Friday, August 05, 2005

 

Malam yang Melelahkan

Bulan terang tiga perempat. Malam menjelang puncak. Aku berlari mengusung peluh. Hampir dua puluh lima tahun aku terus berlari dan berlari. Tiada jua berhenti. Lelah sudah. Lantas aku bersandar pada sebatang pohon apel. Jatuh terduduk kemudian. Lututku gemetar menopang dada berdebar tak beraturan. Berhenti sebentar tidak apa, barang mengambil satu dua nafas. Pohon tua ini mengundang kagum. Ia berdiri teguh kukuh di pinggir tebing menghadap ngarai curam lagi luas. Kulihat ke bawah sana, serigala-serigala kehidupan masih memburuku tanpa rasa lelah. Dapat kudengar nafas mereka mendesah kasar dan ganas. Mencecap bau tubuh manusia muda. Air liur mereka bertetesan tertinggal menjadi jejak. Sinar bulan memantulkan kerlap-kerlip cahaya keperakan di sekujur tubuh mereka. Dari kejauhan, tampak seperti malaikat maut bersurai perak. Aku berpikir, inilah akhir ceritaku. Tapi, entah bagaimana tanganku meraih sesuatu di sela-sela akar pohon. Sebutir apel! Buah merah ranum perlambang cinta si pohon tua. Sungguh tidak masuk akal. Tanpa pikir panjang, kulahap buah pendosa itu. Manis atau pahit sudah sama saja. Ternyata aku benar. Apel ini beracun. Hatiku bersorak, aku tidak jadi mati dimangsa serigala! Paling tidak ada kemenangan ganjil di ujung hidupku. Dan aku dapat mati tersenyum...

Comments: Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]





<< Home

This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Subscribe to Posts [Atom]