Wednesday, October 16, 2024

 

BUKAN HANYA GIGITAN KENYATAAN, INI PENDARATAN KERAS UNTUK INDONESIA

Indonesia hanya mampu mengumpulkan satu poin pada lanjutan putaran ketiga kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia. Satu angka diraih, diwarnai kepemimpinan wasit Ahmed Al Kaf yang kontroversial, dengan skor akhir 2-2 di markas Bahrain. Selang beberapa hari kemudian, Indonesia menyerah 2-1 dari tuan rumah China. Padahal, Indonesia diharapkan penggemar merebut empat poin dari dua laga tandang itu.

Ekspektasi yang terlampau tinggi? Lagi-lagi saya tidak mau menyeberang di wilayah emosional. Mari kita bahas saja lewat angka. Lihat grafis ini yang saya kumpulkan setelah laga melawan Bahrain dan sebelum melawat ke China:


Dari data xG dan xG kebobolan ini, Indonesia over-achieving. Dari tiga laga, Indonesia mencetak tiga gol dan kebobolan dengan jumlah yang sama. Dilihat dari angka xG dan xG kebobolan, Indonesia mencetak 0,5 gol lebih banyak yang diharapkan; serta kebobolan 2,35 lebih rendah dari yang diharapkan.

Mari kita sederhanakan. Artinya, Indonesia mampu mencetak gol lebih banyak dari peluang yang kualitasnya rendah. Sementara, pertahanan mereka mampu menjaga gawang tidak kebobolan dua gol lebih banyak. Kuncinya ada pada penampilan heroik kiper Maarten Paes pada laga melawan Arab Saudi (menepis satu penalti) dan Australia.

Ini sinyal bahaya. Indonesia dihadapkan pada kelemahan mengkreasi peluang (dan mengonversinya menjadi gol); serta bergantung pada penampilan individual supaya tidak kebobolan (bagaimana kalau pemain andalan sedang tidak pada harinya?). Apalagi melihat ketimpangan antara jumlah tembakan dan tembakan yang didapat (serta jumlah keakuratannya). Gelembung ini akan meletus. Pertanyaannya, kapan?

Lalu, datanglah malam di Qingdao.

Melawan tuan rumah yang sedang menghuni dasar klasemen, banyak orang optimistis Timnas mampu pulang dengan poin penuh. Nyatanya, Indonesia mendominasi pertandingan. Nahas, hasilnya anomali. China tampil sangat klinis dan mengonversi tiga peluang menjadi dua gol (yang kesemuanya terjadi di babak pertama).

Penampilan itu merupakan gigitan kenyataan. Reality check. Buat saya, reality check mestinya sudah dilakukan saat Shin Taeyong dan Indonesia tampil di Piala Asia U-23. Simak lagi catatan saya di sini.

Ini sebuah pendaratan keras. Hard landing.


Catatan: Data jumlah tembakan dalam grafis ini saya perbaharaui sesuai dengan laman resmi AFC.

Satu penampilan buruk dan Indonesia langsung jatuh di daratan dengan catatan under-achieving. Melihat angka xG dan xG kebobolan, Indonesia harusnya mencetak 0,5 gol lebih banyak dan kebobolan 1,13 gol lebih sedikit.

Kini, tugas berat menanti Shin Taeyong dan Indonesia bulan depan. Jepang dan Arab Saudi akan dijamu di kandang sendiri, 15 dan 19 November mendatang. Berapa poin yang akan dicuri Merah-Putih?


*Di kalangan peminat statistik sepakbola, xG kerap digunakan sebagai parameter paling mendekati untuk menilai kualitas peluang sebuah tim. Membuat perbandingan xG dengan jumlah gol aktual biasanya dijadikan parameter apakah sebuah tim over-achieving atau sebaliknya -- dalam bahasa yang lebih sederhana, mujur atau tidak.


Labels: , , ,


This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Subscribe to Posts [Atom]