Monday, October 30, 2006

 

Dua Puluh Enam

Saya merasa bertambahnya usia seperti sebuah perangkap berbahaya. Di tengah ucapan dan do'a selamat serta sukses, masih ada pertanyaan yang sejak dulu belum terjawab. Tak bisa dideskripsikan dalam satu kalimat, tapi rasa-rasanya ini tentang arah. Tentang masa depan. Tentang persiapan. Tentang perubahan. Tentang harapan... Entahlah... Makin dipikirkan, makin terasa seperti belenggu.

"Selamat ulang tahun, manusia platonis!"

Sunday, October 29, 2006

 

Selamat Lebaran

Bunyi sebuah iklan komersil [yang sudah terdengar sangat awam]: "Lebaran kali ini paling berkesan bagiku..." Lebaran seharusnya meninggalkan kesan. Bagaimana tidak, Lebaran adalah imbalan bagi para juara setelah menempuh ujian panjang berpuasa sebulan penuh. Tapi, sayangnya sampai seminggu menjelang usai, saya belum menemukan makna Lebaran tahun ini secara individu.

Sudah saya bilang dalam posting terdahulu, puasa tahun ini membuat saya kewalahan. Itu karena satu dan lain hal di kantor. Sudahlah, sudah lewat. Sesungguhnya ini semua hanya tantangan bagi saya sendiri kalau segala sesuatunya belum pasti. Saya rasa dengan kondisi seperti saat ini, saya memilih untuk terus menikmati tantangan itu. Apapun yang terjadi... Apa yang membuat saya rugi?

Paling tidak saya belajar lagi pada bulan suci dan Lebaran tahun ini. Meski berantakan, toh, kalau dipikir-pikir Lebaran ini juga meninggalkan kesan: Pada hari kemenangan tahun ini, saya belajar menghadapi sebuah kekalahan. Kemenangan tidak cuma soal menang, tapi juga bagaimana bangun kembali setelah kalah. Rinus Michels menunggu sampai 14 tahun untuk mengukir sejarah manis bersama tim Oranje. Hebatnya, dia melakukannya persis di tempat dia dulu ditaklukkan [oleh nasib].

Nasib, takdir, kehidupan... adalah sebuah teka-teki. Kamu tidak bisa menjawabnya hari ini, tapi nanti...

Minal aidin walfa idzin. Semoga kemenangan tetap ada dalam hati kita. Maafkan lahir-batin. Sampai berjumpa puasa tahun depan.

Friday, October 20, 2006

 

Jumat Sebelum Lebaran

Sebentar lagi, seminggu yang melelahkan itu akan lewat sudah. Deadline sudah selesai Jumat sebelumnya. Praktis, lima hari kerja sejak Senin kemarin hanya diisi aktivitas non-produktif. Tak masalah, puasa sekali-kali boleh menjadi apologi yang obyektif.

Puasa sendiri hanya dalam hitungan hari. Ada yang bilang Lebaran jatuh hari Senin, ada pula yang bilang Selasa. Keluarga saya sendiri belum menentukan memilih versi yang mana. Biasanya kalau ada perbedaan begini, kami memilih ikut versi Pemerintah. Puasa tahun ini juga melelahkan. Bedanya sangat terasa dibandingkan yang sudah-sudah. Bukan masalah godaan fisiknya, tapi secara batin, tantangan puasa tahun ini jauh lebih besar. Jujur, saya sulit mengendalikan diri menghadapi puasa tahun ini. Mungkin saya menyerah, tapi niat saya tetap lillahi ta'ala. Biarkan Yang Di Atas menilai upaya dan ibadah saya sepanjang bulan suci ini.

Hari ini hari terakhir di kantor. Sebenarnya kantor pula yang menjadi sumber "masalah" tersebut. Untungnya, hari ini semuanya diperjelas. Paling tidak sudah ada komitmen lisan yang bisa saya pegang untuk memperjelas masa depan. Mudah-mudahan seterusnya akan begitu.

Hari ini sekaligus menjadi Jumat terakhir pada Ramadhan tahun ini. Setahun lalu, saya membuat tulisan khusus tentang hari Jumat terkahir di bulan puasa. Saya berupaya mempertahankan kebiasaan itu. Tapi tak hanya itu yang membuat saya merenung dan terharu hari ini. Ada sesuatu yang membuat saya menghargai diri sendiri sampai seperti ini pada hari ini dan detik ini. Jawabannya, seperti dalam dua tulisan saya terdahulu, adalah masa lalu. Ternyata masa lalu tidak hanya ada untuk dikenang, tapi untuk membuat kita menghargai diri sendiri di masa sekarang. Sebuah pelajaran, tapi masih kecil artinya dibanding ridha yang semestinya bisa saya dapatkan selama bulan Ramadhan.

Ah, sudahlah... Tak boleh ada ruang untuk penyesalan, bukan?

Sunday, October 15, 2006

 

Masa Kini yang Sepi

Sabtu ini aku memberikan kesempatan untuk teman-teman SMU dulu. Bulan puasa memang bulan berkah, semua sepertinya harus dapat giliran buka bersama. Tak banyak memang, hanya ada empat dari kami. Dulu kami semua satu kelas - dari kelas satu sampai tamat. Pertemuan ini seperti pertemuan dengan teman-teman lama lain, kali kesekian dalam beberapa bulan terakhir dan sama pula menguras kenangan masa lalu. Walau semuanya sadar sedang berdiri di masa kini.

Lupakan sejenak kekinian. Kami berkumpul di rumah Paolo. Kawasan Rawamangun yang selalu kuanggap tempat paling strategis di Jakarta. Itu semata-mata karena aku sempat tinggal di Rawamangun dan merasakan kemudahan menjangkau keramaian ibukota: Kelapa Gading, Senen, Blok M, Grogol, bahkan Bandara. Semua tinggal sekali naik bus dari terminal Rawamangun! Sebelum ke rumah Paolo, aku dan Yudi mampir sebentar di Tip Top Rawamangun. Ini dia tempat aku menghabiskan sore atau petang tak berisi waktu SMU dulu. Belanja titipan ibu, mencari koran, jajanan, atau sekadar jalan-jalan sore tanpa arah. Lumayan lama aku tak melongok daerah ini. Satu blok persis di depan Tip Top adalah kawasan perumahan yang padat. Aku masih mampu mengingat bunyi keramaian yang melintas di depan rumahku, pagi siang sore malam: tukang roti, bakso, pengamen, anak-anak pulang sekolah, tetangga, deru kendaraan di jalanan... Aku tergoda untuk mengintip seperti apa lingkungan itu sekarang. Tapi enggan. Canggung rasanya melangkah kembali ke masa lalu, bertemu mereka yang pernah kukenal. Ini situasi yang ingin kuhindari. Bukan karena lupa atau tak hormat, tapi melempar jiwa dan raga kembali ke masa lalu butuh waktu dan ruang yang tidak sederhana. Mungkin itu cuma aku saja...

Lalu sambil menunggu Nano, kami berbuka di rumah Paolo. Berempat bersama ibunya. Puasa kali ini terasa agak berbeda di rumah Paolo karena kebetulan ayahandanya wafat beberapa bulan silam. Sepi menemani kami senja ini. Nano tiba. Di meja makan sambil menikmati makanan ringan, kami selintas mengobrol tentang masa sekolah. Kuakui aku agak ketinggalan soal kenangan ini. Kekurangannya satu caturwulan - empat bulan - karena aku anak baru waktu itu. Yudi membuatku terkejut. Ia bercerita masih bermimpi soal masa sekolah. Ada kilasan yang menyertakan kami semua di situ. Semuanya hadir seolah muncul lagi hari ini. Ah, kenapa kali ini ceritanya sama saja?

Sayang, perjalanan buka bersama kali ini tak begitu ramai. Waktu pertemuannya mungkin agak dipaksakan. Kebetulan kami semua sedang menghadapi beban pekerjaan yang sangat menyita waktu beberapa minggu terakhir. Keceriaan muncul sebentar, begitu makan malam tandas disikat, pelan-pelan semangat itu sirna. Semua orang ingin langsung pulang ke rumah, kecuali aku mungkin. Aku masih ingin melarikan diri, kalau dapat. Namun malam akhirnya mengantar kami pulang ke rumah masing-masing. Maaf, tidak ada cerita sentimentil lagi di ujung pertemuan ini. Mungkin akulah cerita sentimentil itu sendiri.

Kamu berdiri di depan pintu dan sedang memegang gagangnya, Adinda. Kenop itu merayumu dan seisi ruangan sudah siap menyambutmu. Selamat datang dalam kenanganku. Biar semuanya meluruh... Biar bebas... Dan biar sepi menjadi pilihanku.

Sunday, October 08, 2006

 

Antara Hari Ini dan Masa Lalu

Lagi-lagi mereka. Tujuh orang teman lama. Kami bertemu untuk berbuka puasa bersama. Aku mengaturnya dari sebuah rencana spontan. Kemarin lusa, aku mengajak mereka bertemu dan masing-masing bersedia. Ini lumayan mengejutkan.

Kami duduk mengelilingi tiga buah meja kecil yang disatukan pelayan di foodcourt sebuah pusat perbelanjaan ibukota. Sebenarnya ada empat lima teman lain yang kami ajak, tapi tak semuanya bisa sempat hadir. Tapi tak apalah tujuh orang teman lama dapat berkumpul saja sudah memuaskan.

Lagi-lagi masa lalu. Ah, tidak juga. Kami juga banyak membahas kekinian. Freddy, temanku yang duduk paling ujung kiri meja baru sebulan menikah. Istrinya ikut dibawa serta. Sangat jelas terlihat mereka masih sangat menikmati masa-masa bulan madu - tak masalah meski harus diselang bulan suci Ramadhan. "Bulan puasa tak perlu disiasati," selorohnya. Kami tergelak. Sang Istri hanya bisa menahan ledakan tawa dengan sebelah tangannya.

Pandu beda lagi. Lumayan lama dia menghilang dari peredaran. Sibuk menjadi kameramen sebuah stasiun televisi nasional - atau mungkin ada alasan lain? Sepanjang pertemuan, dia asyik mengobrol dengan Gilang yang sedang menabung masa depannya. Kebetulan Gilang memang sudah akrab dengan kamera sejak kuliah dan sempat berkecimpung di industri pertelevisian untuk beberapa waktu. Tiga bulan terakhir, aku lupa hitungan pastinya, Gilang menantang hidup di ibukota. Berupaya melepaskan diri dari kesejukan Kota Kembang yang melenakan.

Di depan Gilang, duduk Sapto. Mantan aktivis kampus yang sekarang bekerja di sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat. Dia sempat mengeluh tentang kuliahnya yang belum selesai, tapi tak tampak urat keputus asaan di wajahnya sepanjang malam ini. Di sebelah Sapto, ada Hanif. Selalu tampak ceria dan sejak kami bertemu sampai bubaran berupaya mati-matian meledekku. Tak terlalu serius. Sekadar menyegarkan dunia kami yang makin kering berkat rutinitas. Hanif baru saja terpancing membeli sepasang sepatu kets. Dituduhnya itu ulahku mengomporinya. Salahnya sendiri, balasku, tak punya pendirian kalau memutuskan sesuatu.

Masa lalu adalah magnet tersendiri. Kami disatukan oleh sebuah tempat, tepatnya pondokan kosan, nyaris sepuluh tahun lalu di belahan dunia baru nun di Jatinangor sana. Cakrawala yang tak pernah usang mengisi langit hati kami dari dulu bahkan sampai sekarang. Sekali-sekali nostalgia melintas di langit malam ini dan kami menyambutnya dengan suka cita. Seolah itu baru saja terjadi kemarin. Mungkin ini yang menjadi satu-satunya alasan kenapa teman kami yang paling akhir bergabung, Deni, bergegas meninggalkan acara buka bersamanya di tempat lain untuk bergabung bersama kami. Pertemuan ini memang demi masa lalu yang memabukkan. Dalam sebuah pesan pendek, Freddy pernah menuangkan perasaan sentimentilnya. "Aku bermimpi kembali ke Jatinangor. Tampak sekilas kau di situ, dengan yang lain. Lengkap. Tapi, belaian lembut Istri membuatku bangun dan membuyarkan semua." Oh, ternyata aku bukan satu-satunya orang yang pernah tersesat jauh di dalam galaksi kenangan dan masa lalu.

Tiga jam usia pertemuan kami. Ada kesan mendalam yang sulit kukatakan tentang malam ini. Lagi-lagi bukan aku seorang yang mendapat kesan serupa. Beberapa jam setelah berpisah, aku menerima pesan pendek di ponsel. Dari Gilang dan Freddy. Mereka merasa bersyukur dapat bertemu dan melampiaskan rindu dengan teman-teman lain atas nama masa lalu. Meski kadang sulit dilupakan, seharusnya kita bahagia memiliki masa lalu.

Lama aku melirik layar ponselku. Tak sabar, segera kuketikkan pesan pendek baru. "Dua tahun aku mengenalmu, Adinda. Dan aku tak mau menjadikanmu masa lalu. Paling tidak, belum saat ini..."

Malam masih panjang. Esok akan ada. Harapan, seperti daur, pasti akan terus terbit.

[15 Ramadhan 1426 H / 04.05, menjelang Imsak - on a serene dawn]

 

Rencana B Marco Van Basten

Partai kualifikasi Belanda melawan Bulgaria di Sofia adalah Rencana B buat pelatih Marco van Basten. Sayang, setelah 90 menit rupanya dia butuh Rencana C, D, E, ...

Pangkal masalahnya adalah Klaas-Jan Huntelaar. Dalam sesi latihan dengan klubnya, Ajax Amsterdam, penyerang muda andalan San Marco ini cedera engkel dan divonis absen dari lapangan hijau selama sebulan. Marco terpaksa menjilat ludahnya sendiri. Sambil mengunyah bulat-bulat harga dirinya, dia menelepon Ruud van Nistelrooy ke Madrid sana. "Ayolah, Ruudtje. Tim membutuhkanmu," bujuk Marco. Ruud tersenyum simpul dan menjawab dengan tenang, "Tidak, tuan bondscoach."

Kepala Marco bertambah pusing saat pinangannya juga ditolak mentah-mentah oleh Mark van Bommel. Andalan baru Bayern Munich ini bahkan tak menyembunyikan kebenciannya. "Selama Marco masih melatih Oranje, aku takkan pernah bermain untuknya," begitu sumpahnya. Oranje memang bukan hanya Ruudtje dan Mark. Tapi pemain-pemain muda Oranje masih perlu layanan konseling kedua pemain senior itu.

Tanpa Ruudtje dan Mark, Marco menantang Hristo Stoichkov di Sofia, Bulgaria. Belum seperempat jam pertandingan, pipi Marco ditampar dua kali. Pertama, akibat salah jatuh, penyerang utama tim Dirk Kuyt - yang diyakini mengambil alih figur kepahlawanan tim - cedera engkel. Tak lama, tusukan Martin Petrov dari sayap kiri berhasil membobol gawang Edwin van der Sar. Saatnya Rencana B. Ups, maaf, mungkin bagi Marco sendiri ini sudah Rencana C. Kuyt toh bukan pilihan pertama Marco untuk posisi nomor 9 dalam strategi permainannya. Ryan Babel pun dimasukkan dan Oranje bermain dengan tiga penyerang sayap!

Seperti sudah diduga, posisi ujung tombak - ajaibnya - ditempati Robin van Persie. Pemain muda ini makin matang saja. Dia mampu menjawab kepercayaan sang pelatih dengan membukukan gol penyeimbang kedudukan saat pertengahan babak kedua. Pertandingan pun berakhir sama kuat, 1-1. Herannya tidak ada lagi pergantian yang dilakukan Marco pada babak kedua - kecuali pergantian "basa-basi" Stijn Schaars pada injury time. Strategi tiga penyerang sayap di lini depan memang mengejutkan, namun belum berhasil mencuri angka penuh di kandang lawan. Marco lebih memilih bersikap pragmatis ketimbang berjudi dengan memasukkan Jan Vennegoor of Hesselink menggantikan salah satu gelandang atau beknya, misalnya. Andaikan sampai menjelang peluit panjang kalau tiga penyerang sayap itu masih buntu, Jan bisa saja menjadi Rencana C Marco.

Tugas Marco belum selesai. Dia harus mengantungi banyak rencana di saku jaket pelatihnya. Tidak bisa lagi kau andalkan kelincahan Robin, Arjen Robben, atau Wesley Sneijder semata, wahai Marco! Kau butuh senjata pamungkas. Kau butuh Rencana D, E, F, ..., sampai Z sekalipun! Pertanyaannya sekarang, apakah perdamaian dengan Ruudtje dan Mark masuk dalam agendamu, Marco?

Tuesday, October 03, 2006

 

Sepuluh Hari

Lewat sudah sepuluh hari Ramadhan
ternyata tidaklah ringan
terjebak himpitan beban
berat nian...

Apakah Engkau ridha menerima ibadahku, Tuhan?

This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Subscribe to Posts [Atom]