Friday, November 09, 2007

 

Perjalanan yang Mendewasakan

Agak mengherankan keputusan distributor lokal memutar Stardust pada awal November ini. Padahal di AS, film ini menjadi penutup musim panas dan mengumpulkan US$ 9,1 juta pada minggu peluncurannya. Sampai akhir Oktober, Stardust baru mengumpulkan US$ 38,3 juta di AS saja, masih jauh dari perkiraan bujetnya US$ 65 juta. Tapi kenapa butuh rentang waktu lama untuk memasukkan Stardust ke Indonesia? Salah satu prediksi yang mencuat yaitu film yang diadaptasi dari novel Neil Gaiman ini "hanya" menjadi karnaval film-film fantasi lain seperti Beowulf dan logi awal dari His Dark Materials, The Magic Compass. Bila demikian, Stardust bisa menjadi pemanasan yang baik. Bagi penonton sendiri, kisah Stardust sanggup menyegarkan dan memudakan.

Pada awalnya adalah sebuah bintang jatuh, berwujud gadis bernama Yvaine (Claire Danes), yang menjadi rebutan tiga pihak berbeda. Raja Stormhold yang sedang sekarat melempar batu rubi pusaka kerajaan ke langit hingga menjatuhkan Yvaine dan berwasiat kepada anak-anaknya bahwa yang mampu menguasai batu tersebut, dengan menyingkirkan yang lain, akan menjadi pewaris kerajaan. Seorang nenek sihir, Lamia (Michelle Pfeiffer), menjadi perwakilan saudari-saudarinya untuk mengejar Yvaine, membelah dadanya, dan memakan jantungnya sebagai obat awet muda. Terakhir, seorang pemuda dari desa kecil The Wall, dinamakan karena memang dikelilingi tembok, bernama Tristan (Charlie Cox) yang sedang mabuk kepayang kepada Victoria (Sienna Miller), gadis paling rupawan di desa, dan berjanji membawakan Yvaine untuk membuktikan cintanya. Demi Victoria, Tristan bersedia menempuh perjalanan jauh untuk membawa hadiah istimewa itu seminggu kemudian, tepat pada hari ulang tahun Victoria. Perjalanan panjang itu ternyata mengubah hidup Tristan untuk selamanya.

Stardust memenuhi semua syarat film fantasi: kerajaan, pangeran, kisah cinta, petualangan, nenek sihir, dan sebagai bonusnya, "bajak udara" - Captain Shakespeare (Robert de Niro). Penampilan kembali Pfeiffer dalam Stardust setelah sekian tahun puasa bermain film bisa menghapus dahaga penonton karena perannya mendapat porsi sebagai antagonis utama. De Niro, tidak terlalu menjulang, tapi tampil mengejutkan di luar stereotipe peran-perannya selama ini. Untuk tokoh utama, banyak kritikus luar menyebutkan performa Cox dalam debut filmnya patut mendapat acungan jempol. Dalam film, tokoh Tristan mengalami perubahan besar di akhir film dan Cox mampu menjiwai perannya dengan baik.

Tidak banyak kisah adaptasi yang juga berhasil diangkat ke layar lebar. Namun, sutradara tidak terkenal Matthew Vaughn mampu menjalankan tugasnya mengarahkan dua aktor-aktris senior serta seorang pendatang baru dan membuat penonton terhibur. Tidak seperti trilogi The Lord of The Rings yang cenderung gelap, kisah cerita Stardust ringan, tapi tidak kacangan. Stardust sangat cocok dijadikan tontonan untuk remaja, apalagi pasangan yang sedang kasmaran, dan tentu saja kaum dewasa tidak dilarang untuk menontonnya barangkali bisa menyegarkan kembali gairah romantisme mereka.

Bagaimana tidak menyegarkan dan memudakan? Simak baik-baik sebuah adegan ketika Yvaine menyatakan isi hatinya kepada Tristan. Dialognya menyentuh dan memberikan definisi indah tentang cinta. Dalam adegan pengujung film yang lain, Tristan berada di luar rumah Victoria. Sesuai janjinya, bukti bintang jatuh sudah ada dalam sakunya. Tanda pembuktian diri. Seorang pemuda sudah kembali dari perjalana jauh demi cinta kepada gadis pujaannya. Tapi, hatinya sudah mantap. Bukan cinta yang ditemukannya dalam pencarian, melainkan kedewasaan diri. Kedewasaan seorang laki-laki yang dibutuhkannya untuk menyelamatkan Yvaine, cinta sejatinya, dari cengkeraman si jahat Lamia.

*Review film Stardust (2007)
**image courtesy of http://www.impawards.com/

Comments: Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]





<< Home

This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Subscribe to Posts [Atom]