Sunday, November 17, 2024

 

BERPULANGNYA MENTOR JURNALISME SEPAKBOLA INDONESIA

OBITUARI HARDIMEN KOTO (1963-2024)


Saya tidak kesulitan mencairkan suasana saat kali pertama berkenalan langsung dengan bang Hardimen Koto. Selain orangnya supel dan mudah bergaul, saya sudah siapkan dua senjata.

Pertama, darah minang. Kakek-nenek saya dari Pesisir Selatan, sedangkan Bang Hardimen dari Bukittinggi. Kedua, kami berdua sama-sama menyukai timnas Belanda. Langsung saja saya pancing dengan generasi Oranje yang menjuarai Euro 1988 obrolan kami sudah ke mana-mana.

Bonusnya, ternyata rumahnya berdekatan dengan rumah saya di kawasan Bekasi Selatan. Makin klop.

Bang Hardimen sudah saya kenal berkat tulisan-tulisannya di Tabloid Bola; kemudian pindah ke Tabloid GO. Zaman itu, penggila sepakbola mana sih yang tidak membaca dua tabloid tersebut? 

Tulisan-tulisan Bang Hardimen sangat khas. Seperti ada nada bicara. Melantunkan puisi. Tidak jarang hiperbolis — tapi ini sah-sah saja sebagai salah satu teknik menulis.

Kepiawaian Bang Hardimen bergulat dengan kata tidak hanya ditunjukkan melalui tulisan, tetapi juga secara verbal. Saya bilang, gaya puitis Bang Hardimen — dan suara serak khasnya — bak menemukan jodoh di dunia broadcast. Beliau mulai sering tampil di layar kaca sebagai komentator ataupun host.

Bang Hardimen membimbing pemirsa dengan menyebutkan “Timnas Indonesia” dalam siaran, meninggalkan “Timnas PSSI” yang masih sering diucapkan kala itu. Bahkan, saya masih ingat, Bang Hardimen secara on air menyematkan julukan “anak-anak Garuda” saat Timnas tampil di kualifikasi Piala Dunia 2006 — menghadapi Arab Saudi di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, 12 Oktober 2004. 

Kebetulan, saat itu Boaz Solossa mengukir debutnya. Bang Hardimen lah yang “memperkenalkan” nama Boaz ke pencinta sepakbola tanah air.

“Telah lahir bakat baru dari Indonesia yang bakal bersinar di Asia,” ucapnya.

Dari mana datangnya kata-kata puitis itu, bang, tanya saya suatu ketika. “Entah ya, We. Kadang kalimat-kalimat itu lewat begitu saja di dalam kepala gue,” jawabnya dengan mata berbinar-binar.

Lain waktu beliau juga bilang, “Isi kepala gue, We, langsung menari-nari dipenuhi ide dengan obrolan kita ini.” Sembari kata-kata itu meluncur, dua ujung jari beliau menempel di pelipisnya.

Kepala yang dipenuhi dengan kata-kata dan ide-ide membawa Bang Hardimen merambah jauh dari sekadar menjadi jurnalis sepakbola. Selain komentator dan host, beliau berjibaku sebagai agen pemain, produser, pimpinan perusahaan, dan banyak lagi. 

Beliau juga adalah petualang. Tahun 2021, beliau menerbitkan buku “Soccer Traveler” yang berisi pengalaman meliput berbagai turnamen sepakbola internasional; mulai dari Piala Afrika, Piala Asia, hingga Piala Dunia.

“Gue salah satu dari hanya dua wartawan Asia yang meliput Piala Afrika 1994 di Tunisia,” cetusnya bangga. Ini salah satu cerita yang kerap diulangnya acap kali berjumpa. “Gue mesti bawa kamera karena akreditasi gue fotografer.”

Lain waktu cerita soal dicuekin Ruud Gullit, “Gue udah buat janji wawancara eksklusif dengan dia di Genoa. Udah gue tunggu lama habis latihan, Gullit nggak mau keluar. Usut punya usut, dia ngambek nggak mau ketemu wartawan karena skandal perselingkuhannya diberitakan media.”

Sebenarnya menurut saya ada sebuah cerita yang sangat “book material” dan dulu berharap Bang Hardimen mau menceritakan ulang serta menerbitkannya. 

Itu tentang ceritanya meliput SEA Games 1985 di Bangkok, Thailand. Beliau masih menjadi wartawan Harian Singgalang di Padang dan dengan tekad serta kenekadan tingkat tinggi, berangkat meliput pesta olahraga bangsa-bangsa Asia Tenggara itu. Lewat. Jalan. Darat.

Beliau mengisahkan perjalanan meliput itu seperti baru kemarin. Berangkat dari Padang, singgah semalam di Medan, lalu menyeberang dari Belawan. Sampai di Penang, melintasi perbatasan Malaysia-Thailand, sempat dicegat tentara. Tapi, akhirnya setelah berjam-jam naik bis tiba di Bangkok.

Di sana beliau berkenalan dengan beberapa jurnalis ibukota, salah satunya Sumohadi Marsis yang mengajaknya menjadi kontributor Tabloid Bola. Kesupelannya bergaul (selalu mengingat orang dengan nama lengkapnya), mendekati narasumber, dan hasil tulisannya membawa Bang Hardimen akhirnya hijrah ke Jakarta.

Kami kemudian bertemu ketika saya mengawali karier sebagai jurnalis sepakbola di Majalah FourFourTwo Indonesia (PT Velvet Silver Media).

Pelajaran penting pertamanya, “Ketika elo pergi liputan, elo sudah mesti siapkan rancangan daftar itinerary. Tiket pesawat, hotel, mau ke mana saja, dan meliput apa saja.”

Terdengar sepele, tapi menekankan persiapan adalah langkah awal yang penting dalam kerja jurnalisme.

Beliau adalah salah satu mentor saya dalam jurnalisme sepakbola.

Sabtu, 16 November 2024, sang mentor berpulang. Selamat jalan, bang. Gairahmu yang tak pernah padam untuk sepakbola menjadi panutan untuk semua orang — insan media maupun fans sepakbola pada umumnya.

Labels: , , , , ,


Comments: Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]





<< Home

This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Subscribe to Posts [Atom]