Friday, September 21, 2007

 

Komedi yang Bertanggung Jawab

Pasca-kesuksesan American Pie, wacana film remaja Hollywood diwarnai dengan pesta, pesta, dan pesta. Agaknya bunyi pesan utamanya seperti ini, eksploitasi semua kegilaanmu selagi masih muda! Bagi penonton di luar segmen itu, sepertinya sulit mencari film yang enak dicerna (sesuai usia, ehem!). Mengeluhlah sampai kamu menemukan judul Knocked Up di dalam rak rental langgananmu.

Judd Apatow. Sutradara film yang merintis karir sebagai penulis naskah dan stand-up commedian ini adalah otak di balik kesuksesan Knocked Up yang mampu mengeruk lebih dari US$140 juta hingga akhir musim panas lalu! Selama beberapa minggu, film ini menyempil di antara film-film berbujet besar dalam daftar box office AS. Sayangnya, di Indonesia nama mantan rekan sekamar Adam Sandler itu sama tak terdengarnya dengan catatan portofolio-nya. Apatow antara lain pernah membesut 40 Years-Old Virgin dan Talladega Nights. Judul pertama menjadi sleeper hit saat dirilis pada 2005 lalu dengan raihan di atas US$ 100 juta. Awal musim gugur ini, dia kembali merilis karya terbarunya, Superbad. Yep, judul-judul tersebut tidak pernah tayang di layar bioskop tanah air (entahlah kalau mereka berubah pikiran melihat kesuksesan Superbad). Meski begitu, berbeda dari karya-karya sebelumnya yang sekadar menjual lelucon belaka, Knocked Up adalah karyanya yang tampil lebih berbobot dan sekaligus menjadikannya sangat istimewa.

Tema film sederhana saja. Meski masih kental dibalut dialog kocak (dan vulgar) dan bergenre komedi, premisnya berkebalikan dengan film-film remaja: tentang "tanggung jawab" (namanya juga film dewasa kan..., ehem!). Ben bertemu Alison di sebuah kelab malam, pertemuan itu berujung hubungan intim keduanya. Tiga bulan setelah itu, sadar dirinya berbadan dua, Alison menemui Ben dan memberi tahu keadaannya. Bukan perkara mudah, karena Ben adalah pemuda pengangguran yang tinggal bersama empat orang temannya dan menghabiskan waktu dengan menghitung durasi adegan bugil aktris terkenal untuk di-upload dalam laman yang mereka kelola. Alison sendiri adalah perempuan mapan yang baru saja mendapat promosi menjadi presenter di tempatnya bekerja, stasiun TV "E!". Lewat berbagai pertimbangan, mereka memutuskan untuk mempertahankan jabang bayi - alih-alih aborsi - dan segera setelah itu, dengan segenap perbedaan yang mereka miliki dan tetek-bengek seputar kehamilan, mereka sadar butuh sekadar perasaan cinta untuk menjalani sebuah hubungan.

Selain dialog lincah dan plot yang lancar mengalir, kekuatan film terletak pada chemistry kedua pemain utamanya, Seth Rogan dan Katherine Heigl. Penampilan keduanya ditunjang Leslie Mann, berperan menjadi Debbie, kakak Allison, yang sudah beranak dua dan sedang tidak harmonis dengan suaminya Pete, diperankan Paul Rudd. Pesan utama Apatow dalam Knocked Up adalah bukan cinta yang membuat hidup seolah berjalan di luar jalur, melainkan tanggung jawab.

Generalisasi yang mungkin dianggap menjadi kekurangan film ini tidak mengganggu kesan istimewa Knocked Up. Sebagai sebuah film yang tak diperhitungkan, semestinya Knocked Up adalah salah satu yang terbaik dari tahun lalu! Bagi Apatow sendiri, kesuksesan Knocked Up - dan Superbad serta portofolio panjangnya di Hollywood - membuatnya makin mantap mengorbit di puncak popularitas. [*]

*Review film Knocked Up (2007)
**Image courtesy of http://www.movieweb.com/

Tuesday, September 18, 2007

 

Ingatkah Kamu?

Phil Collins dititipkan Tuhan suara emas yang sangat khas. Suara-suaranya ajaib dan nyaman didengar saat senang ataupun sedih. Dia dapat menghibur hati yang sedih dan menyejukkan hati yang gembira. Salah satu lagu, Do You Remember, baru saya kenal dua tahun belakangan. Perkenalan saya dengan lagu ini adalah di atas omprengan – dari dan ke Bekasi.

Liriknya seperti ini:

We never talked about it
But I hear the blame was mine
I'd call you up to say I'm sorry
But I wouldn't want to waste your time

'Cos I love you, but I can't take any more
There's a look I can't describe in your eyes
If we could try like we tried before
Would you kept on telling me those lies?

Tell me do you remember...?

There seemed no way to make up
'Cos it seemed your mind was set
And the way you looked it told me
It's a look I know I'll never forget

You could've come over to my side
You could've let me know
You could've tried to see the distance between us
But it seemed too far for you to go

Tell me do you remember...?

Through all of my life
In spite of all the pain
You know people are funny sometimes'cos they just can't wait
To get hurt again

Tell me do you remember...?

There are things we won't recall
Feelings we'll never find
It's taken so long to see it
Cos we never seemed to have the time

There was always something more important to do
More important to say
But "I love you" wasn't one of those things
And now it's too late

Tell me do you remember...?

Liriknya kurang lebih bercerita tentang dua orang mantan kekasih yang sudah lama hidup terpisah. Di satu pihak, perasaan itu tetap ada dan terus dipelihara. Namun, dia tidak lagi dapat menjangkau mantan kekasihnya. Entah apa yang salah, entah kenapa kesalahan iu terus berulang-ulang, tapi dia bertanya, dan menyesalkan, kenapa hal itu tidak pernah mereka bicarakan… Kini, semua sudah berlalu. Apa yang tersisa baginya hanyalah semua kenangan indah. Tidak lebih. Apakah mantan kekasihnya juga mengingat seindah yang diingatnya?

Di telinga saya, lagu ini selalu bekisah tentang harapan yang tak berujung. Bahwa kehidupan adalah sebuah siklus, sekali waktu kamu bertemu seseorang dan kemudian harus berpisah dengannya, tapi setelah itu kamu bertemu dengan orang lain…dan mungkin untuk berpisah lagi. Kondisinya akan berubah, begitu juga pembelajaranmu, tapi harapan selalu sama. Apakah dia akan selalu berada di situ? Akankah dia selalu ingat pada kita? Tak perlu dijawab, kecuali kelak kamu ingin membicarakannya sekali lagi dengan orang itu…

Friday, September 14, 2007

 

Ramadhan, Sebuah Festival

Dia datang lagi! Marhaban ya Ramadhan...

Selama sebulan penuh ke depan masyarakat muslim Indonesia akan menjalani ibadah puasa. Seperti tidak ada yang berubah. Dari tahun ke tahun, Ramadhan tetap saja Ramadhan. Tadi pagi saya membaca sebuah artikel di Kompas tentang pasar kaget di Benhil, Jakarta. Saya yakin banyak pasar sejenis di berbagai daerah lain di Indonesia yang menggelar dagangannya hanya saat puasa tiba. Di harian yang sama, terdapat pula berita bahwa beberapa jalur tiket kereta mudik Lebaran nanti sudah habis dipesan. Bayangkan, itu masih sebulan lagi! Lebih mengagumkan lagi, kalau ternyata dari tahun ke tahun isu seputar Lebaran realtif tak ada yang berubah: harga naik, arus mudik, tayangan televisi yang seragam, Liga Indonesia libur, musim belanja dan diskon, karyawan dapat THR, sampai dijadikannya puasa sebagai alasan kontra-produktivitas...

Terlepas dari hal tersebut, bagi saya pribadi Ramadhan adalah jembatan spiritual menuju keadaan yang lebih baik. Sekarang, sudahkah saya lebih baik dari Ramadhan tahun kemarin?

Wednesday, September 05, 2007

 

Plaza Semanggi

Seyogyanya pihak pengelola Plaza Semanggi akan sangat senang dengan tulisan saya ini yang secara langsung-tidak langsung menjual citra pusat perbelanjaan yang terletak di salah satu perempatan tersibuk di ibukota itu.

Sudah lama saya ingin menulis tentang tempat ini. Tidak bisa tidak, saya selalu mampir ke sini paling sedikit tiga kali dalam seminggu. Tadi sore, saya mampir di sana. Sebelum hari ini, Senin petang kemarin saya juga bertemu seorang teman di sana. Sebelum Senin, Jumat saya mengunjunginya pula. Wah, kalau masuk ke sana ada kartu anggotanya, pasti milik saya sudah gonta-ganti sekian kali...

Boleh dibilang kunjungan ini terlalu sering. Tapi, tidak bisa dihindari lagi. Kira-kira dua tahun lalu, ketika plaza baru dibuka, saya tak terlalu antusias. Ketika masih berkantor di bilangan Karet, Sudirman - plaza masih dibangun - teman kantor meramalkan setelah jadi plaza itu akan makin menambah kemacetan di bilangan Semanggi. Saya pun enggan mendatanginya. Sekira akhir 2005, ada kejutan berarti. Gramedia dibuka di sana! Saya sudah berkantor di Kuningan. Saya bilang, wah, niscaya makin sering saja saya ke sana. Benar saja. Paling tidak sekali seminggu, saya mengunjungi plaza. Kala Jumat petang atau usai liputan di jam-jam tanggung, saya menyempatkan diri ke sana. Kadang sendirian saja, kadang untuk bertemu teman-teman lama.

Seingat saya, dulu tidak terlalu sering ke sana. Beberapa bulan terakhir, pola itu berubah. Saya makin sering ke sana. Meski tidak ada perubahan di rak-rak buku Gramedia atau film baru di bioskop 21, kalau sedang tidak ingin pulang cepat, saya hinggap di plaza. Beberapa kali untuk bertemu teman, karena memang posisinya pas di titik pertemuan ke beberapa wilayah ibukota. Pihak pengelola menjual diri dengan slogan, The Best Meeting Point. Tidak salah. Namun, lebih sering saya ke sana sendirian saja. Berkali-kali dengan agak tebal muka, saya datang ke loket bioskop untuk memesan satu tiket. Hanya satu. Selalu satu. Saya sampai membayangkan, suatu ketika, saking seringnya saya nonton sendirian, penjaga loketnya menegur, "Kapan pesan dua tiket, mas?" Bisa dipastikan, kalau diserang pertanyaan itu, saya akan mengurungkan niat menonton. Sebagus apapun filmnya...

Saya juga sudah punya pola kunjungan. Kalau saya datang dari arah selatan Jakarta dan menumpang angkutan arah ke Sudirman-Thamrin atau naik busway, saya akan turun di jembatan penyeberangan Benhil dan masuk melalui pintu dari depan kampus Universitas Atmajaya. Bisa saja saya mampir di butik atm persis di depan kafe Oh La La bila kantong sedang kosong. Saya masuk melalui pintu di sebelah Cavana dan belok ke kanan menuju Gramedia. Kalau tidak diburu jamain film di 21, saya menyempatkan diri mampir di Gramedia. Setelah itu naik ke atas melalui eskalator depan Gramedia dan muncul di area fashion perempuan Centro. Saya ambil arah ke kiri, naik eskalator dan muncul di area fashion pria - masih di Centro. Biasanya saya cuma window shopping di sini. Saya jarang menyukai warna atau jenis pakaian dengan cepat, sehingga saya tak terlalu betah di situ. Saya keluar dan mengambil jalur yang tidak terlalu ramai yaitu dengan naik eskalator persis di depan Centro sampai ke lantai foodcourt. Bisa juga sekalian ke atas untuk membeli tiket bioskop dan atau sholat di mushola yang ada di pelataran parkir plaza. Aktivitas saya paling lama adalah di foodcourt. Kalau bertemu dengan teman, kami akan membetah-betahkan diri sampai diusir dengan halus oleh para pelayan di sana. Nah, pola ini sama saja kalau saya datang dari arah Kuningan-Gatot Subroto. Saya turun di jembatan Komdak dan masuk melalui pintu Gedung Veteran. Setelah melewati pos pemeriksaan barang bawaan, saya belok ke kiri masuk ke area fashion perempuan Centro yang tadi. Urutan selanjutnya sama saja dengan yang saya sebutkan tadi, tergantung kebutuhan apakah saya ke bawah dulu (biasanya ke ATM) atau langsung ke atas.

Saya baru akan pulang mendekati pukul sepuluh malam. Sampai bus terakhir dari Blok M datang. Lalu lintas ibukota sangat menyenangkan pada waktu seperti itu, tapi jangan harap terjadi pada Jumat malam. Jalan tol pun biasanya masih dipadati kendaraan. Saya akan sampai di rumah tidak lebih dari sejam kemudian, bisa 30 menit saja kalau benar-benar lancar - seperti pada Minggu malam, misalnya. Tiba di rumah, badan sudah penat, dan sambil menunggu bak kamar mandi dipenuhi air, saya berpikiran, 'Saya harus temukan tempat selain Plaza Semanggi!' Tak pernah berhasil. Dua-tiga hari kemudian, kamu pasti menemui saya di Plaza Semanggi lagi...

This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Subscribe to Posts [Atom]