Monday, July 03, 2006

 

Yogyakarta, Awal Juli

Gempuran sepakbola sebulan penuh ini mereda sebelum waktunya di pinggir alun-alun Kota Gudeg, Yogyakarta. Terima kasih buat tuan Rusia yang merusak emosi singa-singa muda Oranye seminggu sebelumnya. Terima kasih buat kepercayaan rekan-rekan di kantor terhadap materi peliputan sepakbola Yogya pasca-gempa kepada saya. Terima kasih buat seorang karib lama yang setia menemani saya berkeliling sepanjang tiga hari di awal Juli ini.

Gemuruh penonton nonton bareng berdiri atau bersandar di dudukan sepeda motor mereka di lapangan depan Bank Indonesia sampai terdengar ke sini. Padahal hanya ada kesenyapan malam dan sergapan dingin di lapangan ini. Sepenggal cerita masa lalu. Sepotong harapan masa depan. Sebuah pertanyaan tentang makna hidup [ah, bukankah hal ini sudah sering terlontar dalam percakapan lelaki dewasa?]. Sebuah kegelisahan tentang pencarian jati diri [bukan hanya anak baru gede yang mengalami krisis identitas]. Sebuah omong kosong tak perlu bernama mimpi yang terlontar keluar masuk dari mulut-mulut kami. Sebuah awan pahit bernama kenyataan menggantung di langit malam dan mengintip kerapuhan kami. Semua habis malam itu bersama semangkuk wedang ronde yang licin tandas bersama peluit wasit Slowakia.

Tidak ada kesimpulan malam itu. Tidak ada keputusan. Tidak ada akhir. Namun satu hal yang pasti, bagi saya, Piala Dunia 2006 berakhir di Yogyakarta.

Comments:
hawe, gue link blognya ya
 
Silahkan, uwee... Eh, tapi elo siapa yah? No offense, but i'm wondering are you somebody i know?
 
Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]





<< Home

This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Subscribe to Posts [Atom]