Thursday, November 22, 2007

 

Retro Tanpa Konsistensi

Jujur, saya tidak akan menulis review film berikut kalau tidak melihat kegusaran di wajah teman menonton saya sepanjang durasi film. Kami memilih menonton Quickie Express, film terbaru produksi Kalyana Shira dan karya sutradara Dimas Djayadiningrat; saya karena penasaran dan tak ingin menyia-nyiakan hari perdana rilisinya film pada Kamis ini, sedangkan teman saya mengaku terpancing gaya retro di poster film. Nyatanya, harapan mendapat kepuasan tak kunjung didapat hingga akhir film.

Kepuasan hanya bisa didapat [dan barangkali memang hanya bisa dimengerti] oleh pembuat filmnya sendiri. Tapi, dibanding teman saya yang langsung memasang muka masam pada lima menit pertama film, saya masih terus mencoba berpikir positif. Jojo (Tora Sudiro) adalah seorang pemuda yang terjebak menjadi gigolo berkedok jasa layanan antar pizza. Seluruh film berkisar pada karakter Jojo yang mengalami dinamika kehidupan sebagai pemuas seks tante-tante kesepian dengan gaya penceritaan ala genre komedi. Skenario film ditulis Joko Anwar dan karakter pengembangan skrip Joko seperti dalam Janji Joni masih sangat berbekas di sini. Berani jamin, penonton akan langsung nyambung dengan film debut Joko itu sejak detik pertama. Persis, itu tampak dari penggunaan narasi sudut pandang tokoh utama dan pilihan gaya bahasanya. Pada satu sisi, warna khas Joko ini melemahkan gaya penyutradaraan Dimas. Satu scene di diskotek, lengkap dengan musik dan lampu diskonya, seharusnya bisa dioptimalkan Dimas [mengingat dirinya adalah sutradara yang kenyang membesut berbagai klip video musik] untuk memancing atensi dan mengikat emosi penonton ke dalam cerita film. Seandainya saja demikian, paling tidak saya bisa punya bekal menangkis serangan kekecewaan teman saya itu.

Pada sisi lain adalah protes teman saya yang mempersoalkan konsistensi setting dengan gaya sinematografi film. Kalau kamu melihat posternya atau trailernya, Quickie Express menuangkan semangat generasi 1980-an - terlihat dari warna film yang cenderung kekuning-kuningan, fashion karakter-karakter, dan rancangan produksinya. Kali ini, saya terpaksa sepakat dengan si teman. Semangat retro itu tidak konsisten. Dalam banyak scene jelas terlihat Jojo memiliki handphone Samsung, teh celup Sariwangi, taksi berwarna biru sliweran di jalanan, mobil-mobil mewah keluaran terbaru, atau kaleng minuman isotonik Powerade di supermarket. Atas nama konsistensi, fakta tersebut hanya dapat dijelaskan jika mesin waktu memang sudah ditemukan, sehingga barang-barang tersebut sudah muncul pada 1980-an. Untuk menghibur si teman, saya bilang, orang Indonesia memang lebih mengutamakan bungkus ketimbang isi, ya toh?

Ah, kami mungkin berpikir terlalu jauh. Buktinya, nyaris seluruh bioskop tertawa senang dalam banyak adegan konyol, seperti serangan ikan Piranha pada kemaluan Marley, karakter yang dimainkan Amink [tapi, bukankah Piranha hanya menyerang secara berkelompok? hmmm..., saya harus cek buku biologi saya dulu]. Dalam taraf seperti ini, Quickie Express hanya bisa diterima sebagai film yang menghibur, tanpa terlalu berharap banyak ada kualitas lebih yang muncul dalam film. Dan, lagi-lagi, penonton menjadi obyek penderita karena belum mendapat karya sinema yang mencerahkan nalar [seperti harapan teman saya]. Atau memang karena kita, penonton Indonesia, tidak butuh film macam itu?

* Review film Quickie Express (2007)
**Image courtesy of www.kalyanashira.com

Comments: Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]





<< Home

This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Subscribe to Posts [Atom]