Wednesday, September 20, 2006

 

Lidah

Benar memang kalau pepatah mengatakan “lidah tak bertulang”. Lidah tak bisa berbohong. Dalam cerita saya ini, lidah tak bisa membohongi asal usul manusia pemiliknya. Terima kasih untuk keaneka ragaman budaya Indonesia. Lingkungan tempat manusia Indonesia tinggal memberi identitas yang khas, salah satunya lewat bahasa dan logat bicara.

Pengetahuan saya tidak begitu mendalam. Tapi beberapa kali saya sukses menebak asal usul daerah orang dengan logat tertentu. Modal utamanya tentu prasangka. Nomor dua, berkat latar belakang keluarga asal Sumatera dan lingkungan masa kecil membuat saya akrab dengan lidah Melayu, Minang, dan Palembang. Meski pengetahuan itu tidak komprehensif – belum tentu saya menebak dengan pasti asal daerahnya secara spesifik – tapi ini jadi hiburan tersendiri di belantara ibukota. Tak banyak yang berlidah Melayu di sini. Jadi, ada semacam kerinduan yang menyeruak bila menemukan logat yang saya kenali di sini.

Orang tak akan susah membedakan lidah medok Jawa atau Sunda, misalnya, yang memang mudah ditemui di kota metropolitan ini. Suatu ketika menjelang wawancara seorang narasumber di daerah Tanjung Duren, saya ditemani stafnya. Kami sempat mengobrol – tak lebih basa-basi. Dia keturunan Cina, tapi mendengar logat dari lidahnya rasa-rasanya saya tidak asing. Benar saja, tanpa perlu saya tanyakan dia mengaku berasal dari Palembang. Nah! Di dalam hati, saya tersenyum bangga bisa menebak benar asal usulnya. Pernah juga saat hari-hari pertama penataran kuliah di Bandung, saya kebetulan berjalan berbarengan seseorang mahasiswa baru dari fakultas lain. Sepanjang perjalanan, kami mengobrol basa-basi. Lagi-lagi, dari lidahnya saya sudah berprasangka dia orang Minang. Saya labrak saja, “Kamu orang Minang?” Agaknya, pertanyaan saya ini sedikit mengganggu. Dengan sedikit meringis, dia mengangguk. Saya bilang, “Ketahuan dari logatnya.” Sedikit dengan rasa bangga yang tidak perlu. Dia mengelak, “Tapi saya sudah lama tinggal di Bandung.” Oke, sudah lama tinggal di Bandung tapi lidahmu tak bisa membohongiku, kawan, bilang saya dalam hati. Obrolan kami tak berlanjut, mungkin saya sudah menyinggung egonya.

Ada satu logat lagi yang membuat saya melayang kembali ke masa lalu. Logat ini datang dari lidah penduduk sebuah pulau paling terkenal di Indonesia. Pada kesempatan seperti tadi pagi, saya kembali mendengar logat itu. Mungkin ini logat yang tidak bisa saya lupakan seumur hidup. Khas sekali terdengar. Pertama kali telinga saya mengakrabkan diri dengan lidah ini adalah pada tahun-tahun pertama kuliah. Unik. Lebih istimewa lagi, karena saya mempunyai pengalaman khusus tentangnya. Wah, kalau boleh saya meminta logat itu hanya boleh datang dari lidah yang saya kenal itu. Pagi ini, saya mendengarnya dari atas angkutan umum. Wajar saja, pangkalan angkutan itu memang berada di dekat sebuah pura di pinggir Kalimalang. Sepertinya saya tidak perlu memberikan petunjuk lebih jelas lagi. Ah, sedikit kenangan tidak akan menyakitkan, bukan?

Comments:
Adeuh... a deuh... adeuh.. aaa.. deuuuh...

ini memang cerita tentang lidah, atau hanya jalan menuju inti tulisan yang ada di akhir, tentang kenangan akan seseorang?

hehehehehe... maafkan saja! (kalau saya salah tafsir)
 
Anda menjawab pertanyaan sendiri, Zai. Hehehe... Tapi mungkin ada pendapat lain?
 
Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]





<< Home

This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Subscribe to Posts [Atom]