Sunday, November 17, 2024
BERPULANGNYA MENTOR JURNALISME SEPAKBOLA INDONESIA
OBITUARI HARDIMEN KOTO (1963-2024)
Pertama, darah minang. Kakek-nenek saya dari Pesisir Selatan, sedangkan Bang Hardimen dari Bukittinggi. Kedua, kami berdua sama-sama menyukai timnas Belanda. Langsung saja saya pancing dengan generasi Oranje yang menjuarai Euro 1988 obrolan kami sudah ke mana-mana.
Bonusnya, ternyata rumahnya berdekatan dengan rumah saya di kawasan Bekasi Selatan. Makin klop.
Bang Hardimen sudah saya kenal berkat tulisan-tulisannya di Tabloid Bola; kemudian pindah ke Tabloid GO. Zaman itu, penggila sepakbola mana sih yang tidak membaca dua tabloid tersebut?
Tulisan-tulisan Bang Hardimen sangat khas. Seperti ada nada bicara. Melantunkan puisi. Tidak jarang hiperbolis — tapi ini sah-sah saja sebagai salah satu teknik menulis.
Kepiawaian Bang Hardimen bergulat dengan kata tidak hanya ditunjukkan melalui tulisan, tetapi juga secara verbal. Saya bilang, gaya puitis Bang Hardimen — dan suara serak khasnya — bak menemukan jodoh di dunia broadcast. Beliau mulai sering tampil di layar kaca sebagai komentator ataupun host.
Bang Hardimen membimbing pemirsa dengan menyebutkan “Timnas Indonesia” dalam siaran, meninggalkan “Timnas PSSI” yang masih sering diucapkan kala itu. Bahkan, saya masih ingat, Bang Hardimen secara on air menyematkan julukan “anak-anak Garuda” saat Timnas tampil di kualifikasi Piala Dunia 2006 — menghadapi Arab Saudi di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, 12 Oktober 2004.
Kebetulan, saat itu Boaz Solossa mengukir debutnya. Bang Hardimen lah yang “memperkenalkan” nama Boaz ke pencinta sepakbola tanah air.
“Telah lahir bakat baru dari Indonesia yang bakal bersinar di Asia,” ucapnya.
Dari mana datangnya kata-kata puitis itu, bang, tanya saya suatu ketika. “Entah ya, We. Kadang kalimat-kalimat itu lewat begitu saja di dalam kepala gue,” jawabnya dengan mata berbinar-binar.
Lain waktu beliau juga bilang, “Isi kepala gue, We, langsung menari-nari dipenuhi ide dengan obrolan kita ini.” Sembari kata-kata itu meluncur, dua ujung jari beliau menempel di pelipisnya.
Kepala yang dipenuhi dengan kata-kata dan ide-ide membawa Bang Hardimen merambah jauh dari sekadar menjadi jurnalis sepakbola. Selain komentator dan host, beliau berjibaku sebagai agen pemain, produser, pimpinan perusahaan, dan banyak lagi.
Beliau juga adalah petualang. Tahun 2021, beliau menerbitkan buku “Soccer Traveler” yang berisi pengalaman meliput berbagai turnamen sepakbola internasional; mulai dari Piala Afrika, Piala Asia, hingga Piala Dunia.
“Gue salah satu dari hanya dua wartawan Asia yang meliput Piala Afrika 1994 di Tunisia,” cetusnya bangga. Ini salah satu cerita yang kerap diulangnya acap kali berjumpa. “Gue mesti bawa kamera karena akreditasi gue fotografer.”
Lain waktu cerita soal dicuekin Ruud Gullit, “Gue udah buat janji wawancara eksklusif dengan dia di Genoa. Udah gue tunggu lama habis latihan, Gullit nggak mau keluar. Usut punya usut, dia ngambek nggak mau ketemu wartawan karena skandal perselingkuhannya diberitakan media.”
Sebenarnya menurut saya ada sebuah cerita yang sangat “book material” dan dulu berharap Bang Hardimen mau menceritakan ulang serta menerbitkannya.
Itu tentang ceritanya meliput SEA Games 1985 di Bangkok, Thailand. Beliau masih menjadi wartawan Harian Singgalang di Padang dan dengan tekad serta kenekadan tingkat tinggi, berangkat meliput pesta olahraga bangsa-bangsa Asia Tenggara itu. Lewat. Jalan. Darat.
Beliau mengisahkan perjalanan meliput itu seperti baru kemarin. Berangkat dari Padang, singgah semalam di Medan, lalu menyeberang dari Belawan. Sampai di Penang, melintasi perbatasan Malaysia-Thailand, sempat dicegat tentara. Tapi, akhirnya setelah berjam-jam naik bis tiba di Bangkok.
Di sana beliau berkenalan dengan beberapa jurnalis ibukota, salah satunya Sumohadi Marsis yang mengajaknya menjadi kontributor Tabloid Bola. Kesupelannya bergaul (selalu mengingat orang dengan nama lengkapnya), mendekati narasumber, dan hasil tulisannya membawa Bang Hardimen akhirnya hijrah ke Jakarta.
Kami kemudian bertemu ketika saya mengawali karier sebagai jurnalis sepakbola di Majalah FourFourTwo Indonesia (PT Velvet Silver Media).
Pelajaran penting pertamanya, “Ketika elo pergi liputan, elo sudah mesti siapkan rancangan daftar itinerary. Tiket pesawat, hotel, mau ke mana saja, dan meliput apa saja.”
Terdengar sepele, tapi menekankan persiapan adalah langkah awal yang penting dalam kerja jurnalisme.
Beliau adalah salah satu mentor saya dalam jurnalisme sepakbola.
Sabtu, 16 November 2024, sang mentor berpulang. Selamat jalan, bang. Gairahmu yang tak pernah padam untuk sepakbola menjadi panutan untuk semua orang — insan media maupun fans sepakbola pada umumnya.
Labels: komentator bola, Kualifikasi Piala Dunia 2026, PSSI, sepakbola, sepakbola Indonesia, Timnas Indonesia
Wednesday, October 16, 2024
BUKAN HANYA GIGITAN KENYATAAN, INI PENDARATAN KERAS UNTUK INDONESIA
Indonesia hanya mampu mengumpulkan satu poin pada lanjutan putaran ketiga kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia. Satu angka diraih, diwarnai kepemimpinan wasit Ahmed Al Kaf yang kontroversial, dengan skor akhir 2-2 di markas Bahrain. Selang beberapa hari kemudian, Indonesia menyerah 2-1 dari tuan rumah China. Padahal, Indonesia diharapkan penggemar merebut empat poin dari dua laga tandang itu.
Ekspektasi yang terlampau tinggi? Lagi-lagi saya tidak mau menyeberang di wilayah emosional. Mari kita bahas saja lewat angka. Lihat grafis ini yang saya kumpulkan setelah laga melawan Bahrain dan sebelum melawat ke China:
Dari data xG dan xG kebobolan ini, Indonesia over-achieving. Dari tiga laga, Indonesia mencetak tiga gol dan kebobolan dengan jumlah yang sama. Dilihat dari angka xG dan xG kebobolan, Indonesia mencetak 0,5 gol lebih banyak yang diharapkan; serta kebobolan 2,35 lebih rendah dari yang diharapkan.
Mari kita sederhanakan. Artinya, Indonesia mampu mencetak gol lebih banyak dari peluang yang kualitasnya rendah. Sementara, pertahanan mereka mampu menjaga gawang tidak kebobolan dua gol lebih banyak. Kuncinya ada pada penampilan heroik kiper Maarten Paes pada laga melawan Arab Saudi (menepis satu penalti) dan Australia.
Ini sinyal bahaya. Indonesia dihadapkan pada kelemahan mengkreasi peluang (dan mengonversinya menjadi gol); serta bergantung pada penampilan individual supaya tidak kebobolan (bagaimana kalau pemain andalan sedang tidak pada harinya?). Apalagi melihat ketimpangan antara jumlah tembakan dan tembakan yang didapat (serta jumlah keakuratannya). Gelembung ini akan meletus. Pertanyaannya, kapan?
Lalu, datanglah malam di Qingdao.
Melawan tuan rumah yang sedang menghuni dasar klasemen, banyak orang optimistis Timnas mampu pulang dengan poin penuh. Nyatanya, Indonesia mendominasi pertandingan. Nahas, hasilnya anomali. China tampil sangat klinis dan mengonversi tiga peluang menjadi dua gol (yang kesemuanya terjadi di babak pertama).
Penampilan itu merupakan gigitan kenyataan. Reality check. Buat saya, reality check mestinya sudah dilakukan saat Shin Taeyong dan Indonesia tampil di Piala Asia U-23. Simak lagi catatan saya di sini.
Ini sebuah pendaratan keras. Hard landing.
Catatan: Data jumlah tembakan dalam grafis ini saya perbaharaui sesuai dengan laman resmi AFC.
Satu penampilan buruk dan Indonesia langsung jatuh di daratan dengan catatan under-achieving. Melihat angka xG dan xG kebobolan, Indonesia harusnya mencetak 0,5 gol lebih banyak dan kebobolan 1,13 gol lebih sedikit.
Kini, tugas berat menanti Shin Taeyong dan Indonesia bulan depan. Jepang dan Arab Saudi akan dijamu di kandang sendiri, 15 dan 19 November mendatang. Berapa poin yang akan dicuri Merah-Putih?
*Di kalangan peminat statistik sepakbola, xG kerap digunakan sebagai parameter paling mendekati untuk menilai kualitas peluang sebuah tim. Membuat perbandingan xG dengan jumlah gol aktual biasanya dijadikan parameter apakah sebuah tim over-achieving atau sebaliknya -- dalam bahasa yang lebih sederhana, mujur atau tidak.
Labels: Kualifikasi Piala Dunia 2026, PSSI, Shin Taeyong, Timnas Indonesia
Friday, May 03, 2024
INDONESIA PALING BANYAK MENGUMPULKAN PENONTON SEPANJANG PIALA ASIA U-23 2024
Indonesia menjadi tim paling banyak mengumpulkan penonton sepanjang Piala Asia U-23 2024.
Total pertandingan yang melibatkan Indonesia berhasil menarik 43.411 penonton atau rerata 7.235/laga. Jumlah rerata per laga ini tertinggi setelah tuan rumah Qatar — yang karena tersingkir di perempat-final “hanya” mengumpulkan 32.984 pasang mata (rerata 8.246).
Lima dari enam pertandingan yang dijalani Indonesia sepanjang Piala Asia U-23 2024 digelar di Stadion Abdullah bin Khalifa, Doha, yang berkapasitas 10.000 tempat duduk. Sepanjang turnamen, penjualan tiket stadion ini dua kali sold out — satu-satunya di antara venue lain.
Pertandingan Indonesia vs Korea Selatan di perempat-final menyedot atensi 9.105 orang. Ini jumlah penonton terbanyak kedua dalam turnamen setelah laga perempat-final Qatar vs Jepang (9.573) — yang digelar di Stadion Jassim bin Hamad, Al-Rayyan, yang berkapasitas lebih besar.
Jumlah 9.105 orang itu merupakan catatan terbanyak setelah babak 16 besar Liga Champions Asia ketika Lekhwiya SC (kini Al-Duhail) menjamu Al Hilal, 2013 lalu, dengan rekor 10.221 penonton.
Labels: Piala Asia U-23, PSSI, Timnas Indonesia
MENGEVALUASI xG dan xGA INDONESIA SELAMA PIALA ASIA U23 2024
Indonesia akhirnya harus puas menjadi peringkat empat Piala Asia U23 2024 setelah berhasil menembus semi-final pada penampilan debutnya.
Secara keseluruhan, bagaimana penampilan tim Garuda? Apakah overachieving? Atau malah underachieving?
DISCLAIMER: Sebelum memulai pembahasan ini, saya ingin menyatakan bahwa analisis ini sengaja mengabaikan sejumlah keputusan kontroversial wasit pada pertandingan yang dijalani Indonesia. Supaya pembahasannya tetap obyektif dari sudut pandang statistik. Terutama dengan fokus melihat angka xG (expected goals) dan xGA (expected goals against).*
Total, Indonesia tampil 6 kali pada turnamen ini. Hasilnya, dua kali menang, sekali imbang, dan tiga kali kalah. Hasil melawan Korea Selatan di perempat-final dihitung imbang karena diselesaikan melalui adu penalti.
Ini perbandingan skor dan xG/xGA Indonesia:
Fase grup
vs Qatar 0-2 | 1,16 vs 1,29 (menderita 1 penalti)
vs Australia 1-0 | 0,97 vs 1,81 (menderita 1 penalti)
vs Yordania 4-1 | 1,79 vs 1,03 (mendapat 1 penalti, menderita 1 own goal)
Total: 5-3 | 3,92 vs 4,13
Indonesia overachieving: Mencetak gol lebih banyak dan kebobolan lebih sedikit. Ada "kemujuran" setelah penalti Australia gagal berbuah gol.
Secara kualitatif penting menyinggung bahwa pertahanan Indonesia dirugikan dengan kesalahan pertahanan yang menyebabkan dua penalti serta satu gol bunuh diri yang bersarang di gawang mereka.
Fase gugur
vs Korea Selatan 2-2 | 2,08 vs 1,11 (menderita 1 own goal)
vs Uzbekistan 0-2 | 0,57 vs 2,39 (menderita 1 own goal)
vs Irak 1-2 | 1,92 vs 2,27
Total: 3-6 | 4,57 vs 5,77
Indonesia underachieving: Harusnya mencetak dua gol lebih banyak. Serta malah kebobolan dua gol bunuh diri. Kadar ketidakmujuran terlalu tinggi di fase menentukan ini.
Ini seperti membuktikan wajah Indonesia sesungguhnya dengan jumlah xG/xGA yang mendekati jumlah gol/kebobolan aktual. Shin Taeyong barangkali meratapi kegagalan mengonversi dua gol yang dapat mewujudkan mimpi Indonesia berlaga di Olimpiade Paris 2024.
Berkaca dari jumlah xG dan xGA, pertandingan melawan Korea Selatan adalah performa terbaik Indonesia dalam turnamen, sedangkan laga versus Uzbekistan adalah yang terburuk.
Pernyataan penutup
Dari analisis singkat ini, ada dua catatan. Pertama, Shin Taeyong setidaknya bisa meningkatkan performa Indonesia di level paling minimal guna lolos dari fase grup. Indonesia sanggup mengimbangi tim yang secara tradisional punya kekuatan dengan level di atas mereka.
Namun, catatan kedua menanti. Tugas Shin Taeyong berikutnya adalah menaikkan level Indonesia untuk meraih kemenangan saat kemenangan itu diperlukan. Win when it matters.
*Di kalangan penggila statistik sepakbola, xG dan xGA digunakan sebagai parameter paling mendekati untuk menilai kualitas konversi peluang sebuah tim — atau sebaliknya, kualitas pertahanan mereka. Dalam sudut pandang lain, membandingkan xG dan xGA dengan jumlah gol dan kebobolan aktual dapat dijadikan parameter level kemujuran sebuah tim.
Labels: Piala Asia U-23, PSSI, Shin Taeyong, Timnas Indonesia
Friday, April 26, 2024
SHIN TAEYONG, KEMENANGAN KECIL SEPAKBOLA INDONESIA
Pencapaian demi pencapaian diukir Shin Taeyong. Terkini, STY berhasil membawa Indonesia melangkah ke babak semi-final Piala Asia U-23 berkat kemenangan adu penalti dramatis atas negara asalnya, Korea Selatan. Sejarah tercipta di Doha, Qatar, Kamis 25 April malam, dan selangkah lagi Indonesia memastikan diri tampil di Olimpiade Paris 2024.
Sontak ramai perbincangan di ranah digital, seperti siniar jiran Bola Is Life yang tak sungkan melempar pujian. STY dinilai berhasil mengentaskan sindrom inferiority complex yang kerap menghinggapi pemain Indonesia dari masa ke masa. Meski memiliki bakat tinggi dan keterampilan teknik yang baik, mental para pemain Indonesia seperti gampang ciut manakala menghadapi tim raksasa. Itu tak lagi terjadi kiwari.
Mukjizat apa yang sedang diperagakan STY? Sejak dipercaya menangani timnas Indonesia awal 2020 silam, STY membangun ulang kekuatan tim dengan memangkas satu generasi pemain. STY hanya ingin menggunakan pemain yang benar-benar cocok dengan skema yang ingin diterapkan. Tugasnya tak hanya tim senior, tapi juga merangkap beberapa timnas kelompok umur.
Penampilan perdana STY di level senior terjadi pada lanjutan kualifikasi Piala Dunia 2022, hampir 18 bulan setelah penunjukan. Skuad diisi sebagian besar pemain nihil pengalaman di pentas senior dan Indonesia menelan kekalahan telak 4-0 dari Vietnam — meski sanggup memaksakan hasil imbang 2-2 melawan Thailand.
Namun, dari keraguan pelan-pelan muncul kepercayaan. Di luar dugaan, STY membawa Indonesia melangkah ke final Piala AFF 2020, yang dipentaskan akhir 2021 hingga awal 2022 akibat dampak Covid-19. Enam bulan berselang, Indonesia dibawanya menembus putaran final Piala Asia untuk kali pertama sejak menjadi tuan rumah bersama edisi 2007.
Mukjizat STY adalah tim Indonesia saat ini. The working miracles. Indonesia melangkah ke babak 16 besar Piala Asia 2023. Pada lanjutan kualifikasi Piala Dunia 2026, usai memperoleh satu poin dari dua laga pembuka, Indonesia dua kali beruntun memukul Vietnam. Sekarang, mukjizat terbaru ada di Doha.
Mukjizat ini tidak datang dari langit begitu saja. Ada dukungan besar dari PSSI dalam memberikan STY pemain yang dimau, termasuk dari program naturalisasi dan garis keturunan. Materi ini melengkapi inti pemain yang sudah disiapkan STY di kelompok usia.
Bagaimana STY mengentaskan sindrom inferiority complex yang diidap para pemain Indonesia? Dengan cara menanamkan sistem baru. Para pemain diperkenalkan dan dipaksa menganut sistem tersebut. Awalnya tidak mudah, tapi saat menunjukkan hasil, muncul kepercayaan pemain kepada sistem tersebut. Dengan sejumlah hasil positif, sebagai sang pembentuk sistem, STY menjelma. The man becomes a myth.
Keberhasilan ini tetap saja menyisakan catatan kaki. Timnas hanya lah mikrokosmos. Bayangkan jika kepercayaan terhadap sistem terjadi dalam lingkup yang lebih luas. Ada perbaikan kualitas liga, perombakan tata kelola klub, pembenahan struktur akar rumput, dan lain-lain.
STY praktis takkan lagi mengandalkan 14-16 pemain untuk berbagai jenjang tim nasional. Players pool meluas. STY-STY baru pun bermunculan.
Kemenangan ini baru kemenangan kecil yang harapannya memicu kemenangan yang lebih besar.
Labels: Piala Asia U-23, PSSI, Shin Taeyong, Timnas Indonesia
Sunday, September 03, 2023
Bedah Transfer Empat Besar Eredivisie Musim Panas 2023
Jendela transfer musim panas 2023 baru saja ditutup, Jumat (1/9) tengah malam atau Sabtu dini hari WIB. Di tengah ramainya bursa transfer pemain di lima liga top Eropa, Eredivisie tak kalah serunya. Banyak yang menganggap liga ini liga petani, tapi tidak apa. Bahkan petani sekali pun harus bersiap dan berencana supaya ladangnya terus produktif. Mari kita bedah aktivitas empat tim besar Eredivisie.
Ajax Amsterdam
Bersama direktur olahraga baru, Sven Mislintat, Ajax sangat sibuk di bursa transfer. Lima pemain inti pergi meninggalkan klub, yaitu Davy Klaassen, Dusan Tadic, Jurrien Timber, Edson Alvarez, dan Mohammed Kudus. Tiga nama pertama adalah figur pemimpin tim. Tidak hanya itu, sejumlah pemain pelapis juga dilepas, seperti Calvin Bassey, Mohamed Daramy, Youri Regeer; ditambah mereka yang dipinjamkan, yaitu Jorge Sanchez, Fransisco Conceicao, Kian Fitz-Jim, Youri Baas, dan Naci Unuvar.
Aktivitas tersebut memberi Ajax pemasukan sebesar €156,4 juta. Mislintat membelanjakan €108,3 juta untuk mendatangkan para pemain pengganti. Total 12 pemain baru bergabung dan ditambah dengan tiga pemain dari tim junior. Mislintat terlihat mengandalkan jaringan scouting Eropa-nya. Roster skuad Ajax musim ini seperti komposisi tim penantang dari papan tengah Bundesliga Jerman. Apalagi, sosok pelatih baru mereka adalah Maurice Steijn, yang mendapuk pekerjaan top pertamanya dalam karier.
Tantangan Steijn adalah menciptakan suasana harmoni di dalam tim, terutama bagi para pemain yang baru bergabung menjelang akhir bursa transfer. Bagi Mislintat, reputasinya ditantang dengan kemampuan para pemain baru membuktikan potensial — baik melalui prestasi di atas lapangan maupun harga jual mereka di masa datang.
PSV Eindhoven
Seperti Ajax, PSV juga memiliki direktur olahraga dan pelatih baru. Hanya, mereka memiliki waktu lebih banyak karena Earnest Stewart sudah disiapkan di posisi direktur olahraga sejak akhir 2022 sebelum ditetapkan secara resmi, Maret lalu. Riak muncul usai menjuarai KNVB Beker. Ketika Ruud van Nistelrooy tak lagi mau melanjutkan kiprahnya sebagai pelatih. Tak sampai lama, manajemen memercayakan Peter Bosz sebagai pengganti.
PSV juga tidak kehilangan pemain kunci sebanyak Ajax — hanya Xavi Simons dan Ibrahim Sangare yang hijrah. Namun, strategi perekrutan PSV merefleksikan ambisi mereka. Sadar akan tampil di Liga Champions musim ini, PSV tidak mau setengah-setengah. Noa Lang, Sergino Dest, Jerdy Schouten, Ricardo Pepi, dan Malik Tilman didatangkan. Belum cukup, Hirving Lozano dan Armel Bella-Kotchap bergabung pada hari tenggat transfer.
Aktivitas itu memboroskan anggaran belanja PSV, tapi mungkin setimpal untuk perjalanan musim ini. Apalagi, rata-rata usia skuad PSV saat ini relatif berada pada usia yang lebih matang dibandingkan tiga tim lainnya. Rasanya tidak ragu menempatkan PSV sebagai kandidat favorit menjuarai Eredivisie musim ini — sekaligus lolos dari fase grup Liga Champions.
Feyenoord Rotterdam
Inilah klub Belanda dengan lalu lintas transfer tersibuk musim panas ini. Namun, jika melihat daftar keluar masuk secara lebih mendetail, volume tersebut muncul karena banyaknya pemain pinjaman — baik yang datang maupun keluar klub. Kepindahan paling signifikan yang dialami Feyenoord adalah kapten Orkun Kokcu, serta ditambah masa pinjaman Sebastian Szymanski yang berakhir.
Pelatih Arne Slot lebih banyak menambah kedalaman skuad selama bursa transfer musim panas ini. Ramiz Zerrouki diproyeksikan sebagai pengganti Kokcu, sedangkan Calvin Stengs untuk menambah kreativitas tim. Begitu juga dengan Ayase Ueda, Luka Ivanusec, Thomas Beelen, dan Bart Nieuwkoop; yang didatangkan untuk memperkuat tim yang juga akan tampil di Liga Champions. Sektor tengah dan depan menjadi yang paling banyak dibenahi oleh Feyenoord.
Secara finansial, aktivitas transfer Feyenoord mampu terkendali sehingga kas tetap seimbang. Diam-diam memang menghanyutkan. Tidak banyak yang menjagokan Feyenoord musim lalu, tapi Slot berhasil membangun tim yang berfungsi secara kolektif hingga sukses menjadi juara.
AZ Alkmaar
Istilah De Grote Drie barangkali harus direvisi menjadi De Vier Drie. AZ mulai harus dianggap serius dari musim ke musim. Di antara klub top Eredivisie yang kita bahas dalam daftar ini, saya menganggap AZ berhasil melakukan aktivitas yang paling arif — the most sensible transfer.
Keberhasilan Jong AZ menjuarai UEFA Youth League 2022/23 adalah kebangkitan sebuah generasi bakat. Mungkin masih terlalu dini menyetarakannya dengan generasi pemain muda Ajax 2018/19, tetapi ada potensi ke arah situ. Sejumlah alumni juara UEFA Youth League dipromosikan ke skuad senior. Mulai dari kiper Rome Jayden Owusu-Oduro; bek Wouter Goes, gelandang Lewis Schouten; serta penyerang Mexx Meerdink, dan Ernest Poku.
AZ memang kehilangan lima pemain kunci musim lalu: Pantelis Hatzidiakos, Jesper Karlsson, Milos Kerkez, Sam Beukema, dan Tijjani Reijnders; tapi kebijakan perekrutan pemain muda mereka memancing rasa penasaran tersendiri. Dua pemain timnas Portugal U-23 didatangkan, yaitu bek Alexandre Penetra dan gelandang Tiago Dantas. Ditambah lagi dua penyerang sayap muda, Ruben van Bommel dan Ibrahim Sadiq.
Saya berani merekomendasikan AZ adalah tim Eredivisie yang menarik untuk Anda ikuti perkembangannya musim ini.
*sumber data: Transfermarkt
Labels: Ajax, AZ, bursa transfer, Eredivisie, Feyenoord, PSV
Wednesday, April 30, 2008
a fresh skin
Monday, April 28, 2008
Here, There, and Back Again
Kamu pasti heran kalau ada orang yang boarding persis jam berangkat pesawat - tambah lagi ini penerbangan internasional yang punya tetek bengek fiskal, cap paspor, dan antriannya sebelum naik pesawat. Dua kali ke luar negeri, dua kali saya harus mengejar pesawat. Mengejar. Dalam arti yang sebenarnya.
Saya berangkat dalam rangka undangan sebuah sekolah sepakbola ternama di Jakarta untuk meliput dua partai ujicoba mereka dengan sekolah sepakbola di Kuala Lumpur yang punya bendera franchise yang sama. Diinformasikan kalau rombongan akan menginap di hotel Royal Bintang. Meski hati kecil bersorak menginap di Bukit Bintang - yang sangat hidup itu - saya sempat ragu apakah rombongan dengan mayoritas anak-anak usia sekolah ini diinapkan di kawasan keramaian itu. Dugaan saya salah.
Begitu partai ujicoba pertama selesai, bersama dua rekan dari media lain, kami bergegas memburu langkah ke BB Plaza. Sayang, terlambat. Hampir pukul 10 malam dan toko-toko mulai tutup. Alhasil, kami menghabiskan waktu berputar-putar saja di pedestrian Bukit Bintang.
"And how the night falls on Bukit Bintang?"
Crowdly dan loudly.
Pesonanya sama seperti dua tahun lalu. Tetap hidup dan ramai hingga larut malam. Pusat perbelanjaan bertebaran di kawasan ini: bangunan BB Plaza terhubung dengan Sungei Wang, satu dua gedung di sebelah BB plaza ada Low Yat Plaza - pusat barang-barang elektronik, di seberang Sungei Wang ada Times Square - pusat perbelanjaan berlantai 10[!]. Begitu juga rumah makan: masakan Cina, Melayu, Arab, hingga India, tenda atau tempat permanen, kafe, pub, dan... refleksiologi. Turis sepertinya memang diharuskan menghabiskan uangnya di kawasan surga belanja ini. Begitu juga untuk penduduk Malaysia sendiri - yang menurut Liang, pemandu kami, baru saja "diuntungkan" berkat dikuranginya besaran pajak pendapatan oleh Perdana Menteri Abdullah Badawi.
Hanya semalam di sana. Pagi-pagi sebelum partai ujicoba kedua, rombongan bergegas check out dari hotel. Setelah ujicoba, kami memburu pesawat pulang sore harinya. Memang diberikan waktu "bersiar-siar" di Sungei Wang, tapi kisaran 45 menit saja. Manalah cukup waktu untuk mencari macam-macam. Padahal, setibanya di bandara, kami mendapat berita mencengangkan. Pesawat di-delay hingga dua jam!!!
Minggu malam, saya sudah kembali ke Jakarta. Kurang tidur, saya menikmati istirahat panjang dan datang ke kantor siang hari. Susah dipercaya, saya baru menghabiskan weekend di luar negeri dan hari Senin sudah kembali bekerja. Ah... Selamat kembali lagi ke kenyataan!
Subscribe to Posts [Atom]