Saturday, September 23, 2006

 

Do'a Ramadhan

Dan tentu saja, Ramadhan. Bulan banjir berkah dan maghfirah. Maafkan kesalahan saya seperti saya memaafkan kesalahan teman-teman. Semoga kita memperoleh kemenangan..

Marhabban...

*Seperti yang ditayangkan dalam layar ponsel saya sore ini, dari hati yang ikhlas menyambut bulan suci...

Wednesday, September 20, 2006

 

Lidah

Benar memang kalau pepatah mengatakan “lidah tak bertulang”. Lidah tak bisa berbohong. Dalam cerita saya ini, lidah tak bisa membohongi asal usul manusia pemiliknya. Terima kasih untuk keaneka ragaman budaya Indonesia. Lingkungan tempat manusia Indonesia tinggal memberi identitas yang khas, salah satunya lewat bahasa dan logat bicara.

Pengetahuan saya tidak begitu mendalam. Tapi beberapa kali saya sukses menebak asal usul daerah orang dengan logat tertentu. Modal utamanya tentu prasangka. Nomor dua, berkat latar belakang keluarga asal Sumatera dan lingkungan masa kecil membuat saya akrab dengan lidah Melayu, Minang, dan Palembang. Meski pengetahuan itu tidak komprehensif – belum tentu saya menebak dengan pasti asal daerahnya secara spesifik – tapi ini jadi hiburan tersendiri di belantara ibukota. Tak banyak yang berlidah Melayu di sini. Jadi, ada semacam kerinduan yang menyeruak bila menemukan logat yang saya kenali di sini.

Orang tak akan susah membedakan lidah medok Jawa atau Sunda, misalnya, yang memang mudah ditemui di kota metropolitan ini. Suatu ketika menjelang wawancara seorang narasumber di daerah Tanjung Duren, saya ditemani stafnya. Kami sempat mengobrol – tak lebih basa-basi. Dia keturunan Cina, tapi mendengar logat dari lidahnya rasa-rasanya saya tidak asing. Benar saja, tanpa perlu saya tanyakan dia mengaku berasal dari Palembang. Nah! Di dalam hati, saya tersenyum bangga bisa menebak benar asal usulnya. Pernah juga saat hari-hari pertama penataran kuliah di Bandung, saya kebetulan berjalan berbarengan seseorang mahasiswa baru dari fakultas lain. Sepanjang perjalanan, kami mengobrol basa-basi. Lagi-lagi, dari lidahnya saya sudah berprasangka dia orang Minang. Saya labrak saja, “Kamu orang Minang?” Agaknya, pertanyaan saya ini sedikit mengganggu. Dengan sedikit meringis, dia mengangguk. Saya bilang, “Ketahuan dari logatnya.” Sedikit dengan rasa bangga yang tidak perlu. Dia mengelak, “Tapi saya sudah lama tinggal di Bandung.” Oke, sudah lama tinggal di Bandung tapi lidahmu tak bisa membohongiku, kawan, bilang saya dalam hati. Obrolan kami tak berlanjut, mungkin saya sudah menyinggung egonya.

Ada satu logat lagi yang membuat saya melayang kembali ke masa lalu. Logat ini datang dari lidah penduduk sebuah pulau paling terkenal di Indonesia. Pada kesempatan seperti tadi pagi, saya kembali mendengar logat itu. Mungkin ini logat yang tidak bisa saya lupakan seumur hidup. Khas sekali terdengar. Pertama kali telinga saya mengakrabkan diri dengan lidah ini adalah pada tahun-tahun pertama kuliah. Unik. Lebih istimewa lagi, karena saya mempunyai pengalaman khusus tentangnya. Wah, kalau boleh saya meminta logat itu hanya boleh datang dari lidah yang saya kenal itu. Pagi ini, saya mendengarnya dari atas angkutan umum. Wajar saja, pangkalan angkutan itu memang berada di dekat sebuah pura di pinggir Kalimalang. Sepertinya saya tidak perlu memberikan petunjuk lebih jelas lagi. Ah, sedikit kenangan tidak akan menyakitkan, bukan?

Monday, September 18, 2006

 

Kota Belanja

Akhirnya saya kembali lagi ke Bandung weekend kemarin. Sebuah hajatan teman dekat yang baru saja menjadi "supir" [ingat tulisan saya terdahulu?] mengantar saya kembali ke kota taman kembang itu. Tidak banyak yang saya tangkap dari sana, selain yang satu ini: Dia berubah. Terima kasih untuk tol Cipularang. Memang jalanannya yang kecil dan ramping sesak menampung kendaraan-kendaraan berpelat nomor B. Tapi paling tidak Bandung berdandan [syukurnya tak ada lagi masalah runtah di sana]. Plaza Bandung Indah yang sederhana itu ternyata direnovasi. Sekarang tampak jauh lebih modern. Plaza Sultan Agung di jalan Sultan Agung, searah jalan Cihampelas, ditutup dan direnovasi total. Pemandangan mencolok juga tampak di simpang Dago: melengkapi McDonald 24 jam yang selalu diramaikan jejaka dan mojang kota ini, sedang dibangun gedung lain - mungkin pertokoan lagi, siapa tahu? Bandung adalah kota belanja!

Hm, saya belum puas! Kapan saya bisa datang lagi?

Monday, September 11, 2006

 

Ayolah Marco, Ruudtje masih ada!

Satu-satunya hal yang membuat saya tetap terjaga sampai pukul dua dinihari tadi adalah harapan melihat pemain berseragam 17 Real Madrid itu mencetak hattrick. Harapan [atau do'a] saya terkabul. Menit pertama injury time, Ruud van Nistelrooy mencetak hattrick pertamanya pada partai kedua di Liga Spanyol!

Sebenarnya pada saat yang sama stasiun televisi yang lain memutar ulang partai perdelapan final Jerman 2006 Belanda vs Portugal. Ya, Ruudtje tidak bermain dalam Battle of Nuernberg itu dan saya muak menontonnya lagi. Maka, meski bukan penggemar Los Galacticos, saya merelakan waktu untuk melihat aksi Ruudtje bersama klub barunya tersebut. Empat hari sebelumnya, Oranje turun bertanding dalam rangka kualifikasi Euro 2008 melawan Belarusia. Mereka menang 3-0 dan semua gol tercipta hasil set piece. Seminggu sebelum ini, mereka melawat ke Luksemburg. Menang, memang. Tapi tak dinyana hasilnya “hanya” 1-0. Itupun bek Joris Mathijsen yang membuat gol. Ke mana perginya debut gemilang Klaas-Jan Huntelaar?

Di bawah gemblengan Marco van Basten, anak-anak muda Belanda belum tampil meyakinkan. Apalagi San Marco bersikeras meninggalkan jasa pemain-pemain senior dalam skuadnya. Clarence Seedorf ditinggalkan – saya pribadi sepakat. Tapi, tidak kalau Roy Makaay dan Edgar Davids ikut dicoret. Belakangan Ruudtje dan Mark van Bommel menyusul. Saya masih menerima van Bommel tidak lagi dipanggil, tapi tidak Ruudtje!

Di stadion Levante, Ruudtje memperlihatkan keunggulannya sebagai striker papan atas dunia: oportunis, cerdas, licik, pengambilan posisi, dan akurasi tendangan yang mumpuni. Seorang Fabio Capello sampai melupakan pemain terbaik dunia dua kali Ronaldo Nazario, “mengesampingkan” Raul Gonzalez, serta mencadangkan Robinho dan Jose Reyes. Ruudtje menunjukkan buktinya. Gol pertamanya memperlihatkan kelasnya: membelakangi gawang dari garis kotak 16 yard, dia menembak sambil membalikkan badan dengan instingtif. Bola diarahkan ke pojok kanan gawang kiper Pablo Cavallero. Masuk! Gol kedua dan ketiganya memperlihatkan kelas yang lain lagi: ketenangan dan jiwa oportunis tingkat tinggi. Seharusnya dia bisa mencetak hattrick lebih cepat kalau eksekusi penaltinya tak digagalkan Cavallero. Tapi rupanya sejarah ingin ditulis dengan cara lain.

Setiap berhasil mencetak gol, Ruudtje berlari ke arah tribun. Tangannya melambai ke arah penonton. Mungkin bukan penonton yang ingin disambutnya, melainkan sosok van Basten yang dia cari malam itu. Idola masa kecilnya itu harusnya ada di stadion, karena toh ternyata dia masih layak membela Oranje. Ruudtje masih memendam impian sukses bersama Oranje, hal yang gagal ia dapatkan tiga bulan lalu. Saat ini Marco lebih memercayakan lini depan timnya pada diri Huntelaar, Dirk Kuyt, Ryan Babel, dan Jan Vennegoor of Hesselink. Tak ada yang perlu diragukan dari kualitas mereka. Tapi, mereka tak punya naluri membunuh sebesar Ruudtje.

Huntelaar boleh ditakuti di liga Belanda. Namun dia masih perlu belajar banyak di ajang internasional. Babel terus terang kurang berpengalaman. Kuyt, nah saya masih bingung mencari di mana faktor kebergantungan tim pada sosoknya. Ada harapan dia bisa menjadi Dennis Bergkamp yang baru. Atau paling tidak Kuyt bisa menjadi pelayan yang baik bagi striker utama tim. Sedangkan VOH – ah, figurnya seperti pelengkap tim saja. Belasan kali turun membela Oranje, belum satu gol jua yang disumbangkannya.

Ruudtje masih dibutuhkan Oranje! Sayangnya, materi dan strategi tim saat ini seperti tak mendukungnya untuk mencetak banyak gol. Dua pemain sayap, Arjen Robben dan Robin van Persie, tampak terlalu individualis untuk menunjang kelebihan Ruudtje. Pengalaman menunjukkan, Ruudtje lebih subur dengan layanan bola-bola silang dari pinggir lapangan atau melalui umpan satu-dua sentuhan. Sayangnya bukan melalui manuver serangan lewat sayap yang sering diperlihatkan Arjen dan Robin – strategi utama Oranje.

Ruudtje butuh seorang pelayan! Saya membayangkan duet Bergkamp-Ruudtje di Oranje. Sayangnya tak pernah kesampaian [dan mereka memang tidak pernah main bersama], tapi saya percaya duet itu akan ditakuti bek manapun di dunia. Bergkamp akan menjadi pasangan yang pas bagi Ruudtje [bahkan bagi pemain manapun juga!]. Di tim Oranje sekarang, belum ada yang bisa menjadi pelayan Ruudtje. Rafael van der Vaart, Wesley Sneijder, atau bahkan van Persie pantas mengisi posisi ini, tapi belum ada revolusi strategi yang dilakukan Marco untuk mematahkan pakem 4-3-3. Kalau Marco mulai berani mengembangkan strategi timnya – seperti pernah dilakukan Guus Hiddink yang menggunakan formasi 4-4-2 – dan merelakan egonya, bersiaplah melihat Ruudtje kembali mengenakan kaus Oranje!

Tuesday, September 05, 2006

 

Seorang Supir Baru

Ternyata belum kering saja inspirasi yang saya dapatkan dari atas bus kota.

Hari ini saya beruntung, tidak harus menunggu lama untuk memperoleh angkutan. Begitu keluar dari rumah, angkot sudah menunggu di ujung jalan. Pindah ke angkot berikut, sudah setengah penuh dan supir langsung bergerak walaupun masih ada dua tempat kosong. Pindah lagi ke bus menuju Lebak Bulus, saya hanya berdiri sebentar dan, voila!, itu dia busnya. Kadang butuh keberuntungan untuk cepat sampai tujuan. Orang yang lebih rasional akan bilang, kecepatan hanya butuh ketepatan waktu.

Di atas bus, saya merasakan enaknya jadi penumpang. Tujuan kami sama dan kami diantarkan pula oleh seorang supir. Keselamatan dan kenyamanan penumpang seharusnya menjadi tanggung jawab supir. Rasakan bagaimana beratnya menjadi seorang supir. Tapi kadangkala kita juga sekali-kali harus menjadi supir untuk kendaraan kita sendiri. Dan, itu yang terjadi pada seorang teman dekat kemarin hari.

Selama satu bus dengannya, saya melihat teman saya ini adalah seorang penumpang sejati. Saya mulai dekat dengannya sejak masa-masa awal kuliah dan sejak saat itu pula jarang sekali dia mengambil "kursi penumpang" di bagian depan apalagi menjadi supir. Dia memilih duduk tenang di belakang, mengikuti arah kemudi yang diatur supir di depan sana. Tanpa banyak cakap, dia selalu mengikuti perjalanan selama masa-masa kuliah. Dalam banyak kesempatan, kami naik "bus" yang sama dan tak mungkin melupakannya dalam semua memori masa perkuliahan saya.

Kemarin, dia membuat keputusan krusial dalam hidupnya. Dia memutuskan menjadi supir untuk kendaraan bersama seorang perempuan pilihannya. Buatnya, jalan hidup tinggal diambil langkahnya saja. Tak perlu banyak aksesoris. Dan, begitulah... Saya percaya bukan keberuntungan yang membuatnya mengambil keputusan tersebut. Walaupun terus terang saya masih saja heran bercampur takjub sampai kemarin. Untuk satu ini, saya harus belajar darinya.

Selamat, bung! Salut!

This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Subscribe to Posts [Atom]