Sunday, May 22, 2005

 

Pangkalnya adalah SMS

Inilah keajaiban teknologi yang memudahkan manusia untuk berkomunikasi. Data digital yang dikirimkan melalui jaringan seluler diubah menjadi huruf demi kata demi kalimat demi bahasa yang mengandung makna. Selama bahasa yang digunakan dapat dipahami, SMS adalah piranti komunikasi mutakhir yang bisa diandalkan.

Tidak sedikit pengguna ponsel yang menggunakan sebagian banyak pulsanya hanya untuk ber-SMS bukan untuk bertelepon. Saya pun demikian. Sekonyong-konyong, SMS ini sudah menjadi ujung tombak untuk mengetahui berita dari teman dan handai taulan dalam waktu sangat instan. Kebolehannya ini membuat saya, dan mungkin banyak orang, menumpukan harapan pada layanan pesan singkat ini.

Tapi... Beberapa hari ini mungkin baru saya sadari. Di tengah kesibukan bekerja, SMS bisa menjadi eskapisme sejenak. Di saat senggang, SMS dapat menjadi sarana untuk bercengkerama. Namun apa daya, orang lain tak dapat diukur skala waktunya menurut standar kita. Beberapa hari terakhir, saya mengirimkan SMS ke sejumlah teman, terutama saat senggang di rumah. Tetapi yang itu tadi, skala waktu orang lain tak boleh diukur menuruti kepatutan kita. Jadilah SMS yang menurut laporan sudah terkirim itu mengendap di layar SMS di seberang sana. Sementara saya di seberang sini menunggu balasannya sampai entah kapan. Benar kata orang, menunggu itu pekerjaan paling membosankan. Padahal mungkin SMS yang saya kirimkan hanya sepenggal remeh temeh biasa. Meski demikian, sebagaimana halnya proses komunikasi yang membutuhkan tanggapan atau umpan balik, saya kira berharap sebuah balasan dari SMS yang kita kirimkan itu sah-sah saja.

Lho? Kenapa harus repot-repot, bung Hawe? Bukankah ada teknologi lain bernama telepon?

Memang benar ada telepon. Namun justru saya menghindari telepon dengan banyak alasan. Pertama, hal yang dibicarakan mungkin hal-hal kecil yang kalau dibicarakan di telepon bisa melebar ke mana-mana. Ujung-ujungnya tagihan telepon niscaya membengkak. Lalu, kedua, saya menganggap dengan begitu telpon hanya boleh dipergunakan untuk hal-hal tertentu saja. Antara lain hal-hal yang memang membutuhkan tanggapan langsung yang terlalu panjang kalau dibicarakan via SMS.

Lalu, di sinilah saya. Duduk menganggur sambil menunggu balasan SMS. Siapa tahu akhirnya SMS saya berbalas. Saya toh percaya SMS ini menghasilkan efek yang tertunda. Artinya, sebenarnya pesan kita dibaca dan sang penerima membaca isi pesan kita. Hanya Tuhan (dan si penerima sendiri, tentunya!) yang mengetahui isi hati penerima saat itu, apakah segera dibalas atau menunggu sampai waktu yang tak ditentukan atau tak berminat membalas sama sekali.

Untuk menjadi moral kisah ini adalah sebisa mungkin saya pun dapat membalas setiap SMS yang masuk ke ponsel saya. Kecuali, pulsa sedang sekarat tentunya. Harap maklum sajah!

Comments: Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]





<< Home

This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Subscribe to Posts [Atom]