Wednesday, August 31, 2005

 

Tiket Sekali Jalan

Membuat keputusan dalam hidup itu ibarat membeli tiket untuk sekali jalan. Kita memang sudah tahu tujuan kita, apa yang akan kita lakukan di sana, dan apa harapan kita di tempat tujuan. Tapi tidak pernah ada yang tahu apa yang akan terjadi. Tujuan itu sendiri adalah sebuah ketidak pastian. Sialnya, tiket sekali jalan adalah tiket sekali jalan. Sekali dipakai ia hangus seketika. Tiket yang sama tidak bisa digunakan dua kali. Apalagi, kita belum tentu mendapatkan tiket dengan tujuan kembali ke tempat semula di kesempatan berikutnya. Semua pilihan setelah pilihan sebelumnya akan menjadi serbaterbatas.

Dalam The Terminal, Viktor Navorski tidak pernah kembali pulang. Tiket yang digunakannya hanya mengantarkannya pada sebuah negeri asing yang penuh ketidak pastian baginya. Begitu sadar dirinya tidak bisa ke mana-mana akibat paspornya tidak berlaku lagi, Viktor Navorski memilih untuk menunggu. Menunggu dan menunggu saja. Berapa banyak orang yang menghabiskan waktu dalam hidupnya hanya untuk menunggu sesuatu yang tidak pasti? Viktor Navorski memilih menunggu dengan menyimpan harapan. Hanya harapan yang bisa menghangatkan kita pada kenyataan. Kita selalu memilih untuk berharap dalam kondisi apapun, walaupun kita tahu kenyataan bisa saja berkhianat.

Lalu, sampai kapan orang harus menunggu? Segala sesuatu tentu harus ada batasnya. Seorang teman pernah memberi nasehat, “Semua akan masih terus berjalan, sampai kau sendiri yang berhenti”. Berharap boleh jalan terus, tapi kita perlu tahu kapan harus berhenti berharap hal yang sama dan memikirkan jalan lain. Sebuah hal bisa terus kita kejar sampai kita terjebak menjadi obsesif sekalipun, peduli apa hasilnya. Tapi ketika kita tahu kita sudah harus berhenti di satu titik, logika harus maju paling depan. Kalau sudah begitu, saatnya sudah tiba untuk membuat keputusan lagi.

Kembali lagi soal tiket sekali jalan yang rupanya sudah terlanjur saya genggam di tangan. Saya tentu tidak bisa menggunakan tiket ini untuk kembali mundur. Pantang langkah bersurut ke belakang. Tiket yang satu terpakai sudah, dan satu tiket lagi sudah ada di depan hidung saya. Apakah sudah saatnya saya menggunakan tiket yang berikutnya, itulah pertanyaannya. Padahal tiket selanjutnya ini sudah menunggu sekian lama untuk digunakan. Ia merayu-rayu, “Gunakan saja diriku, ambil tempat dalam perjalanan, dan nikmati saja turbulensinya”.

Sebagai penutup, ada kutipan dari si bocah Santiago dalam Sang Alkemis yang berkata, “Tidak ada yang lebih diinginkan seorang laki-laki selain keinginan untuk kembali pulang setelah pergi jauh”. Dengan begitu kita bisa tetap berharap mudah-mudahan nanti mendapat pilihan tiket dengan tujuan tempat semula. Tiket untuk pulang. Walaupun tentu saja tiket itu, sekali lagi, hanya sekali jalan. Orang boleh ingin kembali pulang, namun kali ini rasa-rasanya saya lebih memilih terus pergi. Kelak kalau ada, saya ambil jalan memutar. Semoga…

Comments: Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]





<< Home

This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Subscribe to Posts [Atom]