms
I just wanted to hold

Lucu. Liriknya malah bermakna sebaliknya. Mungkin karena pengaruh iramanya. Tapi, itupun berubah kembali. Berkat sebuah pesan… dan sebuah lagi… dan lagi… Saya harus mencari soundtrack baru.

*Song is Starlight/ Muse/ 2006


Tuesday, February 20, 2007

 

Dunia Ofelia

Gadis itu lahir pada masa yang salah. Perang saudara sedang membuncah di bumi Spanyol. Kaum nasionalis pimpinan Jenderal Franco berada di atas angin, dengan bengis mereka menumpas pemberontakan para loyalis sampai ke pelosok-pelosok. Namanya Ofelia, anak seorang janda yang ditinggal mati suaminya. Pasangan ibu - sedang hamil tua - dan anak itu mengungsi ke sebuah pondokan pinggir hutan demi mendapat perlindungan dari seorang kapten pasukan, orang yang menanam benih dalam rahim sang ibunda. Ofelia murung, dunia tak seperti cerita dalam buku bacaan kesukaannya. Tapi, apakah waktu boleh dipersalahkan?

Dalam karya terbarunya, Pan's Labyrinth (2006), sutradara asal Meksiko Guillermo del Toro memperlihatkan kesukaannya pada monster adalah sebuah keindahan dalam arti tersendiri. Dengan menggunakan kepolosan anak-anak, del Toro memberi penonton sebuah pertanyaan, "Seperti apakah dunia tempat kita tinggal ini?"

Tengah malam, Ofelia terbangun. Mimpinya seakan menjadi kenyataan. Dia menemukan labirin sarang faun - makhluk dongeng bertanduk dan kaki kambing - yang mengisahkan cerita mengejutkan. Ofelia sesungguhnya anak seorang raja "dunia bawah". Dia dibawa ke atas bumi untuk diselamatkan dari kekisruhan kerajaan ayahnya. Sekarang Baginda Raja ingin membawa Ofelia pulang. Melalui faun, Ofelia harus menempuh tiga ujian sebelum kembali ke tempat ia berasal.

Sementara itu, suasana di sekitar pondok tak lebih baik. Pemberontakan makin merajalela. Taktik gerilya yang dilakukan loyalis membuat suasana tak tenteram. Asisten sang Kapten menangkap petani dan anaknya yang dengan sadis ditembak mati hanya karena dicurigai anggota pemberontak tanpa bukti. Sedangkan ibu Ofelia sakit keras, jabang bayi yang dikandung memperburuk kesehatannya. Kapten sendiri tak peduli sepanjang dia bisa mendapat anak laki-laki sebagai penerus nama keluarga.

Kasihan Ofelia. Di tengah kepelikan ini, dia berjuang menuntaskan tiga ujian yang diberikan faun. Dia bertekad ingin menagih janji yang diberikan, kembali ke tempatnya berasal, sebuah kerajaan nan damai sentosa.

Tidak cuma sekali ini del Toro bermain-main dengan karakter fantasi. Hellboy (2003) adalah contoh paling populer. Bila dalam Hellboy del Toro lebih berat ke aksi komikal, maka dalam Pan's Labyrinth dia selangkah lebih maju dengan memberikan pesan yang lebih berbobot dibandingkan aksi jumpalitan superhero belaka.

Menjelang akhir film, tampak jelas ke mana arah keinginan del Toro. Sang ibu yang sakit keras memecah lamunan Ofelia, dan penonton, "Dunia bukanlah kisah dongeng seperti dalam buku bacaanmu, Ofelia." Serta merta tak lama mengucapkan itu ibunda jatuh tak sadarkan diri dan meninggal dunia setelah melahirkan anak laki-laki. Ketegangan terus berlanjut sampai akhir cerita. Setelah kematian ibunya, rasa tidak suka antara Kapten dan Ofelia makin jelas. Dalam sebuah kesempatan, Ofelia melarikan adiknya masuk hutan sebagai syarat terakhir yang diminta faun untuk kembali ke kerajaan. Sayanganya, Kapten berhasil membuntutinya. Ofelia terdesak, tak bisa lari lagi. Detik itu pula dia harus menghadapi mana kenyataan yang sebenarnya.

Bagi penonton, ada dua pilihan dalam mengambil kesimpulan: apakah menganggap Pan's Labyrinth berakhir sedih atau bahagia? Del Toro berhasil menggiring penonton pada jawaban yang mencerminkan cara pandang penonton sendiri terhadap dunia tempat tinggal mereka. Dengan begitu, Pan's Labyrinth, nominator film berbahasa asing terbaik Oscar 2007, tak boleh ditinggalkan! [*]

*Resensi film Pan's Labyrinth, 2006, Guillermo del Toro
** image courtesy of www.movieweb.com

Sunday, February 18, 2007

 

Pelajaran Menghapal

Saat SD, kelas diminta menghapal surat Al-Bayyinah untuk menambah nilai pelajaran Agama. Saya tidak mau. Saya menganggap tugas ini terlalu berat. Menurut saya, ada delapan ayat yang terlalu panjang untuk dapat dihapal. Okelah kalau misalkan delapan ayat seperti Al-Takatsur, misalnya, yang ayatnya memang panjang namun hapalan per ayatnya tidak terlalu menyiksa pikiran. Namun, seperti kita ketahui, tidak boleh ada protes dalam ruang kelas dan titah guru adalah segalanya. Kami diberi waktu seminggu menghapal di rumah dan saya tidak menghapal sama sekali. Anggap saja sebagai bentuk protes. Saya malah berharap tidak masuk saat pelajaran Agama minggu depan, tapi saya tidak bisa menghindar. Tidak masuk sekolah pada zaman dahulu adalah sebuah dosa besar. Saatnya pun tiba. Di tengah gumaman satu kelas menghapal surat menunggu giliran maju ke depan, saya hanya berdiam diri. Bisa ditebak, ketika dipanggil, saya cuma berdiri canggung di depan guru dan dengan polos mengaku tidak hapal surat yang ditugaskan. Entah berapa nilai yang diberikan untuk saya, tapi saya tidak peduli.

Saya ingin membela diri saya sendiri sekarang, patutkah seorang anak SD menghapal sebanyak itu? Apa tidak ada hapalan surat pendek lain yang bisa ditugaskan kepada kami? Mungkin ini kesalahan saya juga, menyerah dulu tanpa pernah mencoba. Tapi, coba pahami posisi saya. Pikiran saya sudah terganggu sejak awal oleh pertanyaan [dan sikap menyerah] ini sehingga membuat saya tidak pernah bisa menghapalnya. Lagipula, bukankah seorang guru berperan sebagai pendidik di ruang kelas? Demi mengetahui seorang siswanya tidak mau menjalankan tugas yang diberikan, bukankah seorang guru sebaiknya mendengar keberatan sang siswa ketimbang menghukumnya? Ruang kelas, dan institusi pendidikan, seharusnya bisa lebih memanusiakan siswanya. Guru bisa menerima masukan dan keluhan siswanya. Perasaan itu sesuatu yang manusiawi. Sekolah tidak untuk mencari nilai, dalam kacamata saya, melainkan "ilmu". Tidak hanya di atas buku, tapi juga dari teman bangku sebelah, teman sekelas, guru [orang yang lebih tua], dan lingkungan.

Tapi, demi Tuhan, ini kan cuma sebuah tugas menghapal?! Haruskah saya mendramatisirnya sedemikian rupa? Maksud Ibu Guru Agama kan baik, supaya murid punya bacaan ketika shalat. Hapalan surat juga bisa menjadi bekal di masa depan. Semuanya supaya menjadi bekas dan bekal yang bermanfaat, amin... Ngomong-ngomong, soal menghapal [dan mengingat], saya pernah membaca sebuah referensi yang menyebutkan sesungguhnya apa yang masuk ke dalam otak kita tetap disimpan dan tidak pernah terhapus. Artinya, tidak ada yang dinamakan "lupa", ingatan itu hanya tertimpa oleh ingatan lain. Buktinya, saya tidak ingat dengan pasti dari mana dan siapa referensi itu saya baca...

Kesimpulannya, semua yang pernah kita alami takkan bisa dilupakan. Kalau begitu, kenapa kita harus melupakan?

This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Subscribe to Posts [Atom]