Tuesday, June 28, 2005

 

After a While

After a while, you learn the subtle difference
Between holding a hand and chaining a soul,
And you learn that love doesn't mean leaning
And company doesn't mean security,
And you begin to learn that kisses aren't contracts
And presents aren't promises,
And you begin to accept your defeats
With your head up and your eyes open,
with the grace of a woman, not the grief of a child,
And learn to build all your roads on today
Because tomorrow's ground is too uncertain for plans,
And futures have a way of falling down in midflight.

And after a while, you learn
That even sunshine burns if you get too much.
So you plant your own garden and decorate your own soul,
Instead of waiting for someone to bring you flowers.
And you learn that you really can endure...
That you really are strong
And you really do have worth
And you learn and learn
With every goodbye, you learn.

(a poem by: Veronica A. Shoffstall)
-thanks to Mbak Elsi-

Friday, June 17, 2005

 

Bapak Tua dan Harapan

Pukul 4.39 pagi. Subuh yang rintik-rintik, basah dengan embun berkat persimbahan sang malam. Aku sudah terbangun sedari tadi. Tidak bisa tidur, tepatnya. Pikiranku dipenuhi dengan pelbagai pertanyaan tentang harapan.
“Mengapa harapan diciptakan Tuhan?”
“Mengapa harus hidup dengan harapan?”
“Mengapa harapan selalu tak sesuai dengan kenyataan?”
“Mengapa …”
Dan seribu mengapa lainnya…

Mendadak Mikail, teman imajinerku, sudah duduk di samping tempat tidurku.
“Bangun!”, katanya.
“akan kutunjukkan jawabannya.”
Tidak perlu dijelaskan lagi rupanya. Aku pun bergegas berpakaian.

Pukul 5.12 pagi. Di pinggir jalan, kami sedang menunggu bus paling pagi. Udara masih segar dan embun belum lagi menguap.
“Lihat ke sebelah sana”, tunjuk Mikail.
Ke arah yang ditunjuk Mikail, beberapa meter saja dari tempat kami, berdiri setengah ringkih seorang pria baya. Bajunya sederhana dan rapi. Wajahnya pun bersih dan klimis. Bapak Tua itu memanggul tas sandang warna cokelat lusuh berukuran sedang. Dari dalam tas itu tersembul seikat mawar merah cerah. Warnanya benar-benar menyegarkan suasana pagi.

Suara derum bus menyentakkan lamunanku. Bus patas jurusan Tanah Abang. Bapak Tua bergegas naik ke dalam bus.
“Ayo, kita ikut naik”, sahut Mikail.

Di dalam bus, aku kembali bertanya-tanya. Aku masih tidak mengerti maksud Mikail. Aku bertanya mengenai harapan, tapi apa hubungannya dengan Bapak Tua ini?
“Sabarlah”, senyum Mikail penuh misteri.

Pukul 5.57 pagi. Aku, Mikail, dan Bapak Tua sudah turun dari bus. Kami di pinggir jalan sekarang, di pintu masuk tanah pekuburan Karet.
“Apa-apaan ini?”, pikiranku mulai kacau.
Bapak Tua itu diam tak berapa lama, lantas masuk ke dalam.
Sekonyong-konyong, Mikail pun mendorong punggungku setengah memaksa.

Lama dan jauh kami buntuti jalan Bapak Tua. Tiba di satu tempat di dekat pohon kamboja yang setengah gersang, Bapak Tua itu berhenti. Di bawah pohon itu Bapak Tua berlutut dan mengusap-usap nisan kuburan dari marmer yang tampak murahan. Pelan-pelan dengan ketekunan yang khidmat, Bapak Tua membersihkan nisan itu dari depan ke belakang, dari tiap samping-sampingnya, dan dari semua sudutnya dengan kain lap yang dibawanya dari rumah. Cuaca yang mulai terik ikut-ikutan menjadi syahdu.

Sebentar aku terlena dalam simponi itu. Mendadak Bapak Tua menoleh ke arahku, secara spontan ia tersenyum ramah. Aku terkesiap karena tidak pernah siap akan reaksi itu.
“Ziarah juga, nak?”, tegurnya ramah.
Aku mengangguk saja.
“Eeeeee… ini istri bapak?”, tanyaku. Ragu-ragu.
Butuh sebentar, baru dia menjawab sambil menghela nafas. “Bukan”,
“istriku sudah lama lari dengan pria lain”.
Aku terdiam. Masih belum mengerti semuanya.
Bapak Tua itu tidak melihat kebingunganku. Penuh perhatian ia letakkan seikat mawar merah yang sedari tadi dibawanya. Ditaruhnya tepat di bagian kepala dari kuburan itu.

“Ini anakku satu-satunya”, akhirnya Bapak Tua menjawab.
“dia meninggal saat dilahirkan.”, sahut Bapak Tua dengan nada tertahan.
Kembali aku terdiam. Aku tak tahu harus mengucapkan apa. Pikiranku berputar-putar dan pelan-pelan berpusat pada sesuatu. Sesuatu yang kurasa adalah jawaban dari pertanyaanku tadi pagi.

Di saat yang tepat, Mikail berbisik penuh kemenangan,
“Kau sudah tahu maksudku bukan?”
Aku mengangguk. Hanyut dalam diam. Pagi beranjak hiruk-pikuk tapi aku tenggelam dalam kesunyian.

Monday, June 13, 2005

 

Kembali

Pada saat jatuh
seperti saat ini
Saat yang tepat bagiku
untuk keluar

Untuk melupakan semuanya
Untuk melepaskan keraguan
Ketakutan dan ketidakpastian
Hanya untuk menyerah!

Lalu entah mengapa
untukmu
Akan selalu ada panggilan
untuk kembali

Untuk terus berdiri
Untuk terus menantang
Pantaskah hidup seperti ini
Demi dirimu

Friday, June 10, 2005

 

Sometimes You Can't Make It On Your Own

Tough, you think you’ve got the stuff
You’re telling me and anyone
You’re hard enough

You don’t have to put up a fight
You don’t have to always be right
Let me take some of the punches
For you tonight

Listen to me now
I need to let you know
You don’t have to go it alone

And it’s you when I look in the mirror
And it’s you when I don’t pick up the phone
Sometimes you can’t make it on your own

We fight all the time
You and I … that’s alright
We’re the same soul
I don’t need… I don’t need to hear you say
That if we weren’t so alike
You’d like me a whole lot more

I know that we don’t talk
I’m sick of it all
Can you hear me when I sing
You’re the reason I sing
You’re the reason why the opera is in me

Where are we now?
I’ve got to let you know
A house still doesn’t make a home
Don’t leave me here alone…

And it’s you when I look in the mirror
And it’s you that makes it hard to let go
Sometimes you can’t make it on your own
Sometimes you can’t make it
The best you can do is to fake it
Sometimes you can’t make it on your own

from: U2 // How to Dismantle an Atomic Bomb // 2005

Wednesday, June 08, 2005

 

Pagi Setelahnya

Pagi yang tak biasa
Burung gereja riang-riang senyap
Surya temaram senja
Semua lupa waktu rupanya

Sudah perlahan-lahan menjadi
Jelas malam tadi

Thursday, June 02, 2005

 

Satu Alasan Untuk Bahagia

Selama ini inspirasi yang menggerakkan motivasi saya untuk menulis selalu berpijak dari sebuah kesedihan. Kesedihan ibarat sebuah sumur tanpa dasar yang airnya tak pernah kering meski ditimba berulang-ulang. Tidak heran kalau beberapa tulisan yang pernah saya buat sepertinya tidak pernah tidak bercita rasa pesimis, sinis, sarkas, dan pasrah. Kesedihan atau bahkan penderitaan seperti menjadi sebuah keindahan yang diberikan Tuhan kepada umat-Nya, terutama pada saya.

Semua bisa berubah. Pada dasarnya, sesungguhnya saya orang yang optimistis. Boleh dibilang sebelum orang lain merasa optimis, saya selalu berusaha mengambil tempat di muka untuk menjadi yang paling optimis lebih dulu. Namun kultur tidak menganggap seperti halnya pandangan saya. Optimistis lebih dilihat sebagai kesalahan sikap; sebuah tindakan yang mendahului keputusan Yang Di Atas. Pokoknya orang tidak boleh bersikap optimistis karena 'di atas langit masih ada langit'.

Baiklah kalau begitu. Lalu saya jalani hidup dengan berpegang bahwa semua yang kita harapkan dan idamkan itu adalah kemustahilan belaka. Ini mengapa sering saya mendeskripsikan diri sebagai orang yang platonis. Orang yang platonis selalu memiliki ide atau cita-cita tinggi yang sayangnya hanya mutlak menjadi ide tanpa sempat bisa berbuah menjadi kenyataan. Oke, cukup sampai di sana pembahasan mengenai definisi 'platonis'.

Menjadi persoalan kemudian, mungkinkah orang harus selalu hidup pesimistis? Rupanya banyak contoh kejadian yang justru menggambarkan dengan motivasi besar untuk berjuang segenap jiwa raga, sesungguhnya banyak kemustahilan tidak bersifat mutlak. Di lapangan hijau, sebut saja kiprah Yunani di Piala Eropa 2004 atau Liverpool di final Liga Champion kemarin. Pesannya: Kita tidak boleh berhenti berjuang! Bagi saya yang bersedih, atau siapapun yang mendapati kesedihan, mungkin ini dapat menjadi satu-satunya alasan untuk menjadi bahagia.

Berjuang! Yup! Itu dia yang menjadi alasan kita agar dapat berbahagia. Sekarang kesampingkan dulu rasa sedih, pesimistis, lara, sinis, sarkas, atau apapun namanya itu. Berangkat dari kenyataan di lapangan hijau itulah, kita butuh motivasi penuh untuk berangkat menuju sebuah perjuangan. Tidak ada itu kata pesimistis. Tidak ada kata kalah kalau peluit belum berakhir. Tidak ada kata habis sebelum ada keputusan. Tidak ada kata kiamat sebelum sangkakala ditiup Israfil. Sepanjang waktu itu pula, kita tetap harus berjuang!

Maka, untuk berjuang tidaklah salah memiliki sedikit saja rasa kepercayaan diri. Saya rasa tidak salah juga untuk mengatakan bahwa saya bahagia saat ini. Dan, saya belum mau berhenti!!!

This page is powered by Blogger. Isn't yours?

Subscribe to Posts [Atom]