Tuesday, June 27, 2006

 

Pada Sebuah Kutipan (8)

There's a hole in my heart that can only be filled by you. And this hole in my heart can't be filled with the things I do.

[Hole Hearted/Extreme, 1990]

*thanks to Acoenk untuk pesan singkat pada sebuah malam yang kosong. Hm, maksudnya udah jelas banget kan?

Monday, June 26, 2006

 

Dan Mereka pun Gugur

Belanda gagal lagi. Sebenarnya saya memang setengah yakin mereka tidak akan menjadi yang terbaik di Jerman 2006, tapi tidak secepat ini. Dan, lagi-lagi saya kesulitan menuangkan kesedihan ini. Dibawa tidurpun pasti tak dapat.

Melalui sebuah pertandingan barbar [empat kartu merah dan selusin lebih kartu kuning] dan kepemimpinan Valentin Ivanov yang setengah ceroboh [antara lain dengan tidak mengusir langsung Luis Figo yang menanduk muka Mark van Bommel], Jong Oranje takluk 1-0 langsung. Apa yang salah? Marco van Basten tidak memasang Ruud van Nistelrooy dalam starting line-up. Ini tidak jadi soal, tapi ketika San Marco tidak segera bereaksi dengan memasukkan Ruudtje di babak kedua, lini depan Oranje tetap tumpul walaupun Ivanov berbaik hati memberikan injury time sampai enam setengah menit.

Ah, saya lebih melihat kekurang pengalaman Jong Oranje bertarung di turnamen internasional. Lebih buruk lagi, saya lihat tidak ada seorang pun yang bisa menjadi pemimpin rekan-rekannya di lapangan. Benar, Edwin van der Sar adalah kiper yang berpengalaman dan menjadi inspirasi lewat aksi-aksi penyelamatannya di bawah mistar, tapi belum cukup. Mereka butuh inspirasi di lapangan tengah. Philip Cocu hanya sampai taraf menjadi penyangga tim, belum ke situ. Saat-saat seperti inilah penggemar Oranje merindukan Dennis Bergkamp yang dingin. Tapi, sudahlah mereka toh kalah juga...

Saya akui, di atas kertas Portugal sekarang ini memang lebih kuat, lebih merata, dan lebih baik daripada Oranje. Tapi tidak dengan permainan seperti itu! Mereka tidak layak menang! Maaf buat para penggemar Portugal! Mungkin saya sedang emosional saat menulis ini. Mungkin saya sangat subyektif. Saya memang tidak pernah menyukai Luis Felipe Scolari. Bagi saya, kemenangannya di Jepang-Korea Selatan 2002 adalah sebuah keberuntungan. Begitupun pada Euro 2004. Entahlah, obyektivitas saya makin terganggu dengan kekalahan ini.

Sudahlah, Oranje butuh pengalaman lebih banyak lagi. Mereka harus tahu bagiamana bersikap dan bermain di turnamen kelas atas. Ini bukan kompetisi domestik. Apapun, mereka masih punya waktu untuk mengembangkan pengalaman dan membangun inspirasi. Tapi, tidak bagi van der Sar, Cocu, atau van Nistelrooy. Bukan mustahil ini Piala Dunia terakhir mereka. Bagi sisa tim, Euro 2008 menanti untuk ditaklukkan kembali.

Dan, saya kembali termangu. Merenungi kegagalan seakan saya ikut menjadi bagiannya. Padahal mungkin saja tidak. Tapi, ini soal fanatisme, bung! Ini soal ideologi! Bagi seorang laki-laki, tidak ada yang lebih pantas dipertahankan selain gagasan dan idealismenya sendiri! Malam ini, harapan, fanatisme, dan idealisme saya lagi-lagi gagal dan luruh [secara tidak langsung karena kurangnya pengalaman Oranje dan si buncit Scolari]... Saya belum dapat menerima kegagalan ini. Melalui sepakbola, saya belajar menghadapi dan menerima kekalahan. Harus!

Sampai nanti di Swiss-Austria 2008...

Hidup Oranje!

Monday, June 12, 2006

 

"Sepakbolahawe"

Tulisan terbaru dari blog saya ini mengupas cinta lama saya yang terpendam: sepakbola. Saya pernah berjanji kepada diri sendiri kalau sepakbola semata-mata hanya dapat menjadi pengisi waktu luang belaka. Tapi, jalan berbelok ke arah lain dan jelaslah ada qada dan qadar manusia yang tak dapat dihindari (meski setengah mati saya berusaha tidak terlalu mempercayai takdir dan nasib).

Sepakbola bukanlah cinta pertama saya. Dia hanya muncul sebagai penularan kegemaran dari almarhum kakek yang memang semasa muda menjadi pesepakbola amatir dan sangat sangat menyenangi olahraga sepak-menyepak kulit bundar ini. Waktu itu tahun 1988, siaran televisi baru ada TVRI. Ada yang saya ingat jelas waktu itu, warna-warni Oranye sungguh semarak di televisi. Seorang pemain berkulit legam dan berambut gimbal nan unik memimpin rekan-rekannya menjuarai Piala Eropa. Di mana-mana orang membicarakan tim tersebut, termasuk Kakek. Dua tahun kemudian, tim yang sama menemui kegagalan di Italia. Sepakbola tetap ditayangkan di televisi dan saya mulai ketularan demamnya. Walaupun sebatas menonton dan menyimak keasyikan Kakek menikmati siaran.

Tidak bisa dihindarkan, bagi saya bicara sepakbola adalah bicara tentang Kakek. Cerita yang paling asyik saya dengar waktu kecil adalah cerita Kakek bermain bola. Hasilnya, kegemaran beralih menjadi kecintaan. Lama-lama saya mengenali seluk beluk berita soal ini. Saya haus informasi. Halaman pertama yang saya baca di suratkabar adalah halaman olahraga. Di saat informasi masih susah diakses, saya menomorsatukan informasi dan berita olahraga (terutama sepakbola). Semuanya saya lahap, sampai saya memilih hanya membaca, mendengar, dan melihat sepakbola semata.

Ternyata cinta pun dapat terbatas berkalang waktu. Saya tidak bisa melihat sepakbola sebagai masa depan saya. Hanya sebatas kegemaran, janji saya. Apalagi saya menemukan dunia luar dan mengenal ternyata ada cinta yang lebih luas di kehidupan luar sana. Pelan-pelan saya mengurangi harapan saya tentang sepakbola. Kenyataannya, sepakbola adalah olahraga. Ada kalah dan ada menang. Tidak setiap waktu ada kemenangan. Dan saya belum bisa menerima hal itu. Saya ingin melihat apa yang saya harapkan. Kemenangan adalah kemenangan dan harga yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Padahal, sesungguhnya baik kemenangan dan kekalahan tidak memiliki arti. Olahragawan sejati paham bahwa kemenangan adalah di saat mengakui kekalahan; kekalahan adalah di saat sombong akan kemenangan. Intinya, adalah masalah sikap.

Dengan demikian, sepakbola bukanlah jalan hidup saya. Namun, ada garis biru yang membuat manusia tidak dapat lari jauh-jauh dari apa yang terjadi dalam hidupnya. Dan, hidup mengantar saya kembali kepada cinta lama ini, sepakbola. Kenapa? Mungkin saya masih harus belajar mengenai menghadapi kemenangan dan kekalahan. Tapi, saya ingin sentimentil saja: karena kenangan masa kecil dengan Kakek bukanlah kebetulan. Buktinya, berkat sebuah kecelakaan (atau memang murni kebetulan semata, terserahlah) dalam halaman redaksional majalah tempat saya bekerja (yang sengaja menggunakan formasi lapangan sepakbola) terpampang nama saya untuk posisi dan nomor punggung seperti posisi dan nomor punggung favorit masa kecil.

Selamat datang lagi Piala Dunia dan sepakbola!

Thursday, June 01, 2006

 

Pengakuan

Kalau boleh jujur saya ini orang yang senang menyendiri. Kesepian adalah sebuah inspirasi. Tapi seringkali kekosongan membunuh saya pelan-pelan; membelenggu saya dari obyektivitas dan dinamika kehidupan luar-sadar saya. Herannya, saya membutuhkan pengakuan dari dunia luar (tanpa harus menjadi bagian dari “mereka”). Makanya ada perasaan senang yang aneh saat mendapati pagi kemarin ada yang membolak-balik halaman majalah tempat saya bekerja di atas bus kota. Mata dan tangannya tepat berhenti di halaman yang saya terjemahkan. Memang bukan murni buah pikiran saya, tapi saya ingin menghampiri orang itu sekadar bertanya apakah ia suka dengan isi majalah yang dibelinya.

Saya rasa orang-orang butuh pengakuan akan eksistensi diri. Dalam sebuah kesempatan, saya pernah berdiskusi dengan seorang teman tentang apa yang dicari manusia di muka bumi. Saya menjawab, menurut saya salah satunya adalah pengakuan tentang keberadaan seorang kita – seorang hawe – di lingkungannya, di dunia luar. “Apakah saya ini ada? Bagaimana orang memandang saya?” – adalah teka-teki bebuyutan yang mengusik pikiran saya. Makanya nikmat menjadi seorang jurnalis atau reporter atau wartawan atau penulis adalah “dikenal” banyak orang tanpa harus menunjukkan jati diri yang nyata.

Dan, egoisme ini sontak terpecah-pecah ketika kenyataan tidaklah sesuai dengan apa yang dibayangkan dan diharapkan. Obyektivitas, bagaimanapun, terletak satu tingkat di atas ego. Pada akhirnya, seorang penyendiri pun harus berbaur dengan lingkungannya dan menerima dunia-luar sebagai sebuah kenyataan, bukan bayangan, impian, atau cita-cita.

Saya kecewa, tapi tidak separah itu. Paling tidak saat ini saya tahu harus merangkul kenyataan, bukan mempercayai ego pribadi semata. Seperti yang pernah saya bilang, pada akhirnya logika harus diambil dalam kondisi tertentu. Bagi saya, sekarang ini sudah waktunya.

Saya belum mau berhenti bermimpi.

***

Malam-malam kemarin semua mimpi adalah tentangmu, Adinda. Sampai nanti aku akan lupa pernah bermimpi. Sampai nanti…

This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Subscribe to Posts [Atom]