Thursday, November 10, 2005

 

Lagi-Lagi Soal Menunggu

Cerita tentang menunggu bagi saya seakan tidak ada habis-habisnya. Menunggu adalah sebuah proses, itu kata saya sebelumnya. Kalau belum pernah tahu, silahkan buka-buka kembali halaman blog ini. Niscaya bisa ditemukan di tulisan yang bertajuk ‘Menunggu: Seni Yang Terlupakan’. Kalau sudah pernah membacanya, akan saya tambahkan sedikit opini lagi, menunggu adalah soal kepastian. Sebab yang ditunggu pasti datang, kan? Kecuali kalau yang ditunggu adalah seorang Godot.

Oke… Tambahan tulisan ini sengaja saya buat lagi, gara-gara tadi pagi saya mengalami proses itu lagi. Saya harus menunggu seorang teman di pinggiran jalan karena sebuah janji. Maka, itu premis pertamanya: Ada janji, ada menunggu. Janji itu diucapkan seseorang kepada seseorang lainnya. Dari sini kita bertemu premis kedua: Proses menunggu melibatkan lebih dari satu pihak saja. Lalu, karena janji maka pastilah lahir dari sebuah kesepakatan. Premis ketiga: Menunggu sesungguhnya adalah sebuah kesepakatan. Janji dan kesepakatan antara siapa? Antara yang menunggu dan ditunggu.

Menariknya, pihak yang ditunggu maupun menunggu tidak disepakati saat perjanjian dibuat. Nasib siapa yang menjadi pihak yang ditunggu atau yang menunggu, persis ditentukan menjelang detik-detik pertemuan. Saya pernah membuat seseorang begitu kesalnya sampai menunggu satu setengah jam lebih. Dia datang tepat waktu, sementara saya dan seorang teman lagi datang mengulur waktu. Nggak nyambung, kan? Walhasil, dengan wajah merah padam, saya dan teman saya yang datang terlambat dibikin tidak enak hati oleh teman yang menunggu. Rupanya ‘hanya’ masalah miskomunikasi. Bayangkan! Zaman sudah teknologi serbaseluler masih tersandung kendala beginian.

Pernah lagi, saya menunggu kira-kira hampir empat jam lamanya. Waktu itu menunggu (mantan) pacar yang sedang bekerja (kayak lagu anak-anak aja). Sebal dan kesal campur aduk. Sudah diminta mengantar pagi-pagi, tidak ‘diizinkan’ meninggalkan lokasi pertungguan, dan lama pula! Hati siapa yang tidak bisa panas? Namun begitu waktunya usai, ketika yang ditunggu kelar pekerjaannya, hati yang panas jadi luluh seketika dengan syahdunya. Yah, saya orangnya tidak mau cari masalah. Dipikir-pikir kenapa juga harus marah-marah, toh prosesnya sudah selesai. Ceritanya, demi cinta. Meski pada akhirnya kami putus juga. Hehehehe….

Nah, saudara-saudara, kalau yang membuat saya menulis ulang cerita soal ini adalah karena tadi pagi saya harus menunggu. Memang tidak selama saya menunggu sang mantan pacar, ‘cukup’ dua jam saja. Begitu saya berhasil menghubungi teman saya itu, dia bilang dia terlambat dan saya jawab memilih menunggunya saja. Bagi saya, bagaimanapun menunggu pasti ada akhirnya dan saya memilih menunggu demi kesepakatan kami untuk berjanji malam sebelumnya tercapai. Jadi biar tidak ada hutang. Tidak ada marah-marah atau kesal yang muncul. Lucu juga kalau memandangi orang-orang yang lalu lalang dengan kendaraan masing-masing. Mereka melintas cepat dan tidak pernah mengerti berapa lama saya sudah menunggu. Bagi mereka untuk proses menunggu berlaku hukum relativitas. Dua jam menunggu buat saya yang berdiri di trotoar pinggir jalan, tapi hanya lima, sepuluh, atau mungkin lima belas menit bagi mereka. Aturan ini sedikit beda buat Pak Penyapu Jalan yang punya daerah operasi sepanjang jalan ini. Sedikit banyak dia tahu persis berapa lama saya sudah menunggu. Namun, percaya deh kalau kita tanyakan si Bapak, “Berapa lama hawe menunggu, pak?”. Jawabannya tidak mengenal konsep waktu yang jelas, “Sedari saya mulai dari ujung sana sampai beres di ujung sini”. Nah lho!

Nah, kalau boleh giliran saya bertanya kepada sidang pembaca terhormat, apakah menurut Anda sekalian tulisan ini sangat membosankan? Atau tidak ada gunanya sama sekali? Mungkin ada yang berpikiran, saya terlalu serius? Atau ngelantur? Saya tunggu komentarnya.

Comments:
First comment buat Hawe....

Menunggu...??? hampir smua orang paling benci menunggu, dan kadang mereka menyesali kenapa gue harus dateng duluan kalau ternyata yang lain gak pernah on time? (iklan A Mild banget gak seh)

Tapi lo percaya kan apa yang lo kerjain pasti ada hikmahnya. begitu pun dengan menuggu, gue selalu berusaha untuk dateng on time meski gue harus menunggu. meski kadang2 emosi ini memuncak karena yang ditunggu tak kunjung datang. Ambil hikmahnya...lo bisa melakukan banyak hal dengan menunggu. misalnya, lo nunggu di trotoar sambil lihat tukang sapu jalan yang udah nyapu dari mulai ujung sampe ujung. kalo lo kreatif, coba ajak dia ngobrol setelah ia selesai nyapu dan atau jika dia berhenti di depan lo.

Mungkin dengan begitu rasa bosan dan emosi agak sedikit mereda. Atau seandainya lo nunggu di sebuah tempat hiburan, mungkin lo coba untuk keliling2 dulu menghibur diri lo, daripada bosen kan?
(Sorry kepanjangan)
 
dipikir-pikir lucu juga. agung berkomentar buat agung. jadi kayak berdialog dengan diri sendiri.

i think this one's simply an expression. ngebosenin? nggak. klo iya saya gak akan mampir ke sini lagi to?

gimana klo menunggu itu dilihat sebagai waktu yg diberikan pada kita untuk bercermin? karena siapa tau kita juga pernah membuat org lain menunggu, mungkin jauh lebih lama. atau dengan menunggu kita jadi lebih peka thdp hal-hal kecil yg ada di dpn kita. padahal dalam kesempatan lain kita abai saja.

lagian, yang namanya hidup itu juga kan sebuah penantian (biar lebih puitis) akan kematian. pertanyaannya selama nunggu itu kita ngapain aja?
 
You name it, pals!

Pokoknya menunggu itu memang nggak bisa dihindari. Mau nggak mau... Sudah jadi bagian hidup sehari-hari.

Orang yang menunggu selalu bertanya hal yang sama, 'sampai kapan?'. Kalau kita sabar sedikit, pasti yang ditunggu itu datang. Itu kalau mau...

Ingat: Menunggu ada di mana-mana, di rumah, di kantor, di bioskop, di kampus, ...
 
Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]





<< Home

This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Subscribe to Posts [Atom]