Wednesday, October 19, 2005

 

Sepiring Makanan

Berapa harga termahal yang pernah ada untuk sepiring makanan? Selembar daftar menu di sebuah restoran di kawasan Thamrin menyebutkan, tujuh ratus ribu rupiah lebih sedikit. Hampir menyentuh angka UMR daerah Jakarta. Harga itu untuk sepiring steak daging iga sapi tipis impor dengan saus mushroom spesial. Akan sangat mengherankan kalau benar-benar ada orang yang bekerja keras untuk makan seenak itu.

Lebih mengherankan lagi kalau ada kelompok orang yang harus berebutan demi sepiring makanan. Menunya sederhana, paket sembako seharga lima puluh ribuan yang dibagikan gratis oleh sebuah instansi pemerintah. Untuk mendapatkan makan yang enak, bahan baku itu harus dimasak terlebih dahulu. Untuk mendapatkan paket tersebut, para penerima harus bergabung dengan teman-temannya dan membentuk satu barisan yang panjang lagi padat.

Kalaulah orang Indonesia benar-benar diajarkan tata tertib dan disiplin, barisan yang panjang itu akan diberi nama antrian. Namun, apa daya. Atas nama zaman yang sedang susah, tidak ada lagi nilai-nilai keteraturan. Semua menyisih, karena urusan perut nomor satu sekarang ini. Barisan panjang itu diberi nama kerumunan massa. Kerumunan yang mulanya saling dorong-mendorong, desak-mendesak, dan sikut-menyikut. Sudah begitu, kepanikan kecil muncul. Anak-anak kecil menangis meraung-raung. Mereka tidak pernah mengerti, maksudnya ke sini menemani sang ibu malah dihajar dempetan tubuh orang dewasa. Mereka mendapatkan modal belajar untuk masa depan, bahwa untuk dapat makan pun kita harus mendesak-desak orang lain.

Kaum manula yang berharap menampung berkah tidak ketinggalan dalam kerumunan. Semua demi mendapatkan kenyataan yang sama. Tidak ada toleransi atas nama usia dan rasa hormat. Satu dua generasi menghilang sebentar, karena urusan perut mau lewat dulu. Tulang rapuh mereka dihantam badan-badan teguh orang yang lebih muda usianya. Keluar tak mau, pingsan tak bisa. Mereka mendapatkan modal belajar untuk masa depan, bahwa untuk dapat menyambung hidup esok hari kita butuh makan. Bahwa untuk dapat makan, kita pun harus mempertaruhkan usia yang sebentar lagi dimakan ajal. Bagaimanapun setiap manusia pasti akan mati.

Di restoran yang tadi disebutkan, pelayan mengantarkan menu yang tadi dipesan pengunjung. Asap tipis masih mengepul merubungi hotplate yang dibawanya. “Pesan apa lagi, Pak, Bu?”, tanya si pelayan. Sopan. Seperti biasa pengunjung mana pun akan sigap bila ditanya begini. “Minta lada hitam dan tambah mashed potato-nya dong”, jawab si Bapak.

Pelayan tersenyum. Pesanan tambahan adalah kredit tersendiri baginya. “Baik. Ditunggu lima menit, Pak”. Lima menit lagi korban pertama dari kerumunan menunggu waktu dijemput nasib.

*

Jangan terlambat makan hari ini, Adinda. Nanti sakit maag-mu kambuh.

Comments:
Lebih enakan makan ayam cola di simpang dago dengan harga 7000 plus nasi dan es teh manis...
 
Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]





<< Home

This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Subscribe to Posts [Atom]