Monday, June 12, 2006

 

"Sepakbolahawe"

Tulisan terbaru dari blog saya ini mengupas cinta lama saya yang terpendam: sepakbola. Saya pernah berjanji kepada diri sendiri kalau sepakbola semata-mata hanya dapat menjadi pengisi waktu luang belaka. Tapi, jalan berbelok ke arah lain dan jelaslah ada qada dan qadar manusia yang tak dapat dihindari (meski setengah mati saya berusaha tidak terlalu mempercayai takdir dan nasib).

Sepakbola bukanlah cinta pertama saya. Dia hanya muncul sebagai penularan kegemaran dari almarhum kakek yang memang semasa muda menjadi pesepakbola amatir dan sangat sangat menyenangi olahraga sepak-menyepak kulit bundar ini. Waktu itu tahun 1988, siaran televisi baru ada TVRI. Ada yang saya ingat jelas waktu itu, warna-warni Oranye sungguh semarak di televisi. Seorang pemain berkulit legam dan berambut gimbal nan unik memimpin rekan-rekannya menjuarai Piala Eropa. Di mana-mana orang membicarakan tim tersebut, termasuk Kakek. Dua tahun kemudian, tim yang sama menemui kegagalan di Italia. Sepakbola tetap ditayangkan di televisi dan saya mulai ketularan demamnya. Walaupun sebatas menonton dan menyimak keasyikan Kakek menikmati siaran.

Tidak bisa dihindarkan, bagi saya bicara sepakbola adalah bicara tentang Kakek. Cerita yang paling asyik saya dengar waktu kecil adalah cerita Kakek bermain bola. Hasilnya, kegemaran beralih menjadi kecintaan. Lama-lama saya mengenali seluk beluk berita soal ini. Saya haus informasi. Halaman pertama yang saya baca di suratkabar adalah halaman olahraga. Di saat informasi masih susah diakses, saya menomorsatukan informasi dan berita olahraga (terutama sepakbola). Semuanya saya lahap, sampai saya memilih hanya membaca, mendengar, dan melihat sepakbola semata.

Ternyata cinta pun dapat terbatas berkalang waktu. Saya tidak bisa melihat sepakbola sebagai masa depan saya. Hanya sebatas kegemaran, janji saya. Apalagi saya menemukan dunia luar dan mengenal ternyata ada cinta yang lebih luas di kehidupan luar sana. Pelan-pelan saya mengurangi harapan saya tentang sepakbola. Kenyataannya, sepakbola adalah olahraga. Ada kalah dan ada menang. Tidak setiap waktu ada kemenangan. Dan saya belum bisa menerima hal itu. Saya ingin melihat apa yang saya harapkan. Kemenangan adalah kemenangan dan harga yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Padahal, sesungguhnya baik kemenangan dan kekalahan tidak memiliki arti. Olahragawan sejati paham bahwa kemenangan adalah di saat mengakui kekalahan; kekalahan adalah di saat sombong akan kemenangan. Intinya, adalah masalah sikap.

Dengan demikian, sepakbola bukanlah jalan hidup saya. Namun, ada garis biru yang membuat manusia tidak dapat lari jauh-jauh dari apa yang terjadi dalam hidupnya. Dan, hidup mengantar saya kembali kepada cinta lama ini, sepakbola. Kenapa? Mungkin saya masih harus belajar mengenai menghadapi kemenangan dan kekalahan. Tapi, saya ingin sentimentil saja: karena kenangan masa kecil dengan Kakek bukanlah kebetulan. Buktinya, berkat sebuah kecelakaan (atau memang murni kebetulan semata, terserahlah) dalam halaman redaksional majalah tempat saya bekerja (yang sengaja menggunakan formasi lapangan sepakbola) terpampang nama saya untuk posisi dan nomor punggung seperti posisi dan nomor punggung favorit masa kecil.

Selamat datang lagi Piala Dunia dan sepakbola!

Comments:
betul we. sepakbola mungkin bukan jalan hiduplu. karena buktinya, ketika guladig masuk final, lu tidak ada di tim itu. dan ketika hepy terus masuk final, lu juga tidak ada di sana.

hehehe.
 
Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]





<< Home

This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Subscribe to Posts [Atom]