Friday, September 30, 2005

 

Pahlawan Hari Ini

Tadi malam setelah lewat beberapa tahun, saya kembali menyaksikan film Groundhog Day yang ditayangkan di sebuah saluran tv swasta. Dulu, film ini mampu mencuri perhatian saya dengan konsep cerita yang unik dan tidak ada duanya. Ceritanya sederhana saja, Phil, seorang reporter yang diperankan oleh Bill Murray, ditugasi meliput sebuah festival musim dingin tahunan di sebuah kota kecil. Tugas yang tidak pernah disukainya. Ternyata festival Groundhog Day tahun itu adalah festival yang tak bisa terlupakan dalam hidup Phil. Ada kutukan yang membuat dia harus menjalani hari festival itu sepanjang hari tanpa pernah dijelaskan penyebabnya.

Hidup Phil berubah menjadi rutinitas yang sangat membosankan. Sebelum ada kejadian ini, hidup sudah begitu membosankan bagi Phil apalagi harus menjalani hal yang itu-itu saja dari hari ke hari. Bayangkan, Phil selalu terbangun di kamar hotelnya pukul 6 pagi diiringi lagu yang itu-itu saja dari radio dan di luar sana orang-orang ramai mempersiapkan festival. Berlangsung seperti itu terus sampai akhirnya pelan-pelan Phil belajar dari rutinitas itu. Rupanya dari rutinitas yang dipelajarinya ratusan kali, dia banyak belajar dan memperhatikan orang lain. Phil jadi tahu kapan persisnya seorang anak akan jatuh dari pohon yang sedang dipanjatnya, para nenek yang ban mobilnya bocor di tengah jalan, walikota yang tersedak di rumah makan, dan dia juga memanfaatkan berulangnya waktu dengan belajar piano sampai benar-benar mahir. Sampai kutukan ini benar-benar berakhir dengan manis, terutama karena Phil mencuri hati Rita, rekan seprofesinya, yang diperankan aktris manis Andie MacDowell.

Begitulah. Film yang sederhana ini berpesan bahwa sesungguhnya pahlawan tidak pernah dilahirkan. Pahlawan adalah sesuatu yang diusahakan dan dipelajari. Waktu yang ada dalam sehari adalah infrastruktur bagi seorang pahlawan untuk terus mempelajari dan memperbaiki diri dari kesalahan. Jadi, jangan pernah sia-siakan hari ini. Carpe diem!

Ah, andaikan musuh besar saya bernama kemalasan mau mendengarkan dan menonton film ini...

Wednesday, September 28, 2005

 

Pada Sebuah Kutipan (1)

"...(musik) rock adalah kegelisahan manusia dalam mencari Tuhan."

* Deddy Mizwar, aktor kawakan Indonesia; tentang penggunaan musik rock sebagai soundtrack dalam sinetron religiusnya, Kiamat Sudah Dekat.

Wednesday, September 21, 2005

 

Proyeksi

Nah, ini salah sebuah contoh lain lagi betapa otak kita itu punya kemampuan melebihi kadar biasa-biasa saja. Sudah tahu kan kalau kalangan ilmuwan berpendapat manusia hanya menggunakan otaknya tidak lebih sepuluh persen saja?! Sisanya tidak tersentuh dan praktis diabaikan seumur hidup, kecuali untuk beberapa kasus tertentu saja ada orang yang memiliki kelebihan dibanding orang awam.

Kemarin siang entah ada apa, mendadak saya teringat lagu lama yang edar akhir 90-an. Judulnya nggak begitu penting, untuk tidak mengatakan sebenarnya saya lupa. Beberapa nada dalam lagu melankolis tersebut rupanya masih tersimpan di laci memori saya dan pada saat kemarin beberapa kali saya dendangkan cukup di dalam hati saja.

Nah, tadi pagi saya berangkat seperti biasa. Naik omprengan di tempat biasa. Berbarengan dengan orang-orang yang biasa saya temui kalau berangkat sesiang itu. Pokoknya nggak ada yang luar biasa. Ajaibnya, begitu mobil dihidupkan dan berangkat pergi, si supir menyetel radionya dan coba tebak apa lagu yang langsung ke luar dari dalam radio itu? Persis! Lagu yang kemarin itu!

Ada apa sebenarnya? Saya dan teman-teman sudah sepakat bahwa tidak ada kebetulan di dunia. Barusan juga tadi malam saya sms seorang teman dengan bunyi pesan, 'hidup manusia tidak pernah diberikan petunjuk yang pasti, hanya tersisa pertanda-pertanda yang bias makna'. Wah.. wah.. wah... Jadi, lagi-lagi ini soal pertanda?

Kalau mau diurut dengan logika, bagaimana mungkin saya bisa dengan persis berangkat pada jam sekian, naik omprengan yang itu, dan supirnya nyetel radio yang anu. Nggak ada skenarionya kan? Herannya, dari sekian banyak lagu, kenapa harus lagu itu yang diingat? Padahal bukan dari penyanyi terkenal (kayaknya penyanyinya sudah tidak rilis album baru lagi sampai detik ini) dan lagu lama pula. Belum lagi kalau ditambah fakta bahwa sebenarnya ketika saya akan berangkat saya terhambat sedikit di rumah, sehingga semua momen dan waktu mengarah persis kepada sebuah kenyataan yang tak terhindarkan: 'saya harus mendengar lagu itu'.

Daripada diambil pusing, saya nikmati saja deh! Besok ada proyeksi dan pertanda apa lagi yah?!

Tuesday, September 13, 2005

 

Jalan-Jalan yang Kesampaian

Hari ini hari Senin. Jakarta dibanjur hujan sedari subuh. Tadi siang, iseng-iseng hujan mengguyur lagi dengan lebatnya. Aih.. aih.. Apa langit tidak pernah tahu, kalau sudah basah jalanan ibukota pasti mendadak macet luar biasa. Menyengsarakan kaum penglaju seperti saya.

Ah, tapi kalau mengingat apa yang terjadi dua hari yang lalu, rasa-rasanya dongkol di dalam hati masih dapat diobati. Sebuah perjalanan mendadak demi Kota Kembang yang tertunda satu pekan lamanya. Awalnya memang berangkat tanpa rencana jauh-jauh hari, tapi terima kasih kepada Jasa Marga atas benda-benda beton ajaib bernama Cipularang yang membuat segalanya mungkin dan menghilangkan beban penat kalau membayangkan perjalanan ke Bandung.

Parijs van Java, dia masih tetap seperti itu. Tambah mekanis malah. Sabtu dan Minggu adalah harinya para pelancong. Jenguk ke sana ke mari, selalu tampak mobil berpelat 'B'. Meski menjadi bagian dari mereka, tapi perjalanan yang saya ambil hanyalah sederhana belaka. Tidak ada hura-hura, tidak ada gegap gempita, tidak ada kerlap kerlip... Saya tidak membutuhkan itu semua. Melainkan kehadiran dan cerita teman-teman lama selalu ada di sana. Inilah yang mengobati kejenuhan dari penyakit bernama rutinitas metropolis.

Toh, tidak banyak cerita yang saya tangguk selama dua hari itu. Lebih-lebih hanya mengulang saja. "Apa yang berubah dari dirimu?", tanya saya kepada mereka. Mereka menggeleng, dan malah balik menjawab, "Apa kabar dirimu?". Saya tidak menjawab, cuma bisa tersenyum tipis. Paling tidak kita masih dapat jalan berdampingan, hibur saya dalam hati.

Sebaik-baik perjalanan adalah perjalanan ke tempat asing. Kau tak pernah tahu apa yang akan terjadi di sana. Maaf, ini mengulang lagi apa yang pernah saya tulis sebelumnya di sini. Tapi, itu betul. Paling tidak setengahnya. Menuju sebuah tempat asing adalah sensasi aneh yang memacu adrenalin. Kau hanya membekali diri dengan harapan, syukur-syukur tempat itu sesuai dengan harapanmu. Kalau tidak?!

Berkat seorang teman, maka saya mengambil jalan sedikit menyimpang. Mencari tempat-tempat baru di kota tempat saya pernah bernafas sekian tahun lamanya itu. Ternyata memang benar, saya tidak pernah mengeksplorasi pelosok-pelosok kota dalam-dalam. Salah satu tempat asing itu ada di bilangan utara Bandung. Ah, udaranya tetap saja memberikan semangat buat tubuh yang letih. Air yang sejuk dingin, jalan-jalan berbatu, bertanah becek, adalah terapi akupunktur yang baik bagi sepasang kaki kota milikku. Senandung sunyi alam tidak pernah membutuhkan lagu pengiring yang rumit untuk membius anak manusia.

Saya percaya masih akan ada lagi hal-hal tersembunyi yang perlu ditemukan, seperti alam itu sendiri. Ironisnya, beberapa pengecut seperti saya memilih bersembunyi di balik alam dan tidak ingin ditemukan. Eh, tapi haruskah saya berpolemik dengan hal ini sekarang? Tidak perlu, bukan?!

Bandung masih menyimpan sejuta rahasia pribadi saya. Suka tidak suka, mau tidak mau, kekaguman dan kenangan di kota ini adalah investasi saya di masa lalu. Tiap kali saya kembali ke sana, perasaan itu masih tetap hadir di sana. Saya rasa saya bisa mengambil kembali investasi itu. Padahal, saya tahu saya takkan pernah bisa. Jalan harus tetap lurus ke depan, bisik guru baris berbaris saya suatu ketika. Sudahlah...

Untuk menjadi kesimpulan dari perjalanan singkat ini adalah bahwa memang saya masih memiliki kebutuhan untuk banyak belajar dan mengeksplorasi. Solusi singkatnya, saya perlu jalan-jalan lagi! Titik! Namun, rupanya besok masih hari Selasa dan Jakarta tetap berbaring menunggu dengan tatapan mata yang kaku. Sabar saja!

Saturday, September 10, 2005

 

Bukan Masalah Uang

Pesta dimulai. Musik hingar-bingar. Sudut-sudut ruang kerlap-kerlip dan getar-gemetar. Sebuah kekacauan yang teratur di tengah malam.

Bubaran sekolah. Hari pecah meriah. Derap-derap langkah kecil campur aduk suara bocah-bocah. Kekacauan lain lagi yang teratur.

Alkohol dan musik, dua sejoli yang mematikan untuk malam ini. Pelantai lupa sendiri ekstasi mereka barang sedetik. Ambiens bersorak mengingatkan. Pelantai tersentak dan segera sibuk disko biar tidak serempak.

Buku dan buku, hanya ada satu kewajiban bagi anak sekolahan. Harus belajar. Begitu pesan Ibu Bapak guru dan Ibu Bapak di rumah. Pelajar menuntut ilmu dan ilmu menuntut biaya. Sekolah bukan milik siapa-siapa.

Pelantai lelah dan duduk menjadi Pemabuk. Pemabuk berjuang segenap daya upaya mengembalikan kesadaran diri dengan seteguk dua alkohol dua puluhan persen. Belum cukup, pramusaji dipanggil. “Dua gelas besar bir lagi!”, teriaknya mencoba tegas. Dua gelas besar bir. Dua ratus ribuan.

Pulang ke rumah, Pelajar minta uang sekolah ke Emak. Ternyata yang didapat tempelengan tanda sayang. Duit dari mana, setan alas?, kutuknya. Dua bulan tunggakan. Dua belas ribuan. Tapi tidak tersedia hari ini. Hilang harapan dan tali tambang dipilih jadi teman.

Bir ditenggak habis. Teler berat sudah resiko dan hidup tetap mesti jalan terus esok hari. “Peduli setan soal hidup!”, kalap Pemabuk.

Tali menanggung beban tubuh Pelajar. Hilang sudah masalah. “Padahal aku masih mau sekolah esok hari”, do’a Pelajar.

*

Bukan masalah uang, Adinda. Tapi kita hidup di kubangan tai. Berenang sendiri-sendiri, tidak ada yang dipegangi.

This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Subscribe to Posts [Atom]