Tuesday, September 13, 2005

 

Jalan-Jalan yang Kesampaian

Hari ini hari Senin. Jakarta dibanjur hujan sedari subuh. Tadi siang, iseng-iseng hujan mengguyur lagi dengan lebatnya. Aih.. aih.. Apa langit tidak pernah tahu, kalau sudah basah jalanan ibukota pasti mendadak macet luar biasa. Menyengsarakan kaum penglaju seperti saya.

Ah, tapi kalau mengingat apa yang terjadi dua hari yang lalu, rasa-rasanya dongkol di dalam hati masih dapat diobati. Sebuah perjalanan mendadak demi Kota Kembang yang tertunda satu pekan lamanya. Awalnya memang berangkat tanpa rencana jauh-jauh hari, tapi terima kasih kepada Jasa Marga atas benda-benda beton ajaib bernama Cipularang yang membuat segalanya mungkin dan menghilangkan beban penat kalau membayangkan perjalanan ke Bandung.

Parijs van Java, dia masih tetap seperti itu. Tambah mekanis malah. Sabtu dan Minggu adalah harinya para pelancong. Jenguk ke sana ke mari, selalu tampak mobil berpelat 'B'. Meski menjadi bagian dari mereka, tapi perjalanan yang saya ambil hanyalah sederhana belaka. Tidak ada hura-hura, tidak ada gegap gempita, tidak ada kerlap kerlip... Saya tidak membutuhkan itu semua. Melainkan kehadiran dan cerita teman-teman lama selalu ada di sana. Inilah yang mengobati kejenuhan dari penyakit bernama rutinitas metropolis.

Toh, tidak banyak cerita yang saya tangguk selama dua hari itu. Lebih-lebih hanya mengulang saja. "Apa yang berubah dari dirimu?", tanya saya kepada mereka. Mereka menggeleng, dan malah balik menjawab, "Apa kabar dirimu?". Saya tidak menjawab, cuma bisa tersenyum tipis. Paling tidak kita masih dapat jalan berdampingan, hibur saya dalam hati.

Sebaik-baik perjalanan adalah perjalanan ke tempat asing. Kau tak pernah tahu apa yang akan terjadi di sana. Maaf, ini mengulang lagi apa yang pernah saya tulis sebelumnya di sini. Tapi, itu betul. Paling tidak setengahnya. Menuju sebuah tempat asing adalah sensasi aneh yang memacu adrenalin. Kau hanya membekali diri dengan harapan, syukur-syukur tempat itu sesuai dengan harapanmu. Kalau tidak?!

Berkat seorang teman, maka saya mengambil jalan sedikit menyimpang. Mencari tempat-tempat baru di kota tempat saya pernah bernafas sekian tahun lamanya itu. Ternyata memang benar, saya tidak pernah mengeksplorasi pelosok-pelosok kota dalam-dalam. Salah satu tempat asing itu ada di bilangan utara Bandung. Ah, udaranya tetap saja memberikan semangat buat tubuh yang letih. Air yang sejuk dingin, jalan-jalan berbatu, bertanah becek, adalah terapi akupunktur yang baik bagi sepasang kaki kota milikku. Senandung sunyi alam tidak pernah membutuhkan lagu pengiring yang rumit untuk membius anak manusia.

Saya percaya masih akan ada lagi hal-hal tersembunyi yang perlu ditemukan, seperti alam itu sendiri. Ironisnya, beberapa pengecut seperti saya memilih bersembunyi di balik alam dan tidak ingin ditemukan. Eh, tapi haruskah saya berpolemik dengan hal ini sekarang? Tidak perlu, bukan?!

Bandung masih menyimpan sejuta rahasia pribadi saya. Suka tidak suka, mau tidak mau, kekaguman dan kenangan di kota ini adalah investasi saya di masa lalu. Tiap kali saya kembali ke sana, perasaan itu masih tetap hadir di sana. Saya rasa saya bisa mengambil kembali investasi itu. Padahal, saya tahu saya takkan pernah bisa. Jalan harus tetap lurus ke depan, bisik guru baris berbaris saya suatu ketika. Sudahlah...

Untuk menjadi kesimpulan dari perjalanan singkat ini adalah bahwa memang saya masih memiliki kebutuhan untuk banyak belajar dan mengeksplorasi. Solusi singkatnya, saya perlu jalan-jalan lagi! Titik! Namun, rupanya besok masih hari Selasa dan Jakarta tetap berbaring menunggu dengan tatapan mata yang kaku. Sabar saja!

Comments: Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]





<< Home

This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Subscribe to Posts [Atom]