Saturday, September 10, 2005

 

Bukan Masalah Uang

Pesta dimulai. Musik hingar-bingar. Sudut-sudut ruang kerlap-kerlip dan getar-gemetar. Sebuah kekacauan yang teratur di tengah malam.

Bubaran sekolah. Hari pecah meriah. Derap-derap langkah kecil campur aduk suara bocah-bocah. Kekacauan lain lagi yang teratur.

Alkohol dan musik, dua sejoli yang mematikan untuk malam ini. Pelantai lupa sendiri ekstasi mereka barang sedetik. Ambiens bersorak mengingatkan. Pelantai tersentak dan segera sibuk disko biar tidak serempak.

Buku dan buku, hanya ada satu kewajiban bagi anak sekolahan. Harus belajar. Begitu pesan Ibu Bapak guru dan Ibu Bapak di rumah. Pelajar menuntut ilmu dan ilmu menuntut biaya. Sekolah bukan milik siapa-siapa.

Pelantai lelah dan duduk menjadi Pemabuk. Pemabuk berjuang segenap daya upaya mengembalikan kesadaran diri dengan seteguk dua alkohol dua puluhan persen. Belum cukup, pramusaji dipanggil. “Dua gelas besar bir lagi!”, teriaknya mencoba tegas. Dua gelas besar bir. Dua ratus ribuan.

Pulang ke rumah, Pelajar minta uang sekolah ke Emak. Ternyata yang didapat tempelengan tanda sayang. Duit dari mana, setan alas?, kutuknya. Dua bulan tunggakan. Dua belas ribuan. Tapi tidak tersedia hari ini. Hilang harapan dan tali tambang dipilih jadi teman.

Bir ditenggak habis. Teler berat sudah resiko dan hidup tetap mesti jalan terus esok hari. “Peduli setan soal hidup!”, kalap Pemabuk.

Tali menanggung beban tubuh Pelajar. Hilang sudah masalah. “Padahal aku masih mau sekolah esok hari”, do’a Pelajar.

*

Bukan masalah uang, Adinda. Tapi kita hidup di kubangan tai. Berenang sendiri-sendiri, tidak ada yang dipegangi.

Comments: Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]





<< Home

This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Subscribe to Posts [Atom]