Tuesday, December 19, 2006

 

Jiffest 2006, Jiffest Pertama Saya

Berapa film yang kamu tonton Jiffest tahun ini? Delapan, sepuluh, tiga belas, atau tujuh belas? Saya cuma lima dan saya senang bisa menyerap banyak cerita baru untuk menambah wawasan perfilman dan menyajikan film-film "bagus" bagi saya.

Jujur, saya mengawali pengalaman pertama menonton Jiffest dengan pesimisme. Saya tidak yakin sempat menonton semua film yang tiketnya sudah saya pesan sejak dua minggu sebelum hari pembukaan. Nyatanya, saya berhasil. Kendala pekerjaan yang saya takutkan sebelumnya ternyata tidak terjadi.

Boleh jadi saya termasuk generasi Jiffest-ers yang beruntung karena tahun ini festival difokuskan ke dua tempat bergaya: Djakarta Theatre dan eX. Terima kasih untuk kelompok 21 Cineplex. Selain tempat pemutaran di pusat kebudayaan yang terpaksa tidak saya pilih karena semata-mata faktor lokasi.

Lima film yang saya tonton bervariasi. Breaking and Entering dan Russian Dolls yang beraroma Eropa; meski berbeda gaya penuturan, Breaking and Entering karya Anthony Minghella sederhana nan khidmat, sementara Russian Dolls karya Cedric Klapisch sangat kental rasa Perancis-nya. Dua film Asia Timur: A Stranger of Mine dan 3-Iron; membuktikan karya putra Asia tak kalah dari belahan dunia lain. Salut buat Kenji Uchida dan Kim Ki-duk. Satu lagi, sekaligus film penutup Jiffest bagi saya, Babel karya Alejandro Inarritu. Meski sang sutradara berkelas festival, tapi buat saya, ini representasi karya Hollywood. Sedikit jengah dengan besarnya perhatian untuk Babel, padahal – lagi-lagi menurut saya – ceritanya tak setangguh empat film lain yang saya tonton. Sampai hari ini, terus terang saja, saya masih mencari-cari letak kekuatan Babel. Formula yang dipakai Inarritu sayangnya sudah sering dipakai dan jamak buat sebuah film “bagus” untuk ukuran saat ini.

Lima film yang saya tonton memiliki jadwal tayang prime-time. Saya sebut begitu karena saya memang sengaja memilihnya pada hari libur: Sabtu-Minggu, kecuali 3-Iron yang tayang tengah minggu, hari Rabu. Studio selalu penuh sesak dengan banyak orang yang mengantri. Persis dan sebelum jadwal tayang film pilihan saya, ada jam tayang khusus film tanpa harga tiket masuk alias gratis. Mereka yang berminat harus mengantri sejam sebelum waktu pemutaran demi mendapat tiket. Tak beda, antrian untuk film dengan harga tiket masuk pun lumayan panjang. Apalagi karena penonton tak diberikan kesempatan memilih tempat duduk pada saat membeli tiket. Saya tidak tahu kesulitan atau masalah teknis yang dialami panitia sehingga tidak mampu memberlakukan sistem pemberian tempat duduk ketika penonton membeli tiket. Agaknya ini bisa menjadi perhatian panitia untuk perbaikan tahun depan.

Demi menyaksikan antusiasme pengunjung Jiffest 2006, saya membagi mereka ke dalam lima klasifikasi penonton:
Pertama; Mereka yang menonton Jiffest karena benar-benar cinta film, suka film, maniak film… Mereka bersyukur festival film yang menjadi barang langka di negeri ini paling tidak masih bisa berlangsung setahun sekali. Mereka berharap, Indonesia memiliki lebih banyak festival film dan bermimpi memiliki sebuah yang bisa menandingi Festival Film Seoul. Tidak usah jauh-jauh ke Cannes atau Sundance dulu…
Kedua; Mereka yang rela datang karena Jiffest adalah sebuah tren, sebuah gaya hidup yang patut diikuti. “Secara lagi ngetren gitu lho…,” tukas mereka. Ditambah dengan tulisan Kompas edisi Minggu, 17 Desember lalu, yang menyatakan penyelenggaraan Jiffest memang sengaja dibikin akrab dengan pasar. Pemilihan beberapa film di antaranya adalah sebagai bentuk kompromi terhadap pasar. Pemilihan Babel sebagai film pembuka barangkali tak lepas dari faktor ini. Tak terelakkan.
Ketiga; Mereka yang datang karena ikut-ikutan teman. Ketimbang tidak punya acara dan duduk manyun di rumah, mereka mengiyakan ajakan teman-temannya untuk memenuhi ruang tunggu studio. Masalah tidak dapat tiket urusan nanti, yang penting ramai.
Keempat; Mereka yang nonton karena gratis. Ini Indonesia, bung! Tidak ada yang tidak menyukai barang gratisan. Kapan lagi bisa mencicipi masuk ruangan bioskop senyaman Djakarta Theatre [HTM normal Rp 35 ribu] dan eX [Rp 60 ribu] tanpa harus mengeluarkan kocek dari dalam dompet. Modalnya hanya mengantri dan, voila, masuklah ke dalam bioskop. Jangan heran tidak berapa lama sebagian dari mereka sibuk mengobrol sendirian, cekikan tidak karuan, atau bahkan meninggalkan film di tengah cerita dengan mumet di kepala dan menganggap jalan-jalan di mal lebih bermakna ketimbang menyaksikan film entah-apa-maksudnya itu.
Kelima; Mereka yang datang dan menonton karena menggantikan janji [atau, ehm, kencan] yang batal. Mereka biasanya mendapat panggilan atau pesan pendek mendadak pada hari pemutaran yang kurang lebih berbunyi “Gw kelebihan tiket Jiffest, elo mau ntn brg gw gak?”. Beda tipis dengan kelompok keempat, kalau tidak punya acara lain, mereka dengan senang hati menjadi pahlawan penyelamat si empunya “tiket lebih”. Saya berpesan, perlu diwaspadai motivasi ajakan sang pahlawan di kemudian hari. Apakah mereka betul-betul tanpa pamrih?

Ini pengalaman Jiffest kali pertama buat saya. Sebagian mungkin menganggapnya cuma pamer keberhasilan dan kebanggaan mengikuti arus gaya hidup urban di ibukota. Sebagian lagi memandang saya benar-benar menyukai film lebih dari sekadar tontonan untuk menghibur – kalau ada yang beranggapan demikian saya berterima kasih banyak. Sebagian boleh menganggap saya tidak punya urusan lain sehingga melebih-lebihkan perihal Jiffest ini dan memakan banyak ruang dalam blog ini.

Dari kesemuanya, saya banyak berterima kasih pada seorang teman yang bersedia menemani saya untuk semua film yang saya tonton. Tak enak menjadikan dirinya pengganti janji yang batal terlaksana, tapi toh dia menanggapinya dengan senang hati. Phew, lega rasanya… Bagi saya, dialah pahlawan sebenarnya untuk Jiffest tahun ini.

Tahun depan, Jiffest [mungkin] datang lagi. Sepanjang masa penantian, saya hanya bisa menghibur diri dengan wacana-wacana film “bagus” melalui fasilitas keping DVD seharga tujuh ribuan yang biasanya saya dapatkan di Ratu Plaza atau di dekat rumah. Meski begitu, tak pelak, Hollywood lagi-lagi akan banyak memberikan warna untuk film yang akan saya tonton. Terima kasih untuk panitia Jiffest; sampai tahun depan!

Comments:
saya suka pagelaran yang senyap. mal malah membuat perhelatan ini kehilangan ruhnya
hahahahhaha

sampai jumpa tahun depan ya
 
sial! gue sama sekali gak nonton...mudah-mudahan para pembajak DVD mengerti niche market seperti gue...
 
my first jiffest too...
banyak puas, banyak gratisan, banyak kejadian...
deg-degan...senyum simpul
dan kembali bertanya... apa mau kamu sih Zaki?????
 
Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]





<< Home

This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Subscribe to Posts [Atom]