Sunday, April 30, 2006

 

Pada Sebuah Kutipan (6)

Harapan; itu adalah inti dari khayalan manusia, sekaligus kekuatan dan kelemahan terbesarmu.

*Tukas "The Architect" kepada Neo saat menentukan pilihannya: menyelamatkan Trinity, ketimbang umat manusia. The Matrix Reloaded, 2002.

Tuesday, April 18, 2006

 

Kota Ibu

Pemandangan dari atas sudah sangat mencolok. Berlawanan dengan lansekap ibukota yang serbagedung dan serbajalanan, mendekati Kota Ibu daratan menjadi serbakosong dan serbahijau. Di bawah sana, ribuan kaki jauhnya, hehijauan itu adalah perkebunan kelapa sawit dan karet. Bertumpuk-tumpuk dan berkotak-kotak ditengahi jalanan coklat bersilangan tak beraspal. Rapi dan enak dipandang seperti puzzle buat anak-anak balita. Sejauh mata memandang dari balik jendela pesawat, warna hijau selalu memagari batas pemandangan jauh di ujung cakrawala. Saya tidak percaya negeri ini masih disebut negara miskin dengan potensi sebesar ini.

Sudah lama saya tidak kembali ke Kota Ibu. Kurang lebih tiga tahun lamanya kaki saya tidak menjejak tanahnya. Tidak seperti ibukota yang tanahnya di mana-mana beraspal atau tanah Jawa yang subur gemah ripah loh jinawi, tanah milik Kota Ibu padat berkapur (entahlah istilahnya apa, maafkan karena saya awam soal geologi). Mungkin gara-gara tanahnya kaya akan kandungan minyak bumi (tuh kan sok tau lagi). Udaranya terik menyengat. Siang hari tidak banyak berangin karena memang bukan kota pantai. Ternyata tiga tahun waktu yang lama bagi seorang anak daerah seperti saya untuk mengenal kembali wajah Kota Ibu pada saat seperti sekarang ini. Jumat kemarin saya kembali untuk sebuah misi, yaitu (memang) untuk mengenal kembali wajahnya. Begitu saya kembali, jarum waktu pun mulai bergerak dalam kecepatan yang amat sangat lambat.

Kota Ibu tidak berubah. Di sini saya dilahirkan. Di sini pula saya dibesarkan. Di Kota Ibu jualah saya mendapat akar kehidupan. Kebetulan hampir seluruh keluarga besar dari pihak ibu tinggal di sini. Ini seperti cerita Malin Kundang yang pulang kembali ke pangkuan ibu kandungnya. Seorang anak daerah ditakdirkan jauh sebelum kelahirannya untuk merantau dan menemukan kehidupan jauh dari tanah kelahirannya. Berangkatnya dibekali keikhlasan sang Ibu. Sayang, kepulangannya mendurhakai semua jerih payah tersebut. Malin Kundang sempat bertobat namun kutukan sang Ibu terlanjur menjelma kenyataan. Tubuhnya berubah jadi batu abadi. Tapi, tidak... Saya bukan Malin Kundang.

Semua jenis makanan khas Kota Ibu nyaris saya coba. Menirukan tagline sebuah iklan, kembali ke selera asal. Hari pertama saja saya sudah mencicipi kekhasan bumbu sate Padang yang tidak pernah saya temui di ibukota. Pedas dan gurihnya ditambah kelembutan daging membuat saya benar-benar yakin saya sudah kembali pulang. Tidak ketinggalan martabak telor (di sana disebut martabak India), sate ayam, dan pempek. Wah... Sampai-sampai dua hari terakhir di Kota Ibu saya sama sekali tidak menyentuh nasi sebagai menu utama! Masa bodoh, karena saya benar-benar merasa kembali ke asal!

Selalu saja ada kesempatan untuk kembali ke tempat di mana kita berasal. Bagi saya pribadi, kesempatan berada di Kota Ibu sepanjang lima hari kemarin membuat saya merasa menyentuh kembali rahim kandungan tempat saya berasal. Saya kembali kepada akar saya; sebuah tempat di mana mereka akan selalu menyambutmu dengan tangan terbuka dan senyum canda. Kehangatan keluarga lumayan mujarab mengasingkan diri dari kepenatan pikiran.

Saya pulang untuk sebuah alasan. Demi acara keluarga yang tak boleh terhindarkan. Lagipula, toh kapan saya bisa pulang lagi kalau tidak sekarang ini? Saya juga punya agenda lain: melarikan diri dari ibukota. Tapi kalau ternyata upaya melarikan diri itu membuat saya berjalan pulang ke rumah sendiri apakah masih pantas disebut sebagai sebuah eskapisme?

Semua orang, saya rasa, perlu kesempatan untuk kembali pulang. Kalau tidak sekarang dimulai, kapan lagi? Kalau tidak sekarang, saya percaya mungkin ada kesempatan kedua. Saya juga yakin kalau hidup amat sangat berbaik hati untuk memberikan kesempatan ketiga, keempat, kelima, dan seterusnya untuk kita. Persoalannya tinggal kepada kita hendakkah mengambil tikungan di persimpangan tersebut.

Selasa ini, saya sudah kembali ke ibukota. Jatah cuti dari kantor sudah habis. Rasanya lima hari sudah lebih dari cukup untuk mencurahkan kerinduan kepada Kota Ibu. Hidup (memang) harus terus berjalan. Pesawat segera berangkat. Di pinggir landasan pacu, di tengah bising mesin pesawat, di belakang kerumunan penumpang; perasaan saya berbisik, saya akan terus kembali kalau kesempatan itu masih terus ada.

***

Dan hanya dirimu, Adinda, satu-satunya orang asing yang kubawa dalam hati lima hari tidur nyenyak di buaian Ibu.

Thursday, April 13, 2006

 

Hujan, Demo, dan Ibukota

Tiga hari berturut-turut sore hari Ibukota diguyur hujan. Lebat, merata, dan stagnan. Saking hebatnya, jalanan di depan kantor berubah menjadi kolam renang Olimpiade dengan air kecoklatan. Hari ini lebih hebat. Hujan turun lebih lama. Sampai saya pulang jam setengah delapan malam, hujan masih rintik-rintik. Seperti biasa jalanan menjadi macet. Jangan heran kalau di Ibukota (atau kota-kota besar lain di negeri ini) ada korelasi generik antara hujan dan kemacetan. Saya yang tinggal di Bekasi tidak pernah kehabisan kekaguman betapa hujan di pagi hari mampu membuat jalan tol Cikampek (sampai tol dalam kota) menjadi tempat parkir terpanjang di dunia. Apalagi hari Senin! Wuih.... Silahkan saksikan keajaiban dunia nomor delapan di sini. Pertanyaan saya selalu sama, "Apa hubungan hujan dengan kemacetan?". Mungkin banjir; atau semua orang berpikir berangkat setelah hujan berhenti; atau ada saja orang yang sayang mengendarai mobilnya yang baru dicuci; atau gara-gara jarak pandang yang terbatas membuat semua mobil harus berjalan ekstra hati-hati; atau Anda dapat memberikan alasan lain yang lebih masuk akal?

Ibukota juga mengundang pesona tersendiri bagi kaum "yang dirugikan." Maksudnya di sini sehubungan dengan fungsi Ibukota sebagai pusat pemerintahan negara membuatnya menjadi surga buat para pendemo. Macam-macam yang bisa dijadikan ketidakpuasan. Pada pokoknya peraturan pemerintah yang dianggap berat sebelah. Kemarin aparat pemerintahan desa ramai-ramai "jalan-jalan" ke Ibukota. Setelahnya menyusul rombongan buruh pabrik. Jangan heran pula kalau masyarakat Ibukota mulai mengakrabi banyak bus antarkota dengan nama asing di telinga lalu lalang di jalanan. Sepanjang demo yang dilakukan sebatas menyuarakan pendapat, tidak ada masalah toh?! Bebas saja kalau orang berpendapat mengenai kehidupannya. Kata orang alim, usaha tersebut adalah sebagian daripada berjihad. Tapi kalau sampai mengintimidasi orang lain apalagi sampai mengganggu, wuih... Bukannya berpahala, malah mengundang umpatan orang lain. Apa ini yang kita mau? Boleh-boleh saja kan khawatir dan menolak majalah berbau pornografi? Tapi kalau sampai melakukan sweeping, melempari kantor orang, sampai menjatuhkan fatwa dan segala macamnya, wah, kita sudah tidak bisa lagi membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Sama saja.

Soal yang terakhir, saya jadi ingin membuat sebuah karakter rekaan dalam suatu kisah. Entah apa dan bagaimana ceritanya kelak, tapi yang pasti pada sebuah adegan karakter tersebut akan mengatakan, "Saya hidup di negeri yang hipokrit. Di mana kebencian adalah industrinya dan prasangka adalah teknologinya." Mantap kan?

Hujan, demo, dan Ibukota. Warna-warni semarak buat seperempat pertama tahun anjing api ini. Kalau boleh sedikit berfilosofi di sini (seperti kebiasaan saya), pada saat yang sama pula kehidupan tersenyum kepada saya. Mudah-mudahan sampai seterusnya.

***

Hujan akan menepi memberi jalan lurus dan langsung demi kebahagiaanmu, Adinda. Bagaimanapun hidup adalah sebuah hari yang indah. Dirimu adalah satu keindahan yang menyempurnakannya.

Sunday, April 09, 2006

 

Pertanyaan untuk Keindahan

Setengah jam
aku terpaku
dalam permainan imajinasi
sebuah keindahan
bertanya-tanya
di dalam
ada apa
di balik sepasang mata itu?

Larut malam
mencair
merindu demi
sebuah keindahan
bertanya-tanya
di dalam
kapan aku
memandang lagi mata itu?

Sunday, April 02, 2006

 

Pada Sebuah Kutipan (5)

Kehidupan normal itu tidak ada. Yang ada hanya hidup. Jalani saja.

(komentar Doc Halliday saat sahabatnya Wyatt Earp bercerita tentang pilihannya, Wyatt Earp, 1994)

Saturday, April 01, 2006

 

The Blower's Daughter

And so it is
Just like you said it would be
Life goes easy on me
Most of the time
And so it is
The shorter story
No love, no glory
No hero in her skies

I can't take my eyes off of you
I can't take my eyes...

And so it is
Just like you said it should be
We'll both forget the breeze
Most of the time
And so it is
The colder water
The blower's daughter
The pupil in denial

I can't take my eyes off of you
I can't take my eyes...

Did I say that I loathe you?
Did I say that I want to
Leave it all behind?

I can't take my mind off of you
I can't take my mind...
My mind...my mind...
'Til I find somebody new

(Damien Rice // OST Closer // 2005)

This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Subscribe to Posts [Atom]