Friday, December 30, 2005

 

Tutup Tahun, Harapan Baru (bagian 3)

Hari ini hari terakhir untuk bekerja di tahun 2005. Jalanan lengang. Orang-orang kompak liburan akhir tahun demi memulihkan semangat masing-masing. Setiabudi Building seperti bangunan yang mati. Tidak tampak geliat aktivitas di pagi hari seperti biasa saya dapat temukan setiap melintasinya. Koran yang saya baca tadi pagi mengumumkan kegiatan kliring perbankan ditutup hari ini dan begitu pula bursa efek.

Langit luruh mendung. Mudah-mudahan hujan turun tepat sewaktu pulang kerja sehingga setiap curah airnya akan membersihkan sisa-sisa kebosanan saya selama setahun ini. Saya sering merasa bosan. Terutama karena tidak banyak aktivitas yang bisa saya manfaatkan selama waktu luang saya. Terkadang kebosanan itu diselingi semangat menyala-nyala untuk membuat sesuatu. Seperti misalnya saya ingin menulis sebuah novel. Tapi, semangat tinggal semangat. Atau karena saya terlalu perfeksionis? Seorang teman yang menunggu peluncuran novel pertamanya memberi saran, “Sehari untuk satu halaman saja. Begitu saja sudah cukup”. Baiklah. Lalu, apa yang mau saya tulis?

Menulis adalah sebuah cara saya menuangkan perasaan. Kata teman saya yang satu lagi, saya tipe yang sulit mengekspresikan emosi melalui kemampuan berbicara. Maksudnya, saya tidak bisa ‘ngomong’ mungkin. Benar juga. Akibatnya blog yang sedang Anda sekalian baca ini menjadi sebuah obat mujarab untuk menyalurkan semuanya. Maaf kalau banyak dari tulisan saya di blog ini bernuansa sangat sangat pribadi. Apalagi kalau saya seringkali menggunakan analogi dan bahasa yang berbelit-belit dan bertele-tele. Apapun, saya selalu mencoba menulis apa yang dapat dibaca semua orang. Seringan atau seberat apapun bahasannya.

Menulis adalah pekerjaan saya saat ini. Bukan seperti sebagian teman lain yang menjual, mengelola, atau bahkan sudah dipercaya untuk bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup sebuah proyek tertentu. Mungkin memang belum saatnya bagi saya. Mudah-mudahan tidak berarti terlambat berkembang. Suatu waktu di tahun 2005 ini saya merenung, kalau toh menulis memang jalan untuk saya, saya akan kerjakan semampunya. Untuk Anda ketahui saja, terhadap sebuah keputusan untuk mengarahkan hidup saya belum berani menegaskan diri. Itulah alasannya kalau saya memandang diri sendiri sebagai orang yang tidak memiliki spesifikasi tertentu. Paling gampang contohnya ketika pemilihan jurusan nun di bangku kuliah bertahun silam. Kenapa pada akhirnya saya memilih jurusan Hubungan Masyarakat ketimbang Jurnalistik? Padahal saya sadar sebenarnya saya sendiri meminati bidang ini. Saya suka menulis, itu saja. Contoh lain di lapangan hijau. Coba saya balik bertanya kepada teman-teman akrab di lapangan, sebenarnya saya baik bermain di posisi mana sih? Bukannya mau menyombongkan diri, kecuali posisi penjaga gawang, saya bisa bermain menempati beberapa posisi sekaligus. Sebut saja, posisi full back, libero, gelandang bertahan, gelandang serang, winger, atau forward, pernah saya tempati.

Dalam sebuah testimonial yang dialamatkan kepada profil friendster saya, seorang teman berkata terus terang, sebenarnya saya bermain baik sebagai seorang pemain bertahan. Saya menyadari hal itu. Anda boleh tahu, posisi yang pertama kali saya kenali sejak bermain sepakbola adalah posisi pemain belakang! Seiring waktu, saya cenderung menghindari posisi ini. Bukan apa-apa, melainkan karena seorang pemain belakang punya tanggung jawab lumayan besar. Saya memilih menghindari hal itu.

Tanggung jawab. Itu rasionalisasi saya untuk tahun 2005. Saya toh selama ini tidak berani mempertanggung jawabkan bahkan untuk pilihan saya sendiri. Saya berharap kalau memang sudah waktunya dipercaya mengemban sebuah tanggung jawab tertentu, saya tidak akan lari. Karena memang kita tidak dapat lari dari apa yang sudah ditentukan sejak lahir, yaitu tanggung jawab itu sendiri. Jangan jauh-jauh dulu, mulai saja dulu dari tanggung jawab terhadap diri kita sendiri.

Saya ingin mengutip sebuah kalimat sederhana namun mengena dalam film Spiderman 2. Kurang lebih kutipannya begini. Secara sepintas, Paman Ben berkata kepada Peter Parker, “With great power comes great responsibility”. Peter Parker alias Spiderman lantas sadar, tanggung jawabnya selain sebagai seorang Peter Parker adalah juga sebagai seorang Spiderman, sang hulubalang kebaikan dan kebenaran. Dia tidak bisa menghindari hal itu. Saya rasa kita semua pun seharusnya tidak mencoba menghindar dari apa yang terjadi pada diri kita. Mudah-mudahan.

Comments: Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]





<< Home

This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Subscribe to Posts [Atom]