Wednesday, November 09, 2005

 

Hari Kemenangan

Ada hari yang memang khusus tercipta untuk kita. Kita bisa tahu begitu saja saat baru bangun pagi. Dari baunya. Dari arah jatuhnya sinar matahari. Dari udaranya. Dari kesemarakan. Dari kesenyapan. Semuanya merupakan pertanda bahwa inilah hari untuk kita. Berbuatlah sesuatu untuk hari ini. Carpe diem!

Sekarang soal kemenangan. Seperti yang pernah saya bilang berulang-ulang, tidak ada orang yang menyukai kekalahan. Tapi, hidup tak semudah di ujung pena. Tidak pernah ada kemenangan yang mutlak. Kemenangan adalah soal kompromi. Kompromi dan kompromi. Terlalu banyak kompromi untuk hidup, mungkin Pemerintah perlu memilih sebuah hari khusus untuk memperingati kompromi. Saya usul, namanya Hari Kompromi Nasional.

Di rumah saya, ceritanya bisa dimulai dari pertimbangan untuk mudik tahun ini atau tidak. Lebaran tanpa mudik? Tidak bisa dibayangkan bagi orang-orang urban di ibukota. Lantas orang tua saya sebagai pengambil keputusan memutuskan untuk tidak mudik. Berbagai alasan dikemukakan. Jalan yang rusaklah, ongkos BBM yang tinggilah, tahun kemarin sudah mudiklah, dan macam-macamnya. Jadi, tetap tinggal di rumah! Sebuah kompromi soal waktu.

Kemudian, ada kegembiraan menyeruak saat menerima THR. Ada uang, ada barang. Waktunya mencukupi diri dengan kebutuhan yang belum tersedia selama ini. Sudah lama saya belum lagi memiliki sepasang sendal ‘cowok’. Di sisi lain, ada keinginan juga untuk memiliki celana berwarna hitam dan kemeja santai berwarna cerah. Belum lagi ‘keharusan’ untuk menabung sebagian dana THR. Kapan lagi punya dana segar di kantong yang boleh disimpan segera? Artinya, tidak semua bisa terpenuhi. Pada akhirnya lagi-lagi sebuah kompromi. Soal uang.

Apa sih makna kemenangan? Mendapati sesuatu untuk sesaat tapi langsung mengorbankannya karena tidak semua hal mampu diakomodir sekaligus. Hanya ada lingkaran yang sempurna. Mendapatkan dan melepaskan.

Hari itu adalah harinya. Saat segala sesuatu mesti diberikan definisi. Tidak ada yang sangat benar-benar istimewa hari itu, kecuali pada akhirnya tembok tebal di dalam diri saya kikis habis. Hal ini yang membuat Hari Raya tahun ini lebih bermakna. Bahwa saya tidak hanya selama Ramadhan saja bergulat dengan setan-setan pikiran dalam diri saya sendiri, melainkan jauh berbulan-bulan sebelumnya. Maka mengungkapkan perasaan ini kepada sebagaimana yang saya inginkan, tercapai sudah. Apakah berhasil menjadi kemenangan? Bukan, teman, lagi-lagi sebuah kompromi.

Hari itu adalah hari kemenangan dalam definisi yang paling sempit. Sama seperti hari di mana saya mencetak satu-satunya gol di partai final, partai terakhir saya di sebuah turnamen sepak bola kampus, walau kemudian mesti kalah tragis. Kemenangan untuk dua momen tersebut hanya sekelumit pembuktian eksistensi individual. Belum lebih bermanfaat untuk orang lain.

Demi sebuah kemenangan, banyak hal yang harus dikorbankan. Setelah kemenangan itu tiba, sebagian hal adalah sebagai sumbangan atas nama keikhlasan. Sudah ada hukum alamnya. Bagaimanapun, Selamat Hari Kemenangan!

*

Satu saat bila kau berjalan di sampingku, Adinda. Maka aku akan selalu ingat kalau perjalanan masih teramat panjang menuju kemenangan yang sempurna. Sampai nanti.

Comments: Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]





<< Home

This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Subscribe to Posts [Atom]