Friday, June 17, 2005

 

Bapak Tua dan Harapan

Pukul 4.39 pagi. Subuh yang rintik-rintik, basah dengan embun berkat persimbahan sang malam. Aku sudah terbangun sedari tadi. Tidak bisa tidur, tepatnya. Pikiranku dipenuhi dengan pelbagai pertanyaan tentang harapan.
“Mengapa harapan diciptakan Tuhan?”
“Mengapa harus hidup dengan harapan?”
“Mengapa harapan selalu tak sesuai dengan kenyataan?”
“Mengapa …”
Dan seribu mengapa lainnya…

Mendadak Mikail, teman imajinerku, sudah duduk di samping tempat tidurku.
“Bangun!”, katanya.
“akan kutunjukkan jawabannya.”
Tidak perlu dijelaskan lagi rupanya. Aku pun bergegas berpakaian.

Pukul 5.12 pagi. Di pinggir jalan, kami sedang menunggu bus paling pagi. Udara masih segar dan embun belum lagi menguap.
“Lihat ke sebelah sana”, tunjuk Mikail.
Ke arah yang ditunjuk Mikail, beberapa meter saja dari tempat kami, berdiri setengah ringkih seorang pria baya. Bajunya sederhana dan rapi. Wajahnya pun bersih dan klimis. Bapak Tua itu memanggul tas sandang warna cokelat lusuh berukuran sedang. Dari dalam tas itu tersembul seikat mawar merah cerah. Warnanya benar-benar menyegarkan suasana pagi.

Suara derum bus menyentakkan lamunanku. Bus patas jurusan Tanah Abang. Bapak Tua bergegas naik ke dalam bus.
“Ayo, kita ikut naik”, sahut Mikail.

Di dalam bus, aku kembali bertanya-tanya. Aku masih tidak mengerti maksud Mikail. Aku bertanya mengenai harapan, tapi apa hubungannya dengan Bapak Tua ini?
“Sabarlah”, senyum Mikail penuh misteri.

Pukul 5.57 pagi. Aku, Mikail, dan Bapak Tua sudah turun dari bus. Kami di pinggir jalan sekarang, di pintu masuk tanah pekuburan Karet.
“Apa-apaan ini?”, pikiranku mulai kacau.
Bapak Tua itu diam tak berapa lama, lantas masuk ke dalam.
Sekonyong-konyong, Mikail pun mendorong punggungku setengah memaksa.

Lama dan jauh kami buntuti jalan Bapak Tua. Tiba di satu tempat di dekat pohon kamboja yang setengah gersang, Bapak Tua itu berhenti. Di bawah pohon itu Bapak Tua berlutut dan mengusap-usap nisan kuburan dari marmer yang tampak murahan. Pelan-pelan dengan ketekunan yang khidmat, Bapak Tua membersihkan nisan itu dari depan ke belakang, dari tiap samping-sampingnya, dan dari semua sudutnya dengan kain lap yang dibawanya dari rumah. Cuaca yang mulai terik ikut-ikutan menjadi syahdu.

Sebentar aku terlena dalam simponi itu. Mendadak Bapak Tua menoleh ke arahku, secara spontan ia tersenyum ramah. Aku terkesiap karena tidak pernah siap akan reaksi itu.
“Ziarah juga, nak?”, tegurnya ramah.
Aku mengangguk saja.
“Eeeeee… ini istri bapak?”, tanyaku. Ragu-ragu.
Butuh sebentar, baru dia menjawab sambil menghela nafas. “Bukan”,
“istriku sudah lama lari dengan pria lain”.
Aku terdiam. Masih belum mengerti semuanya.
Bapak Tua itu tidak melihat kebingunganku. Penuh perhatian ia letakkan seikat mawar merah yang sedari tadi dibawanya. Ditaruhnya tepat di bagian kepala dari kuburan itu.

“Ini anakku satu-satunya”, akhirnya Bapak Tua menjawab.
“dia meninggal saat dilahirkan.”, sahut Bapak Tua dengan nada tertahan.
Kembali aku terdiam. Aku tak tahu harus mengucapkan apa. Pikiranku berputar-putar dan pelan-pelan berpusat pada sesuatu. Sesuatu yang kurasa adalah jawaban dari pertanyaanku tadi pagi.

Di saat yang tepat, Mikail berbisik penuh kemenangan,
“Kau sudah tahu maksudku bukan?”
Aku mengangguk. Hanyut dalam diam. Pagi beranjak hiruk-pikuk tapi aku tenggelam dalam kesunyian.

Comments: Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]





<< Home

This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Subscribe to Posts [Atom]