Thursday, August 30, 2007

 

Kembara

Untuk: Kembara.
Apa lagi yang kamu tunggu? Melangkah sekarang juga!

Di belakang malam, aku bisa mendengar Sang Absurditas tertawa terbahak-bahak

Tuesday, August 28, 2007

 

Getirnya Menjadi Single

Akan muncul begitu banyak pertanyaan yang bisa memberi gambaran tentang masalah seorang perempuan. Dalam Broken English, salah satu pertanyaan adalah ketika seorang perempuan sudah berusia di atas 30 tahun dan tetap single.

Agak aneh kalau mengetahui masalah seperti itu diangkat Hollywood, karena masyarakat Amerika sangat lekat dengan citra kemandirian dan kebebasan. Sepertinya status single tak terlalu menjadi masalah besar, termasuk bagi perempuan di sana. Tapi, persoalan yang dihadapi Nora (Parker Posey) rupanya sama saja dengan persoalan kaum perempuan lainnya di atas dunia: dia tidak juga menemukan orang yang tepat untuk dirinya.

Film disusun sangat sederhana, tidak terlalu mempersulit diri dengan sub plot atau setting yang macam-macam. Jangan harapkan pula warna-warni ala film-film komedi romantis ala Nora Ephron (You've Got Mail, Sleepless in Seattle), karena Broken English cenderung stagnan dan, di satu sisi, miskin soundtrack yang manis, namun alurnya mampu membuai penonton sampai akhir film. Broken English juga cocok ditonton untuk mereka yang sudah kenyang dengan semua eksploitasi Hollywood tentang kisah pria single. Jauh dari kesan kehidupan serbaliar yang sering dimunculkan dalam film-film sejenis, termasuk serial bersegmen kelompok gendernya sendiri Sex in the City, Broken English bisa memberikan sudut pandang dari sisi yang berseberangan. Keunggulannya, sutradara Zoe Cassavetes mampu memelihara konsistensi sudut pandang tersebut dengan terus menampilkan sosok karakter utama sepanjang durasi film.

Setelah mencoba berkenalan dengan beberapa pria, secara tak terduga Nora bertemu pria asal Perancis, Julien (Melvil Poupcud). Mereka menghabiskan akhir pekan bersama dan sepertinya masalah Nora akan terpecahkan. Namun, tanpa bermaksud ingin merusak mood penonton, jawabannya belum. Selamat datang dalam paradoks dunia perempuan, Nora merasa belum cukup yakin.

Hanya butuh keberanian untuk mengubah segala sesuatunya. Di depan teras, Julien duduk menunggu Nora. Sekejap Nora merasa bahagia, tapi Julien lantas memberi tahunya dia harus pulang keesokan harinya. Julien mengajak Nora ikut dengannya ke Paris. Nora merasa gamang, haruskah semua orang meninggalkan dirinya persis ketika dia mulai merasa bahagia? Dia menampik ajakan itu - paradoks kedua dunia perempuan. Julien pun pulang. Hidup Nora terus berjalan, tanpa perubahan. Kegetiran terus menghantui Nora, sampai dia sadar dan memutuskan: dia harus ke Paris menemukan Julien! Terkadang untuk mendapatkan sesuatu kita memang harus menunggu, tapi kita juga harus ingat, pada saat yang sama sebuah tawaran takkan datang dua kali... ***

*Review film Broken English (2007)
**Image courtesy of http://www.ioncinema.com/

Thursday, August 02, 2007

 

Sebuah Gol, Sebuah Janji

Saya jarang mencetak gol. Terlebih kalau tim saya sedang bertanding dalam kompetisi. Bolehlah kalau dibilang itu masalah posisi saya yang bukan menjadi seorang striker. Biasanya saya bermain menjadi gelandang dan alih-alih mendapat umpan manis, saya harus memberikan umpan kepada rekan setim untuk dijadikan gol. Tapi pernah saya begitu rajin mencetak gol. Tadi saya mencoba mengingat-ingat kembali jumlah golnya. Saya ingat sekali dalam sebuah kompetisi di kampus, saya selalu mencetak gol setiap kali tampil. Kami bermain empat kali waktu itu - hanya sampai perempat final - dan saya sempat mencetak dua gol pada partai kedua. Jadi, hitungannya lima gol dalam empat partai. Catatan yang lumayan. Itu salah satu rekor pribadi yang diam-diam menghiasi "karir sepakbola" saya.

Sekali waktu, mencetak gol terasa sangat istimewa. Persis pada kompetisi terakhir saya di kampus, tim masuk final. Ini final pertama, sekaligus terakihir, buat saya. Saya bukanlah seorang profesional yang menyeriusi sepakbola sehingga saya sadar seberapa besar makna partai final ini. Meski tak berani membulatkan tekad, saya ingin mencetak gol dalam partai itu. Saat itu kedudukan masih tanpa gol dan kira-kira memasuki 15 menit pertandingan. Ada tendangan bebas dari sayap kanan yang diambil seorang rekan. Tiga atau empat rekan lain sudah menunggu umpan lambung di dalam kotak penalti. Saya mengambil posisi di luar kotak penalti. Kami tidak belajar set-piece tertentu - hanya mengandalkan insting. Saya berlari ke arah tiang dekat begitu teman itu menendang. Tendangannya tidak melambung tapi melayang rendah setulang kering dan menghantam seorang bek lawan. "Kebetulan" bola pantulan itu jatuh tepat pada jalur lari saya. Tanpa pikir panjang saya menendang bola itu ke arah gawang. Semuanya seperti gerakan lambat. Benar-benar seperti gerakan lambat. Saya belajar sesuatu, kalau kamu menciptakan sebuah kesempatan, kamu kelak mendapatkan momentumnya. Bola menembus jala gawang lawan. Gol! Tidak ada perayaan berlebihan. Saya ingat pasti, setelah itu saya berlari kembali ke tengah lapangan tanpa sempat terpikir merayakannya bersama teman-teman. Sekilas saya pandangi tribun, lalu saya melihat langit. Rupanya meski tidak pernah bulat, janji saya didengar. Sebelum bertanding, saya ingin memberikan sebuah gol untuk orang yang mengenalkan sepakbola kepada saya, almarhum kakek. Diam-diam, janji itu saya tepati.

Kemarin sore, dalam taraf yang berbeda, "kebetulan" itu berulang. Tim kantor sedang mengikuti sebuah kompetisi futsal. Ini pertandingan kedua kami dan seluruh anggota tim mengincar kemenangan kedua setelah hari Selasa berhasil menang tipis atas tim lawan. Pertandingan adalah pertandingan, sepakbola adalah sepakbola. Tapi ada sebuah janji kecil yang, lagi-lagi, tidak pernah saya bulatkan. Lawan telah unggul dulu 1-0. Lewat sebuah proses yang tidak begitu istimewa, sebuah peluang tendangan bebas kami di depan gawang membentur bek lawan. Saya mem-pressing lawan, dia salah mengontrol, dan bolanya mampir di depan saya. Gawang di depan mata dan dengan sebuah tendangan yang tidak terlalu spektakuler, bola terlepas dari tangkapan kiper lawan. Gol! Seperti kejadian dulu, tidak ada perayaan berlebihan. Saya pun tidak sempat terpikir merayakannya bersama teman-teman. Sekilas saya pandangi tribun dan berlari ke tengah lapangan kembali. Sebelum bertanding, saya ingin memberikan sebuah gol untuknya. Diam-diam, satu janji lain saya tepati.

Ucapan orang bijak itu kepada sang bocah gembala ada benarnya, "Ketika kamu menginginkan sesuatu, alam semesta akan mendukungmu."

This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Subscribe to Posts [Atom]