Thursday, July 26, 2007

 

Mempertanyakan Keyakinan

Ketika kamu mempertanyakan keyakinanmu sendiri, selalu ada dua pilihan: emosi atau logika. Dua hal yang sangat sulit dibedakan, apalagi karena kita tak pernah tahu seperti apa masa depan. Saya akan selalu bilang, tidak ada jaminan untuk itu. Tidak ada pilihan yang benar atau yang salah, tapi bagaimana kita menjalani pilihan itu.

Kemarin, saya bicara dengan orang yang tepat. "Seperti apa 'api dalam perutmu'?" Itu kalimat pertama yang ditanyakannya kepada saya. Setengah jam kami berbicara panjang lebar - tentang cinta. Saya pun tergugah dan menemukan kembali perasaan itu. Persis semalam sebelumnya saya menemukan sebuah tulisan dalam blog ini - yang dibuat setahun lalu. Dan, akhirnya, saya memilih cinta... Sekarang tinggal bagaimana menjalaninya.

* lihat juga "Sepakbolahawe"

Thursday, July 19, 2007

 

The Exit Strategy

Sebelum memasuki ruangan, ketahuilah lebih dahulu jalan keluarnya. Secara naluriah, laki-laki akan memprogram otaknya untuk merekam denah ruangan yang ditempati dan memproyeksikan jalur keluar kalau terjadi situasi darurat. Tidak mengherankan apabila laki-laki akan memilih posisi tidur yang lebih dekat ke pintu dan akan lebih cepat terbangun bila mendengar suara mencurigakan. Semuanya sisa kemampuan otak primitif manusia sejak masih hidup di gua. Ini semua menurut pasutri Allan dan Barbara Pease.

Nah, apa yang akan kamu lakukan dalam situasi darurat? Tidak semua hal terjadi sesuai yang diharapkan. Beraksi, bukan bereaksi. Barangkali itulah yang menjadi kunci John McClane, protagonis kuatrologi Die Hard, selalu mampu mencari jalan keluar untuk setiap masalah yang dihadapinya. Kamu harus selalu mencari jalan keluar untuk masalahmu. Mau tidak mau, masalah tersebut sama primitifnya dengan manusia gua. Siapa memakan siapa. Siapa kuat, dia bertahan. Survival of the fittest. (Darwinisme sosial...?)

Seorang teman memberikan ilustrasi menarik. Dalam sebuah psiko-tes yang diikutinya untuk melamar pekerjaan, dia diajukan sebuah pertanyaan, "Kamu berada dalam bioskop. Mendadak gedungnya kebakaran, apa yang akan kamu lakukan?" Menurutnya, jawaban yang benar adalah, "Tetap bersikap tenang dan mencari jalan keluar gedung." Alih-alih demikian, dia menjawab, "Tergantung filmnya, bagus atau tidak..."

Bagaimana dengan saya sendiri, apa strategi jalan keluar yang saya pilih? Hmmm...

Tuesday, July 10, 2007

 

Senayan, Hari Ini

Beda, euy!

Kamu boleh bilang sepakbola Indonesia jauh tertinggal dibanding Eropa. Kamu juga boleh bilang lebih bangga dengan segala atribut asing yang kamu usung: segala Manchester United, Chelsea, Arsenal, Liverpool, Juventus, AC Milan, Inter Milan, Real Madrid, Barcelona itu... Kamu boleh apatis dan melengos kalau ditanya soal sepakbola nasional. Tapi, hari ini kalau kamu ada bersama saya, semuanya terasa beda.

Nasionalisme, atau saya sebut saja "Merah-Putih" biar tidak terlalu berat dibaca, adalah sesuatu yang lahir sendiri tanpa diminta. Dia muncul begitu kamu ada di atas dunia ini. Dia adalah identitas yang tidak perlu kamu cari lagi kesana-kemari. Merah-Putih adalah kamu, tanpa dipaksa dan tanpa disuruh orangtuamu. Seorang maniak klub sepakbola ibukota - yang menamakan diri dan teman-teman sekelompoknya sebagai "Garis Keras" - bahkan rela datang menonton ke Senayan dengan berbaju putih hari ini. Tidak sepenuhnya, karena dia mengaku masih menyimpan dosa, "Kaus merah jatah anak-anak nggak gue bagi, biar masih ada oranye di stadion," selorohnya. Begitu dia masuk stadion, dia tahu tidak ada warna lagi selain merah dan putih yang meluruh di satu stadion.

Teman "Garis Keras" itu mengklaim ada lebih dari 30 ribu suporter dari klub idolanya yang datang memenuhi Senayan. Tapi anehnya semua bersorak gembira ketika pemain Kediri, Budi Sudarsono, menceploskan bola ke dalam gawang Bahrain. Senayan gempar. Semua mengacungkan tangan, melonjak-lonjak, dan memeluk siapapun orang di samping mereka - sekalipun tak kenal. Inilah hari di mana ketika ada Merah dan Putih di sini. Ketika anak Maluku Richardo Salampessy bahu membahu dengan putra Betawi Maman Abdurrahman di lini belakang. Ketika semua mengumpat ketika Elie Aiboy - mutiara Papua - dikasari lawan. Ketika semua harapan tertumpah pada satu tujuan: menang! Bukan, malahan lebih penting lagi: membawa kehormatan bangsa! Merah dan Putih yang kamu semua miliki sejak lahir. Tanpa orang lain memintanya, kamu akan otomatis turun membelanya.

Terus terang, saya ikut terlonjak gembira melampiaskan emosi ketika bola sodoran Budi Sudarsono berbuah gol. Sekejap saya larut dalam euforia dan butuh beberapa waktu untuk menguasai diri. Saya menoleh ke belakang, menegur rekan kerja yang ikut menonton. "Wartawan kan tetap harus netral," seloroh saya. Kami tahu itu nonsens. Sebab itu tadi, tak usah diminta kamu pun akan tahu harus membela siapa. Otomatis! Dan, untuk kedua kalinya kembali saya melonjak penuh suka ketika bola pantulan tendangan Firman Utina - anak Manado - diteruskan Bambang Pamungkas yang kelahiran Salatiga itu ke dalam gawang tanpa pengawalan. Gol! 2-1! IN-DO-NE-SIA!!! Sorakan penonton makin membahana. Kalau tidak berada di tribun pers, pasti saya pula akan ikut serta paduan suara tersebut.

Hari ini semua bahagia. Kemenangan adalah imbalan yang pantas untuk perjuangan kami, pengusung Merah dan Putih dalam dada, sepanjang 90 menit. Peluit panjang wasit berbunyi menyambut tibanya malam. Pertandingan usai dan kami menang! Lima menit, sepuluh menit... sebagian besar masih berada di bangku masing-masing. Melampiaskan sisa-sisa euforia, mencurahkan kebahagiaan... Sepertinya tidak ada yang ingin pulang malam ini. Sayang, ini bukan partai menentukan seperti final kejuaraan tertentu. Sayang pula, tidak ada budaya merayakan kebahagiaan secara meriah di sini seperti layaknya masyarakat Perancis merayakan kemenangan tim mereka dengan berpawai di Champs d'Elysee. Tidak ada pawai. Tidak ada kembang api. Tapi saya yakin pasti ada kebahagiaan...

Mungkin masih ada kelemahan, ada cacat, ada kekurangan... Tingkah laku penonton tak mencerminkan citra yang baik di mimbar internasional. Masih ada yang melempar botol minuman, ada yang tidak puas lalu memanjat pagar stadion untuk memaksa menonton pertandingan. Tiket masih langka, padahal masih ada celah-celah bangku yang kosong. Tidak jalannya pengaturan nomor bangku. Disiplin dan ketertiban publik masih menjadi mimpi di negeri ini. Begitulah... Tapi, berada di Senayan hari ini dan merasakan sensasi kemenangan langsung dari pucuknya sungguh terasa luar biasa. Dan, semestinya kebahagaiaan ini membawa perubahan... Apapun itu!

This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Subscribe to Posts [Atom]