Tuesday, April 18, 2006

 

Kota Ibu

Pemandangan dari atas sudah sangat mencolok. Berlawanan dengan lansekap ibukota yang serbagedung dan serbajalanan, mendekati Kota Ibu daratan menjadi serbakosong dan serbahijau. Di bawah sana, ribuan kaki jauhnya, hehijauan itu adalah perkebunan kelapa sawit dan karet. Bertumpuk-tumpuk dan berkotak-kotak ditengahi jalanan coklat bersilangan tak beraspal. Rapi dan enak dipandang seperti puzzle buat anak-anak balita. Sejauh mata memandang dari balik jendela pesawat, warna hijau selalu memagari batas pemandangan jauh di ujung cakrawala. Saya tidak percaya negeri ini masih disebut negara miskin dengan potensi sebesar ini.

Sudah lama saya tidak kembali ke Kota Ibu. Kurang lebih tiga tahun lamanya kaki saya tidak menjejak tanahnya. Tidak seperti ibukota yang tanahnya di mana-mana beraspal atau tanah Jawa yang subur gemah ripah loh jinawi, tanah milik Kota Ibu padat berkapur (entahlah istilahnya apa, maafkan karena saya awam soal geologi). Mungkin gara-gara tanahnya kaya akan kandungan minyak bumi (tuh kan sok tau lagi). Udaranya terik menyengat. Siang hari tidak banyak berangin karena memang bukan kota pantai. Ternyata tiga tahun waktu yang lama bagi seorang anak daerah seperti saya untuk mengenal kembali wajah Kota Ibu pada saat seperti sekarang ini. Jumat kemarin saya kembali untuk sebuah misi, yaitu (memang) untuk mengenal kembali wajahnya. Begitu saya kembali, jarum waktu pun mulai bergerak dalam kecepatan yang amat sangat lambat.

Kota Ibu tidak berubah. Di sini saya dilahirkan. Di sini pula saya dibesarkan. Di Kota Ibu jualah saya mendapat akar kehidupan. Kebetulan hampir seluruh keluarga besar dari pihak ibu tinggal di sini. Ini seperti cerita Malin Kundang yang pulang kembali ke pangkuan ibu kandungnya. Seorang anak daerah ditakdirkan jauh sebelum kelahirannya untuk merantau dan menemukan kehidupan jauh dari tanah kelahirannya. Berangkatnya dibekali keikhlasan sang Ibu. Sayang, kepulangannya mendurhakai semua jerih payah tersebut. Malin Kundang sempat bertobat namun kutukan sang Ibu terlanjur menjelma kenyataan. Tubuhnya berubah jadi batu abadi. Tapi, tidak... Saya bukan Malin Kundang.

Semua jenis makanan khas Kota Ibu nyaris saya coba. Menirukan tagline sebuah iklan, kembali ke selera asal. Hari pertama saja saya sudah mencicipi kekhasan bumbu sate Padang yang tidak pernah saya temui di ibukota. Pedas dan gurihnya ditambah kelembutan daging membuat saya benar-benar yakin saya sudah kembali pulang. Tidak ketinggalan martabak telor (di sana disebut martabak India), sate ayam, dan pempek. Wah... Sampai-sampai dua hari terakhir di Kota Ibu saya sama sekali tidak menyentuh nasi sebagai menu utama! Masa bodoh, karena saya benar-benar merasa kembali ke asal!

Selalu saja ada kesempatan untuk kembali ke tempat di mana kita berasal. Bagi saya pribadi, kesempatan berada di Kota Ibu sepanjang lima hari kemarin membuat saya merasa menyentuh kembali rahim kandungan tempat saya berasal. Saya kembali kepada akar saya; sebuah tempat di mana mereka akan selalu menyambutmu dengan tangan terbuka dan senyum canda. Kehangatan keluarga lumayan mujarab mengasingkan diri dari kepenatan pikiran.

Saya pulang untuk sebuah alasan. Demi acara keluarga yang tak boleh terhindarkan. Lagipula, toh kapan saya bisa pulang lagi kalau tidak sekarang ini? Saya juga punya agenda lain: melarikan diri dari ibukota. Tapi kalau ternyata upaya melarikan diri itu membuat saya berjalan pulang ke rumah sendiri apakah masih pantas disebut sebagai sebuah eskapisme?

Semua orang, saya rasa, perlu kesempatan untuk kembali pulang. Kalau tidak sekarang dimulai, kapan lagi? Kalau tidak sekarang, saya percaya mungkin ada kesempatan kedua. Saya juga yakin kalau hidup amat sangat berbaik hati untuk memberikan kesempatan ketiga, keempat, kelima, dan seterusnya untuk kita. Persoalannya tinggal kepada kita hendakkah mengambil tikungan di persimpangan tersebut.

Selasa ini, saya sudah kembali ke ibukota. Jatah cuti dari kantor sudah habis. Rasanya lima hari sudah lebih dari cukup untuk mencurahkan kerinduan kepada Kota Ibu. Hidup (memang) harus terus berjalan. Pesawat segera berangkat. Di pinggir landasan pacu, di tengah bising mesin pesawat, di belakang kerumunan penumpang; perasaan saya berbisik, saya akan terus kembali kalau kesempatan itu masih terus ada.

***

Dan hanya dirimu, Adinda, satu-satunya orang asing yang kubawa dalam hati lima hari tidur nyenyak di buaian Ibu.

Comments:
Tak ada yang lebih menyenangkan dari pulang ke pangkuan Kota Ibu, Bang. tapi, pertanyaannya, Siapakah Sang Adinda yang dikau maksud? Adakah dia orang Bgr tea? Ck..ck..ck...
 
Ada penggalan masa lalu yang memang terlalu indah untuk dilupakan dan selalu indah untuk dikenangkan. Tapi, tak baik terus diganduli masa lalu. Hidup harus terus berjalan...

Harus ada keyakinan, Tuhan memiliki rencana buat kita. Bila sekarang belum kau temui sang Adinda, mungkin esok atau lusa dia justru akan datang kepadamu.

Jadikanlah dirimu siap tuk menyongsong kehadirannya.

Entah Bali atau Bogor, tak perlu terlalu dikenangkan terlalu dalam...
 
"Adindaaaaaaaaa... Di manakah kau berada..." (Katon Bagaskara, 19xx)

"Dindaaa.... siapakah kau ternyaataaa...." (zaidan, 2006)

kayaknya gw udah ketinggalan banyak gosip ya?

jadi, sepakat dengan Asep, siapakah dinda yang selalu kaubawa pergi itu?
 
so here we go; runaround, around, around....
(Runaround-Van Halen)
 
Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]





<< Home

This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Subscribe to Posts [Atom]