Monday, October 31, 2005

 

Duapuluh Lima

Hidup tidak pernah menjadi ampas, Adinda
melainkan benih yang harus terus disiram

Pada akhirnya, semua yang menjadi
milik masa lalu adalah milik masa lalu
Mereka tidak bisa menjadi bagian hidup
sejak sekarang sampai nanti

Adalah semua hutang yang tidak pernah kubayar
duapuluh lima tahun ini
Pelan-pelan kulunasi satu persatu
tahun keduapuluh enam ini

Hidup harus terus belajar tanpa henti, Adinda
maka berhenti diam, ayo menjadi bagianku

*tribute to 25th year of a human-being hawe*

Saturday, October 29, 2005

 

Jum'at Terakhir untuk Ramadhan

Jum'at yang genap keempat di bulan suci Ramadhan ini. Orang-orang di luar sana sudah sibuk sendiri-sendiri. Sudah beli baju baru? Pakai setelan apa untuk Idul Fitri nanti? Sudah ngepak barang buat mudik? Masak apa saja? ... Ada sejuta pertanyaan setiap detik mulai hari ini.

Kenapa orang memilih mudik? Memilih pulang? Ada apa di kampung halaman? Mengapa mereka rela berjam-jam mengantre lewat jalan yang tidak pernah dipikirkan untuk diperbaiki? Mengapa mereka masih tetap mau pulang dari tahun ke tahun?

Ada yang bilang Lebaran hanya sebuah tradisi. Tidak lebih. Adalah festival liburan tahunan yang menyuguhkan perputaran rupiah luar biasa. Di mana ada keramaian, di situ uang berserak.

Pertanyaan saya tetap satu, mengapa orang pulang ke tempat yang dianggapnya rumah? Apakah mereka takut kesepian?

Pengalaman saya Lebaran tahun kemarin kebetulan seperti itu. Menghabiskan Hari Raya sendiri saja di rumah. Sementara seluruh keluarga pulang ke Jambi. Memang sangat tidak mengenakkan. Apalagi membayangkan mereka di sana bisa bertemu kehangatan sanak famili. Tidak enak tapi tetap saja berkesan. Kok berkesan? Biar saja kalau terdengar sedikit aneh. Hahahaha.....

Lebaran adalah hari penuh kemenangan atas fitrah seorang anak manusia. Tetapi, sekali lagi, mengapa orang-orang harus pulang?

Pertanyaan ini masih mengganggu pikiran saya.

Thursday, October 27, 2005

 

Satu Bintang di Langit Kelam

Angkasa tanpa pesan
merengkuh semakin dalam
Berselimut debu waktu
kumenanti cemas

Kau datang dengan sederhana
Satu bintang dilangit kelam
Sinarmu rimba pesona
dan kutahu tlah tersesat

Kukejar kau takkan bertepi
Menggapaimu takkan bersambut
Sendiri membendung rasa ini
Sementara kau membeku

Khayalku terbuai jauh
Pelita kecilmu mengalir pelan
dan aku terbenam

Redup kilaumu tak mengarah
Jadilah diriku selatan
Namun tak kau sadari
hingga kini dan nanti

*Rida Sita Dewi / 199?

Wednesday, October 26, 2005

 

Review 'Crash': Membentur Stereotipe

Film menakjubkan ini dibuka dengan kalimat yang mengesankan. "Di kota sebesar Los Angeles, orang-orang sudah tidak pernah lagi bersentuhan. Mereka bahkan sengaja membenturkan tubuh kepada orang lain hanya untuk merasakan sentuhan."

Tema film ini adalah benturan (crash). Tema ini klise. Berapa banyak film yang pernah menceritakan tentang pluralisme masyarakat? Namun dengan fokus pada masalah rasialisme, film ini dibungkus dengan sajian yang enak dinikmati. Menonton film ini, saya ingat apa yang pernah disampaikan Pram dalam Bumi Manusia, bahwa manusia tidak bisa hidup lepas dari prasangka. Hal yang paling mudah dilakukan seseorang dalam hidup bermasyarakat adalah berprasangka. Harus diakui, kita pasti memiliki prasangka terhadap kelompok etnis (konteks Indonesia: suku bangsa) tertentu.

Stereotipe ini tak terhindarkan, bahkan di negara semaju Amerika sekalipun. Malah yang ada, stereotipe selalu dilahirkan dan diwariskan dari waktu ke waktu. Misalnya, kelompok ras Afro-American dan Latin-American yang memiliki stereotipe miring, berandalan biangnya kriminal. Sekali lagi, meminjam pendapat Pram, manusia tidak boleh hidup tanpa prasangka.

Alur cerita Crush dibuat melingkar. Satu sama lain karakternya dibuat saling bersentuhan dan bersinggungan, konsisten pada judul. Setengah bagian pertama film, penonton dijejali dengan pengenalan beberapa karakter dalam film. Pasangan Brendan Fraser yang pengacara wilayah dan Sandra Bullock sang istrinya yang 'alergi' dengan orang Afro-American dan Latin. Pasangan Terence Howard yang seorang produser televisi dan istrinya yang berpendidikan Thandie Newton. Pasangan polisi senior Matt Dillon dan Ryan Philippe. Pasangan detektif Don Cheadle dan Jennifer Esposito. Pasangan kriminal yang Afro-American. Bapak anak keturunan Persia. Serta seorang Latin yang sangat mencintai anak perempuannya.

Setengah film terakhir menceritakan perubahan pandangan yang dialami masing-masing karakter. Contohnya, bagaimana mendendamnya Newton pada pelecehan Dillon ketika melakukan penggeledahan serampangan di pinggir jalan. Ironisnya, Dillon pula yang menyelamatkan Newton saat mengalami kecelakaan mobil di hari berikutnya. Perhatikan juga bagaimana pandangan positif polisi muda Philippe tentang kelompok minoritas yang berubah drastis di akhir cerita.

Akhir cerita Crush mengisahkan sebuah perubahan pandangan dari masing-masing karakter. Mereka yang buruk menyadari kelakuannya, dan menjadi berbaik hati. Sebaliknya mereka yang semula berpikiran positif, ternyata harus syok karena rupanya dunia tidak bisa dipandang demikian. Pada akhirnya, hidup jalan terus. Mereka berubah, tapi toh prasangka tetap saja akan hidup. Hidup takkan lagi pernah sama esok hari.

Ponten 8 dari skala 10 untuk Crush! Ini film drama terbaik yang pernah saya tonton sepanjang tahun ini. Highly recommended!

Tuesday, October 25, 2005

 

Bimbang dan Ragu

Bingung!

Dilanjutin apa nggak..
Nggak dilanjutin malah pengen diterusin.

Dilupain apa nggak..
Dilupa-lupain malah tambah inget.

Ditinggalin apa nggak..
Sudah sok tegar, tapi apa sudah yakin betul?

Kalau aja masa lalu nggak pernah ada.
Nggak mungkin kan?

Tauk, ah! Bingung!

Wednesday, October 19, 2005

 

Sepiring Makanan

Berapa harga termahal yang pernah ada untuk sepiring makanan? Selembar daftar menu di sebuah restoran di kawasan Thamrin menyebutkan, tujuh ratus ribu rupiah lebih sedikit. Hampir menyentuh angka UMR daerah Jakarta. Harga itu untuk sepiring steak daging iga sapi tipis impor dengan saus mushroom spesial. Akan sangat mengherankan kalau benar-benar ada orang yang bekerja keras untuk makan seenak itu.

Lebih mengherankan lagi kalau ada kelompok orang yang harus berebutan demi sepiring makanan. Menunya sederhana, paket sembako seharga lima puluh ribuan yang dibagikan gratis oleh sebuah instansi pemerintah. Untuk mendapatkan makan yang enak, bahan baku itu harus dimasak terlebih dahulu. Untuk mendapatkan paket tersebut, para penerima harus bergabung dengan teman-temannya dan membentuk satu barisan yang panjang lagi padat.

Kalaulah orang Indonesia benar-benar diajarkan tata tertib dan disiplin, barisan yang panjang itu akan diberi nama antrian. Namun, apa daya. Atas nama zaman yang sedang susah, tidak ada lagi nilai-nilai keteraturan. Semua menyisih, karena urusan perut nomor satu sekarang ini. Barisan panjang itu diberi nama kerumunan massa. Kerumunan yang mulanya saling dorong-mendorong, desak-mendesak, dan sikut-menyikut. Sudah begitu, kepanikan kecil muncul. Anak-anak kecil menangis meraung-raung. Mereka tidak pernah mengerti, maksudnya ke sini menemani sang ibu malah dihajar dempetan tubuh orang dewasa. Mereka mendapatkan modal belajar untuk masa depan, bahwa untuk dapat makan pun kita harus mendesak-desak orang lain.

Kaum manula yang berharap menampung berkah tidak ketinggalan dalam kerumunan. Semua demi mendapatkan kenyataan yang sama. Tidak ada toleransi atas nama usia dan rasa hormat. Satu dua generasi menghilang sebentar, karena urusan perut mau lewat dulu. Tulang rapuh mereka dihantam badan-badan teguh orang yang lebih muda usianya. Keluar tak mau, pingsan tak bisa. Mereka mendapatkan modal belajar untuk masa depan, bahwa untuk dapat menyambung hidup esok hari kita butuh makan. Bahwa untuk dapat makan, kita pun harus mempertaruhkan usia yang sebentar lagi dimakan ajal. Bagaimanapun setiap manusia pasti akan mati.

Di restoran yang tadi disebutkan, pelayan mengantarkan menu yang tadi dipesan pengunjung. Asap tipis masih mengepul merubungi hotplate yang dibawanya. “Pesan apa lagi, Pak, Bu?”, tanya si pelayan. Sopan. Seperti biasa pengunjung mana pun akan sigap bila ditanya begini. “Minta lada hitam dan tambah mashed potato-nya dong”, jawab si Bapak.

Pelayan tersenyum. Pesanan tambahan adalah kredit tersendiri baginya. “Baik. Ditunggu lima menit, Pak”. Lima menit lagi korban pertama dari kerumunan menunggu waktu dijemput nasib.

*

Jangan terlambat makan hari ini, Adinda. Nanti sakit maag-mu kambuh.

Saturday, October 08, 2005

 

Ridha

Khatib Jum'at pertama Ramadhan ini membakar siang yang terik dengan api kata-katanya, "Shalat tidak membuat kita masuk surga. Haji, zakat, atau puasa tidak akan membukakan surga. Semua yang mengantar kita masuk surga hanyalah ridha Allah. Shalat, haji, zakat, dan puasa adalah sarananya. Maka mungkinkah kita masuk surga, padahal orang yang lebih rajin shalat pun belum tentu masuk surga? Mungkinkah kita diberi surga, padahal mereka yang haji, zakat, dan puasanya melebihi kita pun belum tentu imbalannya surga?".

Aku tak jadi tertidur. Pertanyaan di dalam kepala semakin bertambah banyak. Padahal Ramadhan baru berusia empat malam, aku masih belum menemukan tujuanku. Pada akhirnya aku kembali mengeluh, 'Tuhan bila saja aku diberi tahu sedikit rencanamu untukku, keraguan ini akan sirna'.

Namun seperti biasa, siang cepat berubah menjadi malam. Sepi dan sunyi, alam khusyuk menyembah Sang Pencipta. Aku duduk menganggur di pinggir kasur. Lamat-lamat, tadarusan di mesjid baru saja dimulai.

*

Dirimu adalah misteri tanpa kunci, Adinda. Dan haruskah kau menjadi berhala batu di tengah jalanku?

Saturday, October 01, 2005

 

Jum'at Terakhir

Jum’at terakhir sebelum Ramadhan. Waktu bergerak melambat. Mobil-mobil yang setiap pagi melaju tergesa-gesa, sekarang bergerak dalam gerakan lambat yang dramatis. Mendung tidak kira-kira, siap menampung air mata manusia yang sedia tertumpah sebab harga minyak akan naik malam nanti. Di mimbar Jum’at, khatib masih optimis seperti biasa. Memompa angin supaya api jamaah tetap menyala-nyala. Bahagia menjelang Ramadhan, katanya. Setan dibelenggu api neraka selama Ramadhan, sahutnya. Do’a orang berpuasa didengar Tuhan, ujarnya. Puasa sebenar-benarnya dan surga menjadi janji. Bapak di ujung saf menggerutu dalam hati, kalau barang tak terbeli, masakan puasa setiap hari?

Apapun, Ramadhan menjelang dan puasa mendekat. Kesempatan dibuka untuk menghapus dosa-dosa masa silam. Saat pintu mesjid dibuka untuk tarawih pertama, masuklah semua kepasrahan dan buang ke luar saja semua BBM dan flu burung itu. Biar risalah duniawi rehat urun minum barang sebulan saja.

Besok, jutaan rakyat kecil akan memilih tidak bangun dari tidurnya. Buaian mimpi di ranjang lebih indah daripada hidup sama sekali. Manusia boleh protes kepada Tuhan karena bosan hidup seperti ini, tapi Tuhan tidak akan pernah bosan memberi manusia ujian. Apa yang bagi manusia tidak pasti, bagi Tuhan adalah kepastian belaka.

*

Bukan maksudku mengeluh, Adinda. Selamat berpuasa. Semoga kebahagiaanmu dikabulkan oleh-Nya.

This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Subscribe to Posts [Atom]