Wednesday, April 25, 2007

 

Sebuah Perjalanan, Makassar, April 2007

Jakarta-Makassar, 13 April, Turbulens vs Sexy Dancer
Delay! Dua jam keterlambatan penerbangan makin menambah kesumpekan Jumat ini! Untung saya sudah siap sedia dengan Premiere di tangan yang saya beli di depot majalah sebelum masuk boarding gate tadi.

Ini kali kedua kunjungan ke Makassar dalam awal tahun ini. Rencananya tujuh hari di sana, tapi bukan untuk bersenang-senang. Perjalanan ini atas nama dinas. Belum apa-apa, kepala sudah pusing beberapa menit setelah pesawat berhasil mengudara. Turbulensi membuat kepala makin pusing. Badan terguncang-guncang. Saya yang duduk di kursi paling belakang sangat menderita menahannya. Ditambah lagi, dua perjalanan akan membuat siapa saja bosan. Sangat bosan.

Demi menghibur hati, saya membebaskan angan. Apa jadinya untuk mengusir kejenuhan konsumen, ada pihak maskapai yang menyajikan hiburan sexy dancer bagi para penumpangnya? Bayangkan bila nona-nona pramugari itu mendadak bergoyang menuruti irama musik menggoda sambil menggerak-gerakkan badannya dengan sensual. Atau ada yang nekad menggelar striptease di pesawat? Hmmm...

Stadion Mattoangin, 14 April, Survival of the Fittest
Tidak percuma panpel menunjuknya sebagai penjaga pintu masuk tribun utama Stadion Mattoangin. Dia tidak mudah percaya begitu saja pada penonton yang masuk. Tiket diperhatikan satu demi satu dengan teliti. Dia juga tidak yakin begitu saya mengaku wartawan dari Jakarta. Bapak berusia awal empat puluhan ini tidak bertampang sangar, ramah tapi tegas.

Dia menantang saya, "Kalau benar dari Jakarta, lihat kartu identitasnya!" Tidak masalah. Saya perlihatkan KTP saya. Asli Bekasi. Puas memelototi kartu yang mulai lecek itu, dia mengembalikannya tanpa berkata-kata. Saya melenggang masuk penuh kemenangan. Sepintas masih terdengar sahutan si penjaga, mungkin kepada temannya, "Wartawan dari Jakarta..." Aha, pembenaran belaka.

Hari pertama di Makassar. Belum ada janji yang saya buat dan pastikan. Usai bangun tidur, saya mencoba menghabiskan waktu selama mungkin pada waktu sarapan di lobi hotel. Kembali ke kamar, mandi, dan saya membaca novel Remy Sylado yang sengaja saya bawa dari rumah. Saatnya makan siang, saya memilih makan di restoran waralaba ayam goreng terkenal di mal tak jauh dari hotel. Santapan tandas, sempat-sempatnya saya menelepon seorang teman nun di Jakarta sana untuk mengobrol panjang tanpa terasa.

Teman... Inilah yang benar-benar tidak saya punyai jauh di sini. Baru terasa bagimu kehadiran seseorang jika kamu berada di tempat yang benar-benar baru dan asing, bukan? Kalau kata Charles Darwin, survival of the fittest. Kalau saya, pergi ke swalayan, beli makanan ringan dan majalah. Demi nanti malam, saya akan menyelamatkan diri berteman dengan televisi dan cemilan.

Kamar 223 Hotel Coklat, 15 April, Komunikasi
Nah! Salah satu metode survival of the fittest yang dicetuskan Darwin bisa jadi adalah "komunikasi". Sederhana saja. Bahkan seorang teman kuliah dulu pernah berhipotesa, "99 persen masalah manusia adalah komunikasi, sisanya penyakit hati".

Bangun tidur saya sudah dihadapkan pada pertanyaan, "Apa yang akan kamu lakukan hari ini?" Jangan ditiru! Cara yang salah memulai hari. Salah satu pelajaran moralnya adalah jangan pernah menanyakan tujuan ketika baru memulai sesuatu, tapi lakukan saja dulu! Oke, setelah menjalani rutinitas pagi - sarapan, mandi, baca koran, nonton televisi - saya berkutat dengan ponsel untuk mencari-cari nomor kontak yang bisa dijadikan agenda hari ini. Di dalam benak, sudah ada rencana siapa saja yang bisa saya telusuri untuk memperoleh narasumber yang saya butuhkan.

Alternatif pertama saya ambil. Tanpa hasil. Setelah beberapa menit pesan tak berbalas, saya beralih ke alternatif kedua. Kebetulan tadi saya baca seorang manajer promosi apparel yang saya kenal sedang berada di Makassar dalam rangka mempromosikan bintang produknya yang juga pemain klub kota Angin Mamiri ini. Saya berhasil menghubunginya dan pemain tersebut. Kami berjanji bertemu di mes pemain dan saya penuhi tepat waktu. Di sana kami mengobrol lumayan lama dan santai. Tidak hanya satu, tapi sekaligus dua orang rekannya saya todong dengan pertanyaan-pertanyaan. Misi terselesaikan! Agenda harian terpenuhi dan komunikasi terbukti menyelamatkan satu hari dalam hidup saya.

Pemandangan sunset pantai Losari, 16 April, Surprise, surprise!
Hidup itu seperti pindah hotel, kamu sudah nyaman di kamar yang lama, tapi harus pindah. Padahal kamu tidak tahu seperti apa suasana di hotel baru. Itu yang saya lakukan pagi ini. Check out dan pindah!

Hotel yang baru tidak jauh. Lima menit saja jaraknya lebih ke barat. Lebih ke arah pantai, rupanya. Saya terkejut karena begitu masuk kamar yang disediakan, perhatian saya langsung terbetot pada jendela kamar ini. Pemandangan di luar jendela kaca selebar dinding kamar itu langsung berhadapan dengan pantai Losari! Batas cakrawala sangat jelas terlihat dari sini. Wow! Sontak rasa masygul dan was was pun hilang. Sekonyong-konyong muncul niat untuk memperpanjang kunjungan di sini. Tapi, tidak mungkin.

Usai mewawancarai narasumber, saya berjalan-jalan di sepanjang pantai Losari. Saya telusuri jalur pedestrian pantai sampai jalan Somba Opu - sentra penjualan oleh-oleh khas Makassar. Hari makin sore dan saya berniat menunggui terbenamnya matahari di tempat leyeh-leyeh pantai yang sudah direlokasi ini. Ada gerobak penjual pisang epe dan kebetulan saya belum pernah mencicipi makanan khas Makassar ini.

Saya pesan dua porsi, satu makan di tempat dan satu dibungkus. Masing-masing porsi terdiri dari tiga buah pisang yang digepengkan lalu diberi bumbu gula merah kental. Kali pertama mencicipinya, saya langsung terkesan dengan bumbunya. Dalam bayangan saya, seharusnya rasanya manis, tapi agak pahit dan saya seperti pernah mencicipinya tapi entah apa. Tak ambil pusing, saya habiskan porsi itu dengan mulus.

Tak pula diburu waktu, saya mengamati sekitar. Tunggu dulu, kenapa ada kulit buah ini digantung di gerobaknya? Saya curiga.
"Bang, ada rasa cokelat dan kejunya juga?"
"Iya," jawabnya seranya tersenyum lebar.
"Kalau yang itu," rujuk saya pada kulit buah yang digantung, "duriannya langsung dicampur ke dalam bumbunya?"
"Kalau sedang musim durian saja," jawabnya. Masih tersenyum. Tanpa rasa bersalah.
Dhueerrrr!!! Saya terjebak! Bahkan sepiring pisang epe pun mampu menyajikan sebuah kejutan tak terkira... Saya tidak suka durian.

Kamar 606 Hotel Banua, 17 April, Waktu adalah Kenyataan
Senja benar-benar berjodoh dengan Jingga.

Ketika sang Matahari siap ditelan dewa Baruna, Gemawan mengumpul jadi singgasana kapas buatnya. Persis di bawah awan yang terbesar, Matahari lamat-lamat tergelincir. Jingga bertebaran di sekujur langit. Wajah matahari berubah jingga. Pantulan cahaya di atas hamparan laut jingga. Bayangan awan jingga. Semua jingga. Detik demi detik, menit demi menit, pameran cahaya berubah cepat. Matahari makin tenggelam. Sampai bulatnya hilang sama sekali di balik samudera. Pelan-pelan Jingga pudar. Cyan mengaduk haru Senja yang ditinggal kekasihnya.

Waktu, rupanya sebuah kenyataan.

Padahal baru dua hari lalu saya berhasil menaklukkan si Penjaga Pintu. Malam ini orang yang sama berdiri menghadang langkah saya memasuki tribun utama. Tidakkah dia masih ingat dengan saya? Kali ini tanpa kompromi. Terpaksa telepon sakti beraksi, saya hubungi petugas humas klub dan dia menyusul saya ke pintu masuk. Lagi-lagi saya berhasil masuk dengan menunjukkan kartu identitas padanya. Sekali lagi demi memastikan adalah benar saya datang dari Jakarta.

Bahkan waktu bisa menghilangkan ingatan seseorang. Malam ini, ketika tak ada lagi warna yang bisa dipandangi dari balik jendela kamar, saya mencari-cari memori yang pernah saya lupakan. Saatnya kembali ke tempat ketenangan dan kesepian...

Benteng Rotterdam, 18 April, Mimpi
Pulang akan menjadi pengalaman esok hari.

Malam ini saya mendatangi gala dinner yang diadakan asosiasi sepakbola nasional untuk menyambut para peserta musyawarah nasional dari seluruh penjuru negeri. Makanan dan hiburan tradisional bertebaran. Sayang tidak semua peserta mau datang dan sebagian besar bahkan sudah meninggalkan acara sebelum usai. Kepada nyamuk pers, pak Ketua Umum berkomentar hal yang terus menerus sama sejak pernah kami jumpai dulu. "Indonesia ingin lolos ke Piala Dunia 2018!" tekadnya.

Ah, mimpi! Sungguh tepat upaya mewujudkan mimpi ini dimulai dari sebuah monumen perjuangan wakyat Sulawesi Selatan melawan penjajah kolonial beratus tahun silam. Bila saya ingin bermimpi, saya akan datang pada sebuah perjalanan. Saya ingin terbangun pada pagi hari di sebuah puncak pegunungan, untuk terus menempuh perjalanan berikutnya, menuju pinggir pantai dan menyaksikan tenggelamnya matahari di sana.

Hari ini, sebuah perjalanan telah berhenti. Saya akan pulang. Dan, bahkan pulang pun adalah sebuah perjalanan.

Cengkareng, 19 April, Pulang
Hentakan keras pesawat saat mendarat menyambut saya kembali ke Jakarta.

Kembali lagi ke suasana yang saya kenal. Jalanan yang saya kenal. Orang-orang yang saya kenal. Lingkungan yang saya kenal. Perjalanan selesai dan sebuah perjalanan baru dimulai. Ya, saya selalu mencintai sebuah perjalanan!

Tuesday, April 10, 2007

 

Berebut Rezeki Ibukota

Yap! Akhir minggu nan panjang dua tiga hari lalu saya habiskan di Bandung. Bukan sebuah "lagi-lagi", karena ini seperti sebuah keharusan karena seorang teman dekat menyelenggarakan syukuran sederhana atas usainya perjalanan mencari sang belahan jiwa. Tidak usah bermelankoli ria - bukan ini tujuan tulisan blos saya kali ini.

Apa yang ada dalam pikiranmu dengan kata "long weekend" dan "Bandung"? Pasti tak jauh dari bayangan padatnya jalan Dago atau Cihampelas dengan mobil-mobil berpelat "B" yang memenuhi pondok-pondok penjualan konveksi terjangkau di seantero kota kembang. Itu terjadi juga kemarin, meski tidak sepadat biasanya. Tapi ada pemandangan lama yang kembali menyentil pikiran saya. Mungkin sekarang lebih menohok, karena saya lihat tidak ada perbedaan mencolok yang terjadi bertahun-tahun saya mengunjungi Bandung.

Pemandangan yang saya maksud berada di tiap perempatan jalan protokol. Sekarang tak ubahnya seperti ibukota. Pengemis. Anak jalanan. Pengamen. Dan mereka yang bersenjatakan kemoceng untuk membersihkan kaca depan mobil tanpa diminta. Mereka semua berebut rezeki dari pengendara yang terpancing belas ibanya. Wajar - tidak semua orang beruntung mengadu nasib dalam hidup. Tapi, aneh kan kalau melihat berapa banyak pendapatan yang bisa dikeruk Pemkot Bandung sedangkan pada saat yang sama nasib mereka seperti terabaikan?

Berapa banyak yang bisa didapatkan pemerintah dari tiap kali weekend? Jalan tol. Pajak pendapatan daerah. Lapangan kerja. Pariwisata. Sebut saja semua. Tapi berapa banyak yang dikucurkan untuk memerhatikan kesejahteraan kaum pinggiran? Ada teori "hari raya", mereka bukan penduduk asli Bandung, melainkan mereka yang tinggal di sekitar ibukota Jawa Barat ini untuk datang setiap kali weekend tiba. Seperti hari raya, mereka sadar weekend menjadi kesempatan emas untuk menangguk rezeki sebesar-besarnya. Mungkin dengan makin berlimpahnya pendapatan, Pemkot ada niatan untuk membangun sistem kesejahteraan sosial sehingga "rezeki dari ibukota" bisa dibagi bersama. Sekarang, adakah niat itu?

Mentang-mentang Ebiet dari Bandung, jangan kamu bilang jawabannya ada pada rumput yang bergoyang...

This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Subscribe to Posts [Atom]