Friday, November 25, 2005

 

Apa yang Menjadikan Seseorang?

Mirip iklan. Namun ucapan di atas menyembul di benak saya saat menghadiri sebuah konferensi pers menyambut putaran final sebuah pencarian bakat presenter berita sebuah stasiun televisi swasta nasional.

Jauh sebelum ini, saya pernah menemui pendapat menarik, usaha lebih penting daripada bakat. Kalau menuruti lagi pengalaman pribadi saya lebih ke belakang, pendapat yang satu ini boleh benar adanya. Saya memiliki sebuah pertanyaan yang sulit kala kecil, apa bakat kamu? Kolom yang satu ini selalu ditanyakan di setiap lembar pertanyaan biodata saat mendaftar sekolah, kursus, atau apapun. Saat itu senjata andalan saya cuma satu, sepakbola. Ah, padahal saat itu kemampuan saya bermain bola tidak lebih sebatas kegemaran dan cita-cita bisu saja.

Pertanyaannya, apakah memang benar saya berbakat main sepakbola? Tidak ada yang mau menjawabnya karena lingkungan terdekat, keluarga saya, menganggap sepakbola hanya permainan bukan keahlian. Diam-diam saya menekuni kegemaran satu-satunya ini. Kalau sore tiba, teman-teman lebih senang bermain kelereng atau layangan, saya memilih menyepak-nyepak bola ke dinding. Bermain bola sendiri lebih nikmat bagi saya ketimbang dua permainan anak populer tersebut. Lebih nikmat lagi kalau kami bermain sepakbola ramai-ramai. Lambat laun, bermain bola tidak hanya sekadar bisa. Paling tidak ini pengakuan teman-teman lho… Hehehe…

Iklan yang saya maksud di atas lebih lengkap berbunyi, ‘what’s make an athlete?’. Mari kita urut jawabannya. Bagi seorang atlit, pekerjaan mereka adalah kompetisi, soal persaingan. Saya bisa bayangkan persaingan sprinter, perenang, atau pembalap kelas dunia saat ini di mana hitungan seperseribu detik pun sangat berarti. Bagi mereka, seperseribu detik dapat dikejar dengan disiplin. Disiplin latihan, gizi, dan waktu istirahat. Kelihatannya sepele, tapi memang syarat-syarat itulah yang harus dipenuhi demi impian tunggal seorang atlit: Juara! Ciltius, altius, fortius.

Kalau begitu seribu macam kontes televisi atas nama reality show apa maknanya? Kita berbondong-bondong mengerubungi tempat audisi untuk mewujudkan cita-cita kita menjadi penyanyi, artis terkenal, presenter beken, atlit canggih, dan banyak lagi. Padahal pintu audisi semata-mata hanya pintu. Sedikit klise, saya ingin mengulang pernyataan kalau penyanyi top pun mengorbankan banyak untuk mencapai posisinya sekarang. Pendek kata, bakat saja tidak cukup. Titik.

Wah, jadi apa dong yang menjadikan seseorang? Maaf saya sedang skeptis hari ini, jadi jawaban pertama yang muncul begitu saja dalam benak adalah, ‘tidak ada yang membuat seseorang kecuali waktu’. Itu jawaban buat orang fatalis. Buat yang ingin mendengar sedikit dorongan semangat hari ini, saya pilihkan jawaban, ‘kemauanlah yang membuat seseorang’. Kalau seseorang memang tidak mau, tidak ada orang lain yang bisa mengubahnya kecuali yang bersangkutan sendiri.

Saya ingin menutup tulisan ini dengan meminjam kutipan seorang rekan di blognya dari ucapan Heraklitus, ‘Panta rei’. Segala sesuatu mesti mengalir.

Wednesday, November 23, 2005

 

Pada Sebuah Kutipan (2)

Hiduplah!
Mengenang hanya untuk orang lanjut usia.

*Paulo Coelho, By the River Piedra I Sat and Wept

Wednesday, November 16, 2005

 

Masa Depan

Kata orang masa depan itu misteri buat umat manusia. Di peradaban manusia modern, masa depan sekaligus adalah sebuah industri. Hollywood membungkusnya dengan cerita-cerita khayalan mengenai perjalanan waktu. Pasti tahu trilogi Back to the Future kan? Bahkan animasi anak-anak macam Doraemon pun tergila-gila soal ini. Selain itu, masa depan menjadi mata pencaharian rombongan peramal, dukun, kaum gipsi, pembaca kartu tarot, dan teman-temannya. Jualannya satu, karena manusia tidak pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan.

Saya tidak akan pernah tahu apa yang saya alami hari ini jauh sebelumnya, katakanlah lima tahun yang lalu. Bahkan saya sendiri tidak pernah tahu apa yang akan terjadi esok. Berhubung saya orang yang tidak terlalu suka akan kejutan, saya membekali diri dengan berbagai macam proyeksi. Seolah-olah saya bisa meneropong masa depan, sehingga saya bisa mendorong kemauan saya hari ini untuk menjadi sesuai proyeksi tersebut.

Apa saya berharap terlalu banyak? Boleh dibilang seperti itu. Saya pernah berhenti berharap, tapi di titik selanjutnya saya menemukan bahwa saya tidak bisa berhenti berharap. Intinya, saya selalu memerlukan sebuah orientasi untuk saya pribadi agar tidak terlalu lama duduk di bangku status quo sambil menunggu rezeki, padahal ia sendiri bisa diusahakan.

Hari Sabtu kemarin bukanlah seperti hari yang pernah bisa dibayangkan saat saya masih kuliah. Ada pertemuan kecil dengan teman-teman dekat di sebuah pusat keramaian di kawasan Jakarta Selatan. Rendezvous ini atas nama kangen-kangenan plus lebaranan. Masih suasananya kan? Apalagi kami jarang bisa bertemu sekaligus.

Singkat cerita, tidak ada pertemuan tanpa bahan pembicaraan. Disadari atau tidak arah pembicaraan kami semua mengarah kepada satu hal yang bagi sekelompok orang menakutkan, yaitu, ehm, pernikahan! Wah, tidak pernah terbayangkan kenapa kami bisa terjebak ke dalam obrolan seserius ini. Padahal dulu, paling jauh kami hanya sebatas membicarakan teman-teman sendiri atau soal penelitian demi skripsi. Saya ingat kata-kata, ‘waktu terus berlari sementara manusia merangkak pelan-pelan di bawahnya’. Memang sudah waktunya, apalagi mereka sudah berusia yang memang semestinya sudah berorientasi ke arah ‘sana’.

Dari pokok tema pernikahan, obrolan mengalir ke mana-mana. Kami membicarakan apa saja yang harus dipersiapkan. Mulai dari ucapan saat lamaran, prosesi lamarannya seperti apa, soal pekerjaan, tempat tinggal,… Tunggu……, saya rasa cukup. Sudah terlalu jauh. Hahahaha… Kami pun saling berpesan kepada masing-masing, kalau memang sudah serius, ya apa salahnya? Semoga Tuhan membimbing kami semua ke jalan yang lurus.

Tapi, tetap saja, tidak ada yang bisa tahu apakah teman-teman saya itu berhasil dengan cita-citanya masing-masing. Masa depan harus tetap ditunggu untuk mendapatkan jawabannya. Bisa malah menyesakkan atau justru melegakan, menyedihkan atau membahagiakan… Yah, begitulah bagaimana dunia berputar. Tinggal tunggu tanggal mainnya saja.

Bagaimana dengan saya sendiri? Pertanyaan sulit. Saya memang memiliki proyeksi untuk saya sendiri dalam beberapa jangka waktu ke depan. Dan, iya, saya memang berharap. Saya rasa tidak ada yang salah dengan berharap. Saya benar-benar membutuhkan arah. Ada yang bisa bantu memberi tahu di mana letak masa depan saya?

Thursday, November 10, 2005

 

Lagi-Lagi Soal Menunggu

Cerita tentang menunggu bagi saya seakan tidak ada habis-habisnya. Menunggu adalah sebuah proses, itu kata saya sebelumnya. Kalau belum pernah tahu, silahkan buka-buka kembali halaman blog ini. Niscaya bisa ditemukan di tulisan yang bertajuk ‘Menunggu: Seni Yang Terlupakan’. Kalau sudah pernah membacanya, akan saya tambahkan sedikit opini lagi, menunggu adalah soal kepastian. Sebab yang ditunggu pasti datang, kan? Kecuali kalau yang ditunggu adalah seorang Godot.

Oke… Tambahan tulisan ini sengaja saya buat lagi, gara-gara tadi pagi saya mengalami proses itu lagi. Saya harus menunggu seorang teman di pinggiran jalan karena sebuah janji. Maka, itu premis pertamanya: Ada janji, ada menunggu. Janji itu diucapkan seseorang kepada seseorang lainnya. Dari sini kita bertemu premis kedua: Proses menunggu melibatkan lebih dari satu pihak saja. Lalu, karena janji maka pastilah lahir dari sebuah kesepakatan. Premis ketiga: Menunggu sesungguhnya adalah sebuah kesepakatan. Janji dan kesepakatan antara siapa? Antara yang menunggu dan ditunggu.

Menariknya, pihak yang ditunggu maupun menunggu tidak disepakati saat perjanjian dibuat. Nasib siapa yang menjadi pihak yang ditunggu atau yang menunggu, persis ditentukan menjelang detik-detik pertemuan. Saya pernah membuat seseorang begitu kesalnya sampai menunggu satu setengah jam lebih. Dia datang tepat waktu, sementara saya dan seorang teman lagi datang mengulur waktu. Nggak nyambung, kan? Walhasil, dengan wajah merah padam, saya dan teman saya yang datang terlambat dibikin tidak enak hati oleh teman yang menunggu. Rupanya ‘hanya’ masalah miskomunikasi. Bayangkan! Zaman sudah teknologi serbaseluler masih tersandung kendala beginian.

Pernah lagi, saya menunggu kira-kira hampir empat jam lamanya. Waktu itu menunggu (mantan) pacar yang sedang bekerja (kayak lagu anak-anak aja). Sebal dan kesal campur aduk. Sudah diminta mengantar pagi-pagi, tidak ‘diizinkan’ meninggalkan lokasi pertungguan, dan lama pula! Hati siapa yang tidak bisa panas? Namun begitu waktunya usai, ketika yang ditunggu kelar pekerjaannya, hati yang panas jadi luluh seketika dengan syahdunya. Yah, saya orangnya tidak mau cari masalah. Dipikir-pikir kenapa juga harus marah-marah, toh prosesnya sudah selesai. Ceritanya, demi cinta. Meski pada akhirnya kami putus juga. Hehehehe….

Nah, saudara-saudara, kalau yang membuat saya menulis ulang cerita soal ini adalah karena tadi pagi saya harus menunggu. Memang tidak selama saya menunggu sang mantan pacar, ‘cukup’ dua jam saja. Begitu saya berhasil menghubungi teman saya itu, dia bilang dia terlambat dan saya jawab memilih menunggunya saja. Bagi saya, bagaimanapun menunggu pasti ada akhirnya dan saya memilih menunggu demi kesepakatan kami untuk berjanji malam sebelumnya tercapai. Jadi biar tidak ada hutang. Tidak ada marah-marah atau kesal yang muncul. Lucu juga kalau memandangi orang-orang yang lalu lalang dengan kendaraan masing-masing. Mereka melintas cepat dan tidak pernah mengerti berapa lama saya sudah menunggu. Bagi mereka untuk proses menunggu berlaku hukum relativitas. Dua jam menunggu buat saya yang berdiri di trotoar pinggir jalan, tapi hanya lima, sepuluh, atau mungkin lima belas menit bagi mereka. Aturan ini sedikit beda buat Pak Penyapu Jalan yang punya daerah operasi sepanjang jalan ini. Sedikit banyak dia tahu persis berapa lama saya sudah menunggu. Namun, percaya deh kalau kita tanyakan si Bapak, “Berapa lama hawe menunggu, pak?”. Jawabannya tidak mengenal konsep waktu yang jelas, “Sedari saya mulai dari ujung sana sampai beres di ujung sini”. Nah lho!

Nah, kalau boleh giliran saya bertanya kepada sidang pembaca terhormat, apakah menurut Anda sekalian tulisan ini sangat membosankan? Atau tidak ada gunanya sama sekali? Mungkin ada yang berpikiran, saya terlalu serius? Atau ngelantur? Saya tunggu komentarnya.

Wednesday, November 09, 2005

 

Hari Kemenangan

Ada hari yang memang khusus tercipta untuk kita. Kita bisa tahu begitu saja saat baru bangun pagi. Dari baunya. Dari arah jatuhnya sinar matahari. Dari udaranya. Dari kesemarakan. Dari kesenyapan. Semuanya merupakan pertanda bahwa inilah hari untuk kita. Berbuatlah sesuatu untuk hari ini. Carpe diem!

Sekarang soal kemenangan. Seperti yang pernah saya bilang berulang-ulang, tidak ada orang yang menyukai kekalahan. Tapi, hidup tak semudah di ujung pena. Tidak pernah ada kemenangan yang mutlak. Kemenangan adalah soal kompromi. Kompromi dan kompromi. Terlalu banyak kompromi untuk hidup, mungkin Pemerintah perlu memilih sebuah hari khusus untuk memperingati kompromi. Saya usul, namanya Hari Kompromi Nasional.

Di rumah saya, ceritanya bisa dimulai dari pertimbangan untuk mudik tahun ini atau tidak. Lebaran tanpa mudik? Tidak bisa dibayangkan bagi orang-orang urban di ibukota. Lantas orang tua saya sebagai pengambil keputusan memutuskan untuk tidak mudik. Berbagai alasan dikemukakan. Jalan yang rusaklah, ongkos BBM yang tinggilah, tahun kemarin sudah mudiklah, dan macam-macamnya. Jadi, tetap tinggal di rumah! Sebuah kompromi soal waktu.

Kemudian, ada kegembiraan menyeruak saat menerima THR. Ada uang, ada barang. Waktunya mencukupi diri dengan kebutuhan yang belum tersedia selama ini. Sudah lama saya belum lagi memiliki sepasang sendal ‘cowok’. Di sisi lain, ada keinginan juga untuk memiliki celana berwarna hitam dan kemeja santai berwarna cerah. Belum lagi ‘keharusan’ untuk menabung sebagian dana THR. Kapan lagi punya dana segar di kantong yang boleh disimpan segera? Artinya, tidak semua bisa terpenuhi. Pada akhirnya lagi-lagi sebuah kompromi. Soal uang.

Apa sih makna kemenangan? Mendapati sesuatu untuk sesaat tapi langsung mengorbankannya karena tidak semua hal mampu diakomodir sekaligus. Hanya ada lingkaran yang sempurna. Mendapatkan dan melepaskan.

Hari itu adalah harinya. Saat segala sesuatu mesti diberikan definisi. Tidak ada yang sangat benar-benar istimewa hari itu, kecuali pada akhirnya tembok tebal di dalam diri saya kikis habis. Hal ini yang membuat Hari Raya tahun ini lebih bermakna. Bahwa saya tidak hanya selama Ramadhan saja bergulat dengan setan-setan pikiran dalam diri saya sendiri, melainkan jauh berbulan-bulan sebelumnya. Maka mengungkapkan perasaan ini kepada sebagaimana yang saya inginkan, tercapai sudah. Apakah berhasil menjadi kemenangan? Bukan, teman, lagi-lagi sebuah kompromi.

Hari itu adalah hari kemenangan dalam definisi yang paling sempit. Sama seperti hari di mana saya mencetak satu-satunya gol di partai final, partai terakhir saya di sebuah turnamen sepak bola kampus, walau kemudian mesti kalah tragis. Kemenangan untuk dua momen tersebut hanya sekelumit pembuktian eksistensi individual. Belum lebih bermanfaat untuk orang lain.

Demi sebuah kemenangan, banyak hal yang harus dikorbankan. Setelah kemenangan itu tiba, sebagian hal adalah sebagai sumbangan atas nama keikhlasan. Sudah ada hukum alamnya. Bagaimanapun, Selamat Hari Kemenangan!

*

Satu saat bila kau berjalan di sampingku, Adinda. Maka aku akan selalu ingat kalau perjalanan masih teramat panjang menuju kemenangan yang sempurna. Sampai nanti.

This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Subscribe to Posts [Atom]