Tuesday, January 24, 2006

 

Pada Sebuah Kutipan (3)

"Karena pilihan sulit itulah yang mendewasakan kita."

*Seorang teman, dalam secarik pesan singkat di sebuah malam yang absurd

Wednesday, January 11, 2006

 

Jejakmu, Adinda

Malam semakin larut. Sudah sangat sepi. Mikrobus kosong melompong. Aku duduk di kursi paling pojok. Mengucilkan diri. Sendiri. Melamun. Memikirkan banyak hal. Memikirkan pekerjaan; memikirkan kehidupan; memikirkan malam; memikirkan langit; memikirkan kamu. Seberapa sering aku mengingat dirimu, seberapa pula aku tak berdaya melupakanmu. Kamu meninggalkan jejak-jejak kaki mungilmu dalam kenanganku. Betapapun itu.

Aku ada cerita buatmu. Berhati-hatilah terhadap semua keinginanmu. Rupanya itu benar. Jangan berani berharap sesuatu sebelum kau berani pula mempertanggung jawabkannya. Itu benar. Sewaktu kau masih berharap, kau menghiba-hiba untuknya. Namun sewaktu kau berhasil mendapatkan, kau menampiknya mentah-mentah. Ah, manusia tidak pernah beres otaknya.

Aku bicara tentang perubahan. Sebagian orang berusaha keras mengupayakan supaya perubahan terjadi. Mending bangun ketimbang tertidur pulas. Sebagian lain sudah teramat sangat nyaman dengan kondisi yang telah ada. Mendingan tidur daripada cari ribut. Aku mau sebuah perubahan dalam hidupku untuk tahun yang baru ini. Rupanya tidak perlu lama-lama menunggu, pilihan jalan akan perubahan terbentang di depanku. Di persimpangan ini pula, aku teringat pesan orang bijak tersebut, 'berhati-hatilah terhadap semua keinginanmu'.

Sekarang aku takut.

Namun, apapun yang terjadi, apapun yang akan terjadi, apabila itu menyangkut dirimu tidak pernah akan ada kompromi. Aku pernah bilang padamu. Sungguhan. Tentang kamu, dirimu, kenangan tentang dirimu, apapun yang pernah kukatakan dan kulakukan, semua yang pernah terjadi, banyak dan sedikit, dan terutama perasaanku kepadamu; tidak akan pernah kutukarkan dengan apapun yang ada di dunia ini. Apapun itu. Sampai hari ini, hanya ada kamu. Selalu kamu. Semua tentang dirimu sangat berharga buatku, Adinda.

Besok adalah hari ulang tahunmu. Aku mintakan kebahagiaan hidupmu dalam shalat malamku. Tidak lebih. Dan, hidup harus jalan terus, Adinda. Karena memang seperti itu peraturannya.

Mudah-mudahan aku dan kamu tidak akan pernah takut lagi.

Hujan riap-riap. Pelan, lalu menderas. Aku sudah sampai di rumah. Di dalam benakku yang menghampa, masih ada kamu. Terima kasih, Adinda.

Now I feel I'm growing older
And the songs that I have sung
Echo in the distance
Like the sound
Of a windmill going around
I guess I'll always be
A soldier of fortune

(Soldier of Fortune / Deep Purple)

Wednesday, January 04, 2006

 

Tutup Tahun, Harapan Baru (bagian 4-habis)

Sejatinya, perjalanan akhir tahun sekaligus pengharapan awal tahun dapat saya mulai kemarin di Bandung. Tapi, sampai hari ini ternyata saya belum berhasil mendapatkan resolusi yang dimaksud.

Mengapa saya memilih Bandung? Jawaban filosofisnya, Bandung adalah teman bisu yang menyimpan banyak sekali kenangan. Manis dan pahit. Lagipula, di sana masih banyak teman dari masa lalu yang dapat bicara banyak soal kenangan dan pengharapan. Pertama kali menjejakkan kaki di terminal Leuwipanjang, ada pengharapan lebih. Bandung seperti biasa, panasnya masih sama, sejuknya seperti dulu, orang-orangnya, langitnya, kotanya… Satu-satunya hal yang membuat heran adalah seperti tidak ada antusiasme menjelang malam tahun baru.

Sejak awal, saya berniat membuang dan melampiaskan sesuatu di kota ini. Melepaskannya jadi udara lepas saja, biar beban bisa bebas di hati. Apa daya, alih-alih jawaban yang saya dapat, justru pertanyaan tersebut tak muncul jua di permukaan. Mungkin sepertinya apa yang saya cari bukan berada di Bandung. Mungkin saya memang tidak bisa melarikan diri. Mungkin juga tahun baru ini belum menjadi momen yang pas untuk melepaskan hal tersebut. Maka, saat di Bandung saya memilih lebih banyak diam ketimbang lasak ke sana ke mari menikmati buaian angin.

Hal apa yang saya maksud? Ah, niat saya cuma ingin mencari semangat baru untuk menjalani hidup di tahun yang baru. Itu saja. Ternyata peneguhan hati tidak dapat dilalui lwat satu malam saja. Saya mesti kembalikan jawabannya kepada adagium klasik, semua adanya mesti melewati proses dahulu. Banyak hal yang saya alami tahun lalu. Beberapa belum terwujud dan saya niatkan untuk menjadikannya ada di tahun ini. Tetapi yang pasti, saya tidak mau kehilangan apapun yang sudah saya miliki di tahun kemarin.

Bagian terakhir dari rangkaian tulisan ‘Tutup Tahun, Harapan Baru’ ini sedianya ditutup dengan sebuah kalimat kesimpulan yang berbunga-bunga. Khas saya, bukan?! Sekali lagi, ternyata saya gagal menemukan kalimat yang dimaksud. Soal resolusi, biarlah saya simpan dalam hati saja dahulu. Kelak pada saatnya saya ungkapkan satu persatu dalam wacana blog ini. Dua paragraf penuh generalisasi di atas boleh menjadi gambaran kusut masainya semangat saya menghadapi tahun yang serbabaru ini.

Sekaligus menutup, saya tuangkan kalimat yang sudah saya siapkan sejak menulis bagian pertama tulisan ini. Tentunya, bukan tanpa maksud saya memilih kata ‘Tutup Tahun, Harapan Baru’. Saya berharap saya sendiri dan segenap rekan pembaca mencerapi pemaknaan kata ‘harapan’ untuk memulai sebuah proses yang panjang. Betapapun menyakitkannya, toh kita tidak dapat berhenti berharap. Maka itu judul tulisan ini bukanlah menjadi ‘Tahun Baru, Tutup Harapan’. Tidak. Jangan takut berharap. Jangan berhenti! Selamat datang harapan baru, 2006!

This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Subscribe to Posts [Atom]