Thursday, May 05, 2005

 

Era Sepakbola Efektif

Tulisan ini dibuat sesaat saja setelah semifinal kedua PSV vs AC Milan di Eindhoven. Hasilnya lagi-lagi membuktikan sepakbola menyerang adalah anak tiri dari sepakbola. Kemenangan buat sepakbola efektif, kalau meminjam pendapat bung Asep.

Sepakbola modern adalah sepakbola efektif. Orang seperti Roman Abramovich menggeber 200 juta pundsterling lebih bukan untuk menikmati pertandingan penuh tensi, tapi melihat kemenangan demi kemenangan apapun caranya. Berhasil. Premiership diraih dan salah satu favorit juara Liga Champion Barcelona tersungkur di kaki mereka. Tapi, di semifinal kemarin rupanya Rafael Benitez memainkan sepakbola yang lebih efektif daripada Jose Mourinho. Ketinggalan lewat gol cepat Luis Garcia di menit ke-4, semuanya jadi berantakan buat the Blues Chelsea. Chelsea memang tidak diajarkan bagaimana bermain sepakbola untuk membalikkan ketertinggalan. Mereka cuma mempelajari video rekaman lawan, set piece bola mati, bahkan terkesan menunggu lawan, ikhtisarnya: membosankan. Mereka tidak tahu bagaimana memainkan sepakbola menyerang. Alhasil, rekor selalu kalah di kandang lawan sejak perempat final berhasil mereka pertahankan.

Lihatlah seorang Guus Hiddink. Media Italia melukiskan figur Hiddink sebagai seorang maestro di calcio. Anggaran belanja klub yang cuma seperlima Il Diavolo Rossi menambah simpati yang mengalir buat sang meneer. Hiddink selalu menunjukkan bermain sepakbola artinya bermain tanpa perlu takut kalah. Sepakbola senantiasa harus menyerang. Tidak peduli lawan kalian Argentina, Brazil, Spanyol, Italia, atau Jerman sekalipun. Apalagi kalau 'hanya' AC Milan? Lihatlah bagaimana anak didik Carlo Ancelotti itu cuma bisa bergeming menonton pemain-pemain PSV memainkan possession football yang dinamis. Ini tidak cuma dimainkan di Stadion Philips, bahkan juga di San Siro!

Pada akhirnya, sepakbola menyerang, sepakbola indah sebut Sindhunata, selalu mati bersayap. Seperti burung phoenix yang hidup dari abu mereka sendiri, mereka lantas mati oleh nyala api sendiri. Permainan sepakbola menyerang selalu berputar di siklus ini. Hidup, dimainkan, dinikmati, dipuja, tapi tragisnya mati berkat diri sendiri. Contohnya lihat saja bagaimana sepakbola menyerang selalu saja dimanfaatkan permainan menunggu yang oleh sepakbola efektif tidak ambil peduli siapa aktor lapangan mereka. Pemain-pemain sekaliber Kaka atau Andriy Shevchenko hanya dapat diperbolehkan menyentuh bola apabila Mark van Bommel dkk. sedang naik menyerang. Lihat dan saksikan betapa riang gembiranya duo Ancelotti dan Mauro Tassotti merayakan gol Massimo Ambrosini. Seakan mereka tidak pernah menjadi bagian dari sepakbola pendek merapat ala Arrigo Sacchi yang legendaris itu.

Sebagai penutup, ada kutipan imajiner yang terlintas begitu ingin menyusun tulisan ini. Seorang Dino Zoff yang tersohor itu sampai pernah berbisik di dalam mimpi penulis, 'Ini memang zaman sepakbola modern bung'. Baiklah. Selamat datang sepakbola efektif!

Comments: Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]





<< Home

This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Subscribe to Posts [Atom]