Thursday, April 13, 2006

 

Hujan, Demo, dan Ibukota

Tiga hari berturut-turut sore hari Ibukota diguyur hujan. Lebat, merata, dan stagnan. Saking hebatnya, jalanan di depan kantor berubah menjadi kolam renang Olimpiade dengan air kecoklatan. Hari ini lebih hebat. Hujan turun lebih lama. Sampai saya pulang jam setengah delapan malam, hujan masih rintik-rintik. Seperti biasa jalanan menjadi macet. Jangan heran kalau di Ibukota (atau kota-kota besar lain di negeri ini) ada korelasi generik antara hujan dan kemacetan. Saya yang tinggal di Bekasi tidak pernah kehabisan kekaguman betapa hujan di pagi hari mampu membuat jalan tol Cikampek (sampai tol dalam kota) menjadi tempat parkir terpanjang di dunia. Apalagi hari Senin! Wuih.... Silahkan saksikan keajaiban dunia nomor delapan di sini. Pertanyaan saya selalu sama, "Apa hubungan hujan dengan kemacetan?". Mungkin banjir; atau semua orang berpikir berangkat setelah hujan berhenti; atau ada saja orang yang sayang mengendarai mobilnya yang baru dicuci; atau gara-gara jarak pandang yang terbatas membuat semua mobil harus berjalan ekstra hati-hati; atau Anda dapat memberikan alasan lain yang lebih masuk akal?

Ibukota juga mengundang pesona tersendiri bagi kaum "yang dirugikan." Maksudnya di sini sehubungan dengan fungsi Ibukota sebagai pusat pemerintahan negara membuatnya menjadi surga buat para pendemo. Macam-macam yang bisa dijadikan ketidakpuasan. Pada pokoknya peraturan pemerintah yang dianggap berat sebelah. Kemarin aparat pemerintahan desa ramai-ramai "jalan-jalan" ke Ibukota. Setelahnya menyusul rombongan buruh pabrik. Jangan heran pula kalau masyarakat Ibukota mulai mengakrabi banyak bus antarkota dengan nama asing di telinga lalu lalang di jalanan. Sepanjang demo yang dilakukan sebatas menyuarakan pendapat, tidak ada masalah toh?! Bebas saja kalau orang berpendapat mengenai kehidupannya. Kata orang alim, usaha tersebut adalah sebagian daripada berjihad. Tapi kalau sampai mengintimidasi orang lain apalagi sampai mengganggu, wuih... Bukannya berpahala, malah mengundang umpatan orang lain. Apa ini yang kita mau? Boleh-boleh saja kan khawatir dan menolak majalah berbau pornografi? Tapi kalau sampai melakukan sweeping, melempari kantor orang, sampai menjatuhkan fatwa dan segala macamnya, wah, kita sudah tidak bisa lagi membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Sama saja.

Soal yang terakhir, saya jadi ingin membuat sebuah karakter rekaan dalam suatu kisah. Entah apa dan bagaimana ceritanya kelak, tapi yang pasti pada sebuah adegan karakter tersebut akan mengatakan, "Saya hidup di negeri yang hipokrit. Di mana kebencian adalah industrinya dan prasangka adalah teknologinya." Mantap kan?

Hujan, demo, dan Ibukota. Warna-warni semarak buat seperempat pertama tahun anjing api ini. Kalau boleh sedikit berfilosofi di sini (seperti kebiasaan saya), pada saat yang sama pula kehidupan tersenyum kepada saya. Mudah-mudahan sampai seterusnya.

***

Hujan akan menepi memberi jalan lurus dan langsung demi kebahagiaanmu, Adinda. Bagaimanapun hidup adalah sebuah hari yang indah. Dirimu adalah satu keindahan yang menyempurnakannya.

Comments:
kadang orang silap membedakan antara amarah dan kebencian
maka ketika kata berubah jadi tindakan
hati sudah tidak lagi menjadi acuan
 
Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]





<< Home

This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Subscribe to Posts [Atom]