Friday, July 28, 2006

 

Pada Sebuah Kutipan (9)

Kenyataan bahwa ia tak akan pernah datang lagi, itulah yang membuat hidup ini terasa sangat indah.

* Emily Dickinson. Puisi no.1741. Kutipan lama, diingatkan kembali oleh seorang karib dalam sebuah pesan pendek

Monday, July 17, 2006

 

Senin Pertama di Sekolah

Senin lagi. Tapi hari ini istimewa. Ini Senin pertama sekolah masuk kembali setelah libur panjang usai tahun pelajaran lama. Buat jutaan orang tua, ini hari Senin yang teramat sangat istimewa. Mereka harus melawan beratnya hati melepas anak pertama menuntut ilmu di kelas satu sekolah dasar. Buat sebagian, hari Senin ini hari yang penuh kelegaan. Dua minggu atau sampai sebulan sebelumnya, mereka harus bertarung penuh kewaspadaan untuk memastikan masa depan. Kelulusan sekolah bukanlah sebuah kepastian, malah menciptakan kekhawatiran. Hasil ujian nasionallah, ujian masuk sekolah negerilah, ujian perguruan tinggilah. Macam-macam. Maka hari ini adalah wisuda atas kegalauan itu.

Di rumah saya tadi malam dengan telaten Ibu menjahit celana milik adik bungsu yang hari ini mendapati hari pertamanya untuk tahun terakhir di sekolah dasar. Entah apa yang akan terjadi tahun depan. Entah apa pula yang ada dalam benak Ibu sembari tangannya sibuk menyisipkan jarum berbonceng benang di antara celah kain. Entah apa rasanya mengalami hari seperti ini untuk kesekian kalinya; berulang-ulang selama bertahun-tahun. Kali kedua puluh tiga mungkin?

Tidak banyak yang bisa saya ingat dari hari pertama masuk sekolah. Pun senin-senin pertama di kelas yang baru. Tidak ada sesuatu yang sama sekali baru. Kelasnya saja yang baru, wali kelas baru, teman-teman baru. Tapi kan semua sebenarnya sama saja? Ada beberapa teman kelas lama yang sama-sama masuk di kelas baru. Ada yang sudah kenal sebelumnya. Hanya perasaannya berganti kelas, makin dewasa. Senang rasanya tak dianggap anak kecil lagi. Waktu kelas tiga SMU, perasaan hati ada di ambang kebahagiaan dan kegelisahan. Bahagia karena inilah tahun terakhir masa-masa sekolah. Bahagia karena kelas tiga adalah angkatan yang menguasai sekolah. Tak ada senior yang perlu ditakuti. Gelisah karena tahun berikutnya adalah tahun pertama kuliah. Nah, ini paling mengerikan karena lebih tak pasti.

Hm, tahun-tahun sangat cepat berlalu ya?

Monday, July 03, 2006

 

Yogyakarta, Awal Juli

Gempuran sepakbola sebulan penuh ini mereda sebelum waktunya di pinggir alun-alun Kota Gudeg, Yogyakarta. Terima kasih buat tuan Rusia yang merusak emosi singa-singa muda Oranye seminggu sebelumnya. Terima kasih buat kepercayaan rekan-rekan di kantor terhadap materi peliputan sepakbola Yogya pasca-gempa kepada saya. Terima kasih buat seorang karib lama yang setia menemani saya berkeliling sepanjang tiga hari di awal Juli ini.

Gemuruh penonton nonton bareng berdiri atau bersandar di dudukan sepeda motor mereka di lapangan depan Bank Indonesia sampai terdengar ke sini. Padahal hanya ada kesenyapan malam dan sergapan dingin di lapangan ini. Sepenggal cerita masa lalu. Sepotong harapan masa depan. Sebuah pertanyaan tentang makna hidup [ah, bukankah hal ini sudah sering terlontar dalam percakapan lelaki dewasa?]. Sebuah kegelisahan tentang pencarian jati diri [bukan hanya anak baru gede yang mengalami krisis identitas]. Sebuah omong kosong tak perlu bernama mimpi yang terlontar keluar masuk dari mulut-mulut kami. Sebuah awan pahit bernama kenyataan menggantung di langit malam dan mengintip kerapuhan kami. Semua habis malam itu bersama semangkuk wedang ronde yang licin tandas bersama peluit wasit Slowakia.

Tidak ada kesimpulan malam itu. Tidak ada keputusan. Tidak ada akhir. Namun satu hal yang pasti, bagi saya, Piala Dunia 2006 berakhir di Yogyakarta.

Sunday, July 02, 2006

 

Walt Whitman's Poem

I do not love you as if you were salt-rose, or topaz, or the arrow of carnations the fire shoots off. I love you as certain dark things are to be loved, in secret, between the shadow and the soul.

I love you as the plant that never blooms but carries in itself the light of hidden flowers; thanks to your love a certain solid fragrance, risen from the earth, lives darkly in my body.

I love you without knowing how, or when, or from where. I love you straightforwardly, without complexities or pride; so I love you because I know no other way than this: Where “I” does not exist, nor “You”, so close that your hand on my chest is my hand, so close that your eyes close as I fall asleep.

*Walt Whitman, as recited in Patch Adams, 1998

This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Subscribe to Posts [Atom]